Oleh Dion DB Putra
PIALA Dunia senantiasa menciptakan moment spesial yang akan dikenang selalu. Suatu hari di bulan Juli enam puluh tahun lalu, stadion terbesar di dunia, Maracana ditelan keheningan terhebat dalam sejarah sepakbola.
Presiden FIFA, Jules Rimet yang duduk di tribun VIP stadion yang dibangun khusus untuk putaran final Piala Dunia 1950 itu merasa jiwanya hilang. "Saya merasa sangat sepi ditemani sebuah piala di tangan dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan," kata Jules Rimet memberi kesaksian.
Jules Rimet menyerahkan tropi Piala Dunia kepada Kapten Uruguay, Obdulio Varela, dalam isak tangis 174. 000 pendukung Brasil yang memenuhi Maracana. Jules Rimet bersalaman dengan Varela tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sesuatu yang tidak lazim pada akhir pesta akbar sepakbola dunia. "Saya mengulurkan tangan tanpa sepatah kata. Saya telah bertindak tidak adil kepada Uruguay. Maafkan saya," katanya.
Itulah pertama kali dalam hidupnya Jules Rimet merasa bersalah kepada sepakbola. Sebagai pemimpin FIFA dan tokoh paling gigih memperjuangkan sepakbola menjadi olahraga yang mempersatukan masyarakat internasional pasca Perang Dunia II, Jules Rimet seolah mengkhianati pendiriannya.
"Saya lupa bahwa kemenangan sebuah tim baru bisa diketahui setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Siapa pun tidak boleh mendahului peluit wasit. Saya salah karena terlalu yakin Brasil akan menjadi pemenang," ujarnya sambil mengenang naskah pidato ucapan selamat kepada Brasil yang telah ia tulis batal dibacakan saat penutupan Piala Dunia tanggal 16 Juli 1950 di Maracana.
Sama seperti publik dunia dan Brasil saat itu, Jules Rimet sangat yakin Brasil akan menjadi juara di tanah airnya sendiri sehingga dia hanya menyiapkan naskah pidato untuk Brasil. Jules Rimet mengabaikan kemungkinan Uruguay akan menjadi pemenang karena Brasil begitu superior sejak babak penyisihan grup.
Sebagai tuan rumah Piala Dunia 1950, Brasil mencetak rekor fanstastis. Mereka menjadi tuan rumah yang baik dengan membangun Maracana, stadion supermegah di ibu kota Rio de Janeiro yang bisa menampung 200 ribu penonton. Inilah stadion sepakbola terbesar di dunia. Prestasi tim Samba pun luar biasa di antara 13 tim yang lolos babak kualifikasi termasuk Inggris yang baru ikut Piala Dunia pertama kali.
Setelah membuka kemenangan telak 4-0 atas Meksiko, ditahan 2-2 Swiss dan menang 2-0 atas Yugoslavia, Brasil melaju ke putaran final sebagai juara Grup A. Penampilan Brasil di putaran final yang melibatkan empat tim, yakni Brasil, Uruguay, Spanyol dan Swedia luar biasa. Keempat tim itu saling berhadapan dan tim juara adalah peraih nilai tertinggi.
Tim Samba yang bermaterikan Barbosa, Augusto (kapten), Juvenal, Bauer, Danilo, Bigode, Friaccedila, Zizinho, Ademir, Jair dan Chico membekuk Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1. Sedangkan Uruguay hanya menang 3-2 atas Swedia dan ditahan Spanyol 2-2. Swedia cuma unggul 3-1 atas Spanyol.
Partai terakhir Brasil vs Uruguay menjadi penentu. Laga final itu disaksikan 174 ribu penonton di Maracana. Publik Brasil begitu yakin, timnya bakal meraih tropi Piala Dunia pertama karena hanya membutuhkan hasil seri melawan Uruguay. Maka pesta juara dipersiapkan secara besar-besaran di seantero Brasil.
Kenyataan di Maracana 16 Juli 1950 sebaliknya. Brasil amat sulit menembus benteng pertahanan Uruguay. Para petarung berkostum biru langit, Julio Perez, Juan Schiaffino, Gigghia dan kapten Obdulio Varela bahu-membahu dan berjibaku mempertahankan daerahnya dari gempuran Brasil yang bermain indah dan efektif sepanjang turnamen.
Brasil unggul lebih dulu pada menit ke-58 lewat gol Friaca. Maracana meledak girang. Schiaffino menyamakan skor 1-1 sembilan menit kemudian. Fans Samba tetap yakin Brasil akan menjadi juara karena tetap mendominasi permainan. Petaka datang di menit ke-80. Gol Gigghia membungkam tuan rumah. Maracana hening. Banjir air mata membasahi bumi Amazon ketika wasit George Reader dari Inggris menuip peluit akhir. Brasil tumbang. Pesta besar di Pantai Copacabana-Rio buyar!
Uruguay menjadi juara untuk kedua kalinya setelah tahun 1930. Tim Biru Langit yang terdiri dari Maspoli, Gonzalez, Tejera, Gambetta, Varella, Andrade, Ghiggia, Peacuterez, Miguez, Schiaffino dan Moran disambut sebagai pahlawan ketika tiba di Montevideo. Sementara keberhasilan striker Brasil, Ademir de Menzes sebagai top scorer dengan sembilan gol seolah tak bermakna buat tuan rumah yang patah hati karena kemenangan di depan mata sirna lantaran over percaya diri.
"Kekalahan melawan Uruguay di Stadion Maracana tahun 1950 selalu menghantui hidup saya. Kami menganggap tropi itu sudah dalam genggaman. Impian kami berakhir dalam tempo sepuluh menit. Kejam! Tapi itulah sepakbola," kata Ademir.
Maracana 1950 adalah titik hitam dalam sejarah sepakbola Brasil. Sangat manis bagi Uruguay! Maracana 1950 merupakan saat terindah dalam sejarah sepakbola negeri kecil di tenggara Latin Amerika tersebut. Ketika Uruguay lolos ke perempatfinal Piala Dunia 2010 untuk menghadapi Belanda di Cape Town, Selasa (6/7/2010) malam, rakyat negeri itu memutar ulang memori indah di Brasil 1950. Setelah prestasi sepakbola Uruguay meredup selama 40 tahun terakhir di ajang Piala Dunia, sukses menembus babak semifinal di South Africa 2010 merupakan kejutan yang menggairahkan. Sekarang publik Uruguay yakin bahwa tim nasional mereka mampu mengulang sukses di Piala Dunia pertama tahun 1930 dan 1950 "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika kami berhasil meraih kemenangan seperti tahun 1950. Kami masih melihat kemenangan itu sebagai idola," kata pelatih Oscar Tabarez.
"Maracana 1950 adalah spirit bagi kami. Kami tidak ingin pulang sebelum 11 Juli 2010," kata Diego Forlan.
Meraih kembali kejayaan merupakan spirit Uruguay dan Belanda. Sama seperti Uruguay, para pemain Belanda 2010 pun berada di bawah bayang-bayang kejayaan masa lalu. Mereka dibayangi masa emas Johan Cruyff, Johan Neeskens dan Johnny Rep di tahun 1970-an serta trio Ruud Gullit, Frank Rijkaard dan Marco van Basten di penghujung 1980-an. Tahun 1974 dan 1978 Belanda menembus final tapi gagal meraih mahkota. Kini saatnya bagi Belanda untuk menebus kegagalan itu.
Belanda 2010 punya modal fenomenal. Mereka memenangi semua laga pra-kualifikasi untuk meraih tiket ke Afrika Selatan 2010, memenangi tiga laga di fase grup dan dua laga di babak knock-out. Dibandingkan dengan Uruguay, perjalanan Belanda sangat mulus. Sukses di perempatfinal pun mengguncang dunia ketika Tim Oranye menekuk Brasil 2-1 sekaligus memecahkan rekor tak pernah menang dalam sembilan pertemuan sebelumnya.
Wesley Sneijder dkk telah memperlihatkan kepada dunia betapa Belanda 2010 bisa menghasilkan gol kemenangan dari sudut mana pun. Belanda adalah mesin giling yang efektif meski dikritik karena meninggalkan keindahaan total football.
Namun, Pelatih Belanda Bert van Marwijk cukup tahu diri. Rekor kemenangan 100 persen Belanda di Afrika Selatan bisa menjadi bumerang karena Uruguay justru menjadi underdog.
"Saya sangat menghormati tim Amerika Selatan yang tersisa itu. Ini akan menjadi laga yang sangat berbahaya karena mereka adalah pejuang tak kenal lelah. Petarung sejati. Kami harus sangat fokus," katanya. Ya, Belanda harus tetap fokus agar tidak menjadi korban seperti Brasil tahun 1950.*
Pos Kupang 6 Juli 2010 halaman 1