Universalisme Sepak Bola

Akhirnya sportlah yang menang! Itulah kata-kata bijak yang pernah diucapkan Guus Hiddink. Kata-kata ini seakan sebuah ramalan. Rusia adalah underdog. Namun, jika mereka dapat bermain bola dengan cemerlang, akhirnya merekalah yang menang. Sebaliknya, betapapun Belanda bertabur bintang, jika bermain dengan jelek, mereka pun terusir pulang.

Bagi Hiddink, bola sebagai sport memang berdiri di atas segalanya. Di atas nasib, bahkan di atas nasionalisme. Siapa ingin menang karena percaya kepada nasib atau keberuntungan, ia akan ditekuk oleh mereka yang memainkan bola dengan gemilang.

Sport menuntut profesionalisme dan fairness total. Dan Hiddink rela disebut pengkhianat kepada negaranya, Belanda, jika itu dilakukannya demi nilai profesionalisme dan fairness yang dituntut oleh sport.

Belakangan Hiddink menarik kembali kata pengkhianat itu. ”Pengkhianat adalah kata yang jelek. Kata itu tidak ada dalam kamus saya. Pers yang melontarkan kata itu, dan saya terperangkap, lalu keluarlah kata pengkhianat itu dari mulut saya,” katanya.

Apa pun halnya, pendirian Hiddink kiranya sesuai dengan prinsip bahwa profesionalisme, fairness, dan sportivitas adalah nilai-nilai universal yang tidak boleh dikorbankan dalam situasi apa pun, termasuk ketika seorang dituntut untuk berempati kepada nasib bangsanya.

Nilai-nilai universal itu tak pernah menghancurkan nasionalisme. Nilai-nilai itu malah mengembangkan dan membuat nasionalisme lebih terbuka dan dewasa. Dari kasus ”pengkhianatan Hiddink”, kiranya kita boleh menarik paralel untuk memahami nasionalisme politik.

Nasionalisme yang dewasa adalah nasionalisme yang terbuka, khususnya terhadap tuntutan hak-hak asasi yang universal. Kita akan membuat nasionalisme kita kerdil dan kekanak-kanakan jika demi nasionalisme kita ”mengkhianati” tuntutan hak asasi yang universal.

Ke Rusia sendiri, Hiddink membawa nilai-nilai sepak bola yang sebelumnya tidak ada di sana. Anehnya, nilai-nilai dari luar itu tidak meniadakan sepak bola Rusia, tetapi malah memberi wajah nasional bagi persepakbolaan di sana.

Asisten Hiddink, Igor Kornejev, bilang, ”Guus telah mengubah pikiran dunia sepak bola Rusia.” Sebelumnya, para pemain Rusia tidak mempunyai respek terhadap kesebelasan nasional. Mereka lebih mencintai klub-klub mereka sendiri. ”Organisasi sepak bola nasional kacau-balau. Sekarang iklimnya berubah. Para pemain suka bermain untuk kesebelasan nasional,” kata Kornejev.

Menurut Kornejev, sepak bola Rusia telah kehilangan satu generasi pemain. Soalnya, sepak bola mereka banyak dikuasai pemain asing. Tahun 2006, misalnya, Spartak Moskwa pernah hanya memainkan dua pemain Rusia di lapangan. Dalam situasi ini, pemain Rusia yang berusia 18-22 tahun hampir tak mempunyai kesempatan untuk berkembang.

Hiddink membuat master plan, di tahun-tahun mendatang pemain asing harus dikurangi. Tahun 2010, setiap klub direncanakan hanya boleh mempunyai empat pemain asing. Pendeknya, ia berusaha agar sepak bola Rusia kembali memiliki wajah Rusia sendiri.

Rencana ini mendapat sambutan positif. Bahkan, mantan Presiden Vladimir Putin juga ikut menyokongnya. Klub-klub setempat dibenahi dan diperkuat. Salah satu contohnya adalah klub Zenit St Petersburg. Gasprom Company, perusahaan yang menguasai 85 persen produksi gas alam nasional, sanggup menjadi tulang punggung finansial bagi klub yang diasuh oleh Pelatih Belanda Dick Advocaat itu. Upaya itu sudah memetik hasil: Zenit keluar sebagai juara Piala UEFA tahun ini.

”Akan datang waktunya, pemain-pemain hebat Rusia tidak akan merumput lagi di Italia, Inggris, atau Prancis, tetapi di Rusia sendiri,” kata Advocaat meramal. Ramalan ini berarti, klub-klub sepak bola Rusia akan makin otonom. Liga yang otonom pasti juga akan memberikan sumbangan besar bagi kokohnya kesebelasan nasional.

Tidak usah menunggu nanti, sekarang pun liga sepak bola Rusia sudah memberi sumbangan yang amat berarti bagi kesebelasan nasional. Hampir semua pemain Rusia untuk Piala Eropa kali ini datang dari klub-klub setempat sendiri.

”Lihatlah nama-nama pemain Rusia dan lihatlah pula klub asalnya. Siapa yang berpengalaman main di Liga Champions? Dibandingkan dengan pemain Belanda, kami bukan apa-apanya,” kata Hiddink sebelum pertandingan melawan Belanda.

Ternyata anak-anak Hiddink bermain jauh lebih baik daripada Belanda. Di samping mengetengahkan power football, mereka juga memainkan bola dengan enteng dan lincah. Mereka membangun rantai pertahanan yang tak tergoyahkan, mampu merebut permainan di lapangan tengah, dan cepat mementahkan serangan lawan. Lebih dari itu, mereka bermain dengan amat gembira.

Semua itu adalah permainan yang asli Belanda. Maka ada yang bilang: jika Belanda berkaca, mereka akan melihat Rusia. Ya, Hiddink adalah pelatih Belanda. Pasti ia telah memfotokopi permainan Belanda bagi Rusia. Ternyata fotokopi ini malah lebih baik dari aslinya. (Oleh Sindhunata, wartawan pecinta sepakbola)

Sumber: Kompas.Com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes