Gelap


TUAN dan puan kiranya masih ingat film serial Baywatch yang ditayangkan salah satu stasiun televisi Indonesia beberapa tahun silam. Serial ini pertama kali diluncurkan tahun 1989 dan tayang secara mingguan di stasiun televisi NBC. Di luar dugaan film yang diilhami dari cerita Greg Bonnan itu sangat populer dan bertahan selama sepuluh tahun lebih. Bahkan Baywatch -- termasuk spin-off berjudul Baywatch Night ditayangkan di lebih dari 140 negara termasuk Indonesia.

Pada tahun 2001 tayangan serial Baywatch dihentikan setelah jumlah penonton di Amerika Serikat (AS) menurun hingga 1,9 juta per minggu. Namun, pada tahun 2006 kisahnya kembali diangkat ke layar lebar. Tidak tanggung-tanggung. Untuk membuat kisah yang lebih seru dan menarik produser menunjuk Steven Spielberg sebagai sutradara.

Saat tayang di Indonesia film Baywatch sangat digemari pemirsa karena kisah setiap episode sangat menarik dan sarat dengan pesan kemanusiaan. Ada kisah tentang perjuangan keras menolong sesama, intrik dan dengki, balas dendam hingga kisah asmara dan pertemanan sejati.


Penampilan fisik bintang Baywatch yang cantik dan molek lewat bikini ketat serta tubuh atletis merupakan salah satu daya tarik serial tersebut. Tuan dan puan yang pernah menikmati Baywatch kiranya masih ingat sejumlah nama seperti David Hasselhoff, Carmen Electra, Jeremy Jackson, Michael Bergin, Brooke Burns, David Chokachi, Mitzi Kapture, Pamela Anderson, Kelly Packard dan Jose Solano. Dari sekian banyak bintang, aktris dan aktor yang menjadi ikon Baywatch adalah Pamela Anderson, Carmen Electra dan David Hasselhof.

Busana seksi dan kemolekan tubuh Pamela Anderson atau Carmen Electra hanyalah unsur pemikat Baywatch. Kisah film serial televisi tersebut menjadi sangat populer justru karena idenya sederhana dan menyentuh kebutuhan manusia yaitu jaminan keamanan ketika bersuka ria dengan keluarga, sahabat atau kekasih di pantai wisata.

Para penjaga pantai di Baywatch yang keren dengan seragam merah mereka menunjukkan cara kerja profesional. Mereka siaga setiap saat. Mereka dilengkapi fasilitas penyelamatan seperti radio, jet ski, boat karet, boat fiberglass, mobil ambulance, helikopter dan pos pengamatan pada sejumlah titik strategis.

Mereka mengingatkan pengunjung pantai tentang lokasi berbahaya, tentang cuaca dan tinggi gelombang laut, cara mencegah serangan hiu sampai pertolongan pertama (P3K) terhadap korban manusia saat bersukaria di pantai wisata.

Film tersebut sesungguhnya mencerminkan keseriusan pemerintah sebuah negara serta pemangku kepentingan obyek wisata bahwa keselamatan manusia merupakan hal yang paling pokok. Keselamatan nyawa manusia tidak bisa ditawar-tawar atau dipermainkan dengan cara kerja setengah hati.

Stasiun televisi NBC mencatat, selama 11 tahun masa penayangan yang sukses luar biasa Baywatch telah menginspirasi banyak pemerintahan di dunia dalam hal mengelola obyek wisata pantai secara profesional. Baywacth tidak sekadar sarana hiburan. Tapi film serial itu menjadi sumber referensi. Bahan pembelajaran berharga untuk negara-negara di dunia yang memiliki obyek wisata pantai.

Virus Baywacth juga menjalar ke Indonesia. Adalah Pulau Dewata Bali yang menangkap inspirasi tersebut dengan membentuk Balawista, semacam Baywatch versi Indonesia.

Bali yang salah satu menu utama adalah obyek wisata pantai belajar dari Baywacth dalam memberikan kenyamanan bagi pengunjung pantai. Maka hadirlah anggota Badan Penyelamat Wisata Air (Balawista). Para penyelamat pantai itu selalu siaga di enam pos sepanjang kawasan pantai Kuta dari Tuban hingga Seminyak. Setiap detik mereka berjaga-jaga untuk mencegah dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecelakaan menimpa wisatawan yang tengah mandi, berjemur atau melakukan aktivitas lain di tengah deburan ombak Pantai Kuta.

Sebagaimana penjaga pantai di Baywatch, anggota Balawista dituntut memiliki rasa kepedulian tinggi terhadap nasib orang lain. Juga ketulusan dan kerelaan berkorban bagi sesama. Jika berkunjung ke Pantai Kuta Bali tuan dan puan melihat kesiagaan mereka. Juga melihat bagaimana pemerintah di Bali sangat serius memperhatikan keselamatan pengunjung pantai sebagai sumber pemasukan utama pariwisata Bali.

Di banyak tempat wisata mudah menemukan papan atau tanda berisi peringatan atau imbauan. Tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di Pantai Kuta dan pantai wisata lainnya di Bali mudah menemukan bendera merah atau bendera kuning. Itu merupakan simbol yang mengingatkan pengunjung bahwa di tempat wisata yang paling aman sekalipun, bencana bisa saja terjadi sehingga kewaspadaan tidak boleh longgar.

Bagaimana dengan kita di beranda rumah Flobamora? Nusa Tenggara Timur (NTT) bangga sekali dengan karunia Tuhan sebagai propinsi kepulauan. Tiga perempat luas wilayah ini merupakan perairan. Ke mana-mana kita selalu bercuap memiliki ratusan bahkan ribuan pantai wisata yang indah. Pantai berpasir putih serta alamnya masih bersih. Wisata pantai merupakan andalan orang NTT.

Tapi seperti tuan dan puan lihat dan rasakan sendiri, pengelolaan pantai sebagai lokasi wisata di NTT cuma mengutamakan duit. Tidak ada jaminan kenyamaman dan keselamatan bagi pengunjung. Maut mengintai siapa saja setiap saat berlibur di pantai-pantai Flobamora. Jadi kalau tidak butuh sekali sebaiknya tidak perlu berwisata dengan keluarga atau kerabat ke pantai. Carilah lokasi lain yang aman.

Contohnya persis di depan hidung. Di pantai wisata Kota Kupang dan sekitarnya yang menjadi barometer ini propinsi. Pantai wisata di Kupang saban tahun selalu menelan korban jiwa. Dalam dua tahun terakhir saja, terhitung sejak 13 Juni 2008 hingga 24 Juni 2010, Pos Kupang mencatat 20 orang tewas di Pantai Lasiana, Oesapa, Pasir Panjang hingga Pantai Tablolong. Dari 20 korban tewas itu, Tablolong pegang rekor dengan menelan korban sebanyak 17 orang. Mengerikan, kawan! Tapi siapa peduli? Kematian itu dianggap musibah biasa. Pemerintah atau negara merasa bukan tanggung jawabnya memberi rasa aman bagi warga sendiri.

Beta cukup tahu diri saat bercerita tentang film Baywatch. Penjaga pantai ala Baywatch masih merupakan mimpi bagi propinsi miskin papa dan riang dengan petaka salah urus ini.

Putra-putri NTT yang ingin berwisata ke pantai tidak butuh kemewahan Baywatch atau Balawista seperti di Bali. Mereka butuh hal-hal kecil seperti toilet, papan peringatan, tanda larangan atau semacam monumen kecil di lokasi wisata yang telah makan banyak korban jiwa. Celakanya hal-hal kecil seperti itu pun tidak mampu disediakan pemimpin kampung yang digaji dan mendapat kemewahan sebagai pejabat negara atau pamong praja dengan duit rakyat!

Coba tuan dan puan lihat baik-baik. Pada hampir semua pantai wisata NTT, petugas jaga dari dinas teknis cuma rajin menagih retribusi kepada pengunjung. Bahkan di sebagian besar pantai wisata, petugas hanya muncul batang hidungnya di hari libur. Dan kehadiran mereka hanya untuk pungut retribusi. Selesai!

Manfaat langsung bagi pengunjung setelah membayar karcis masuk bukan urusan mereka. Aspek kenyamanan dan keselamatan urusan pengunjung sendiri, termasuk kamar WC alias toilet. Di Tablolong, misalnya, ada sejumlah lopo (tempat bernaung) dan jalan setapak dari semen. Ada toilet namun hanya bangunan saja. Tuan mau pipis, silakan lari ke dalam semak belukar atau sembunyi badan di balik batu karang hitam. Toilet di sana tanpa air. Sampah pun berserakan di mana-mana.

Beta sungguh tak tahu lagi harus berkata apa. Ketika nyawa demi nyawa berguguran di pantai wisata Flobamora, bagaimana nurani pemimpin kita. Tuli, buta atau telah kehilangan rasa malu? Mereka itu piawai omong tiap hari soal kesejahteraan rakyat dan tangung jawab negara. Paham konteks dan aksinya? Aihh...gelap! (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang Senin 5 Juli 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes