Guru Tomi


GURU Tomi kesal sekali. Pada bulan April 1979 itu untuk kesekian kalinya dia mendapatkan jatah beras kotor penuh butir-butir pasir hitam dan debu gudang Dolog. Sesuai jumlah anggota keluarga yang diakui negara kala itu, selain gaji sebagai PNS, Guru Tomi dapat jatah beras 50 kg per bulan.

Setelah dibersihkan dengan telaten oleh istri, anak dan para keponakannya, beras bersih yang bisa dikonsumsi keluarga Guru Tomi sekitar 35 kg. Sisanya pasir dan debu. Guru Tomi tak lupa meminta sang istri menyimpan beras kotor sekitar 2 kg. "Pokoknya mama simpan saja di tempat aman, jauh dari jangkauan anak-anak," jawab Guru Tomi saat istrinya bertanya untuk apa simpan beras kotor itu.

Tomi, seorang guru SD di pedalaman Lio Kabupaten Ende, Flores, NTT yang punya kebiasaan membuat catatan harian lalu menulis demikian. "Tahun 1979 ini sudah tiga kali kami guru-guru di kampung dapat beras kotor yang hanya cocok untuk ayam. Tahun lalu empat bulan kami terima beras kotor, yaitu bulan Maret, Juni, Agustus dan September. Guru-guru tidak boleh diam saja. Bupati harus tahu!"


Sekitar tiga pekan menjelang peringatan HUT ke-34 Kemerdekaan RI, bupati melakukan kunjungan kerja ke wilayah pedalaman Lio. Bupati kala itu memang rajin turun ke kampung-kampung untuk berdialog dengan masyarakat. Mendengar rencana kunjungan kerja bupati lewat radiogram, Guru Tomi senang bukan main. Inilah kesempatan untuk bicara langsung dengan bupati soal beras kotor.

Hari yang ditunggu pun tiba. Pertemuan dengan bupati berlangsung di kantor perwakilan kecamatan (waktu itu wilayah administrasi pemerintahan masih mengenal kecamatan dan perwakilan kecamatan). Guru Tomi ambil posisi duduk paling depan, langsung berhadapan dengan bupati, ketua DPRD, camat, kepala perwakilan kecamatan dan pejabat lainnya dari kota yang ikut rombongan bupati.

Setelah bupati omong panjang lebar tentang pembangunan dan motivasi masyarakat kampung dalam membangun, tibalah sesi dialog. Guru Tomi tunjuk jari tangan dan mendapat kesempatan pertama. Sudah menjadi kebiasaannya, Guru Tomi tidak basa-basi. Dia suka to the point. "Bapak bupati yang saya hormati. Kami guru-guru di kampung diperlakukan seperti ayam. Sudah berulangkali negara beri kami jatah beras kotor. Saya bawa ini biar bapak bupati lihat sendiri bagaimana perlakuan terhadap kami," kata Guru Tomi disambut tepuk tangan guru-guru yang hadir dalam acara dialog itu. Guru Tomi lalu menyerahkan beras kotor 2 kg kepada bupati.
Beras itu disimpannya dalam wati, wadah anyaman dari daun lontar.

Melihat beras penuh pasir dan debu, wajah dan telinga bupati sontak memerah. Bupati sewot. "Ini keterlaluan. Saya minta maaf kepada bapak dan ibu guru semua yang dapat beras jelek macam ini. Saya akan tindak pegawai yang urus beras guru-guru," kata bupati. Tak lama setelah bupati kembali ke Kota Ende terdengar kabar pejabat yang mengurus beras jatah para guru kena sanksi. Dia juga dipindahkan bupati ke unit kerja yang lain. Guru Tomi, mungkin karena kata-katanya benar serta didukung bukti tidak diapa-apakan. Dia tidak mendapat sanksi, misalnya mendadak dimutasi ke sekolah yang lain.

Begitulah nasib guru di zaman itu. Kisah di atas tadi bukaan rekaan beta, tapi sungguh-sungguh terjadi. Memori masa kecilku masih merekam dengan baik. Selain menerima jatah beras kotor atau terlambat terima gaji bulanan, seringkali gaji mereka juga dipotong secara sepihak oleh pembesar di kabupaten atau kecamatan untuk kepentingan macam-macam yang nihil pertanggungjawaban rasional.

Kebanyakan guru apalagi yang bertugas di udik tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka cenderung pasrah menerima perlakukan kurang adil. Manakala mereka protes atau membangkang sanksi sudah pasti mereka dapatkan. Misalnya tahan gaji atau dimutasikan ke tempat yang lebih terpencil lagi. Rezim orde baru yang demikian otoriter rupanya merasuk sampai ke unit atau level organisasi terkecil di daerah.
Dalam banyak kasus ketika itu mutasi guru bukan dimaknai sebagai promosi atau memenuhi prinsip manajemen pendidikan the right person on the right place.

Mutasi cukup sering menjadi bahasa hukuman atau sanksi yang menjadi momok menakutkan para guru. Nah, daripada cerewet memperjuangkan hak lebih baik memilih diam. Apa kata dan tindakan pembesar ikuti saja. Guru Tomi yang beta kenal merupakan pengecualian. Dia termasuk guru yang berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan sehingga di kalangan mereka yang pernah mengenalnya, mendiang Guru Tomi dianggap guru pejuang.

Masa pengabdian Guru Tomi dan guru-guru seangkatannya sudah lama berlalu. Sebagian besar dari mereka sudah meninggal dunia. Tugas dan tanggung jawab sebagai guru dan pendidik kini telah diambil alih generasi baru guru-guru di seantero Nusa Tenggara Timur (NTT). Apakah nasib guru di zaman milenium baru ini lebih baik? Tuan dan puan silakan renung sejenak lalu memberi jawaban sendiri-sendiri.

Benar bahwa guru kini telah hidup di alam yang lebih maju. Kalau di masa Guru Tomi dkk biasa jalan kaki, tunggang kuda atau paling mewah naik sepeda, guru sekarang sangat biasa berseliweran ke mana-mana dengan sepeda motor bahkan sebagian sudah naik oto (mobil). Ijasah Guru Tomi dulu paling tinggi SGA (Sekolah Guru Atas) atau SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Sekarang rata-rata S1, S2 atau paling rendah diploma. SGA dan SPG sudah lama arlmarhum. Kemewahan bagi Guru Tomi dulu adalah batu kalam, kapur tulis dan papan hitam. Kini para guru sudah biasa pegang spidol, white board dan tenteng laptop. Malah sudah pakai sertifikasi.

Itu soal kemajuan. Bagaimana dengan perlakuan yang adil? Jarum waktu keadilan bagi guru tidak selalu berputar teratur. Lebih kerap malah onar berputar di beranda Flobamora. Kita bangga hidup di zaman reformasi. Riang gembira menikmati pemilu kada langsung sebagai tanda kehidupan berbangsa dan bernegara semakin demokratis.

Betul semakin demokratis. Tapi asal tuan dan puan tahu, yang sering kena getah saat pemilu kada adalah para guru jua. Pada saat pemilu kada mutasi kepala sekolah ramai nian. Nada ancaman yang kerap terngiang demikian. Kau tidak dukung bupati yang sedang berkuasa, artinya kau siap-siap kena mutasi. Pernah kejadian di salah satu kabupaten saat pemilu kada ratusan kepala SD serentak diganti karena bupati khawatir mereka `berkampanye' mendukung figur lain. Guru yang punya peran strategis dalam masyarakat disalahgunakan dedikasinya untuk kepentingan kekuasaan politis jangka pendek.

Ada banyak guru yang menderita seperti itu tapi mereka tak berani bersuara. Para guru tergabung dalam koor silent mass. Massa yang diam. Tuan yang lagi berkuasa mungkin mengusung pepatah kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Tak apalah. Silahkan bilang tidak beribu kali untuk fakta yang berkelindan di tengah ziarah pergumulan para guru Flobamora.

Mau periksa contoh yang lain? Sepanjang minggu yang baru lewat, riuh rendah kita mendengar jerit tangis para guru dari berbagai daerah di Flobamora. Dari Belu sampai Flores Timur, Ende, Lembata hingga Labuan Bajo. Jeritan berjudul dana sertifikasi. Hak guru-guru itu tidak digubris. Di Ende tunggakan dana sertifikasi gemuk betul. Kira-kira Rp 17 miliar lebih sejak tahun 2007. Di Labuan Bajo hampir setengah tahun lebih para guru belum menerima hak mereka itu. Raungan pilu pun disuarakan para guru kontrak alias honor.

Alasan para pengatur laku di daerah sama dan sebangun. Dana sertifikasi belum ditransfer pemerintah pusat jadi belum bisa dilanjutkan ke tangan para guru. Ada juga yang bilang perubahan metode cara bayar dan alasan-alasan lainnya. Ya, negeri tercinta ini memang sangat piawai bersilat lidah. Yang lebih seru Kakak, Ipar, Om, Tante, Bunda, Ayah, Opa dan Oma yang menyandang sapa Yth (wakil rakyat Yang Terhormat) terkaget-kaget karena mengaku baru tahu dari koran.

Wah? Kalau urus kepentingan sendiri luar biasa gesit, cermat dan jeli. Tapi kalau memperjuangkan nasib orang lain ya tunggu dulu. Harus sesuai mekanisme dan prosedur. Perlu dirapatkan berhari-hari dengan eksekutif. Maklum kalau Yth hadir rapat ada uangnya, kawan!

Dengan menomorsekiankan keadilan bagi para guru sebagai salah satu pilar pembangunan pendidikan, mengertilah kita kalau prestasi NTT dalam bidang ini tak pernah menjulang dari tahun ke tahun. Warta nestapa kegagalan UN masih akan terus bergemuruh. Bahwa ada juga guru yang tak pantas disebut guru karena iwa mutu (baca: tidak bermutu) tak dapat dipungkiri. Ada juga kepala sekolah atau guru yang tak patut digugu dan ditiru. Kasus begitu pasti ada selalu dalam hidup.

Seorang kolega waktu diskusi baru-baru ini di Hotel Sasando Kupang melukiskan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) NTT yang urutan ke-31 dari 33 propinsi Indonesia dengan kalimat begini. "Artinya, NTT urutan ketiga terbanyak secara nasional yang memiliki orang bodoh, penyakitan dan miskin."

Jangan-jangan ada kesalahan logika di kampung besar kita. Bodoh, penyakitan dan miskin (terutama miskin hati) dipersepsikan seolah-olah hanya melekat dengan rakyat kebanyakan. Aih...kawan, jadi ingat ocehan bocah di Kolhua-Kupang, "Tolong ko sadar!" (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 12 Juli 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes