Racun Rasialisme

RASIALISME, diskriminasi terhadap bangsa yang berbeda, teramat kental telah mewarnai dunia sepak bola di Eropa. Mulai pertandingan antarklub hingga pesta sepak bola antarnegara, rasialisme sering terjadi di "Benua Biru" itu. Pelecehan rasial dilakukan terhadap pemain sepak bola berdasarkan warna kulit, kewarganegaraan, agama, atau etnis.

Beberapa korban biasanya tim lawan pelaku rasialisme. Sejumlah kasus yang dialami pemain justru karena perlakuan dari pendukung tim sepak bola yang sama.

Tak hanya Eropa, rasialisme sepak bola juga melanda belahan dunia mana pun, mulai dari Amerika, Asia, hingga Afrika yang pesepakbolanya kerap menjadi sasaran rasialisme suporter kulit putih. Celaan yang sering diekspresikan adalah dalam bentuk suara menyerupai monyet.

Kasus tersebut, misalnya, terjadi saat pertandingan liga Perancis antara Paris Saint-German melawan RC Lens, Januari 2005. Padahal, kedua klub ketika itu sepakat untuk melakukan gerakan anti-rasialisme mengenakan seragam serba putih untuk Paris Saint-German dan hitam untuk RC Lens.

Inisiatif itu justru menjadi bumerang karena sebagian penonton menirukan suara kera saat pemain RC Lens menguasai bola. Insiden yang cukup terkenal adalah ketika Samuel Eto'o yang saat itu bermain di klub Barcelona mendapatkan perlakuan rasialis dari fans Real Zaragoza.

Sejumlah suporter bersuara seperti monyet jika Eto'o tengah menggiring bola. Saat itu pula, mereka menghamburkan kacang ke arah lapangan. Eto'o berniat meninggalkan lapangan di tengah pertandingan, tetapi dicegah rekan-rekannya.

Pemain Barcelona, Ronaldinho, yang juga menerima ejekan serupa meski tak seintens Eto'o, membujuknya. Barcelona kemudian menang 4-1. Seusai laga, Eto'o melakukan tarian seperti kera dengan alasan para penonton Real Zaragoza memperlakukannya tak berbeda dengan hewan tersebut.

Beberapa suporter Indonesia ternyata juga pernah terlibat tindakan rasialis. Dalam pertandingan persahabatan antara Filipina dan Indonesia di Rizal Memorial Stadium, Manila, Filipina, pada 5 Juni 2012, sejumlah suporter Indonesia berteriak, "Hindi kayo Pilipino!".

Teriakan dengan arti "Kamu bukan orang Filipina" itu ditujukan kepada para pemain sepak bola Filipina yang merupakan keturunan pernikahan campuran. Berdasarkan kesejarahan, Filipina saat masa penjajahan abad ke-19 banyak didatangi warga Spanyol.

Mereka kemudian menetap, menikah dengan penduduk setempat, dan menghasilkan keturunan yang disebut mestizo. Hingga saat ini, cemoohan terhadap para mestizo yang dianggap bukan warga Filipina asli sesekali masih diutarakan.

Di beberapa daerah di Polandia, nyanyian antisemit (kebencian terhadap Yahudi) dikumandangkan sekelompok warga di beberapa sudut kota menjelang Piala Eropa 2012. Beberapa pendatang berkulit hitam juga menerima hinaan berupa suara bak kera yang dilontarkan dari teras-teras rumah penduduk.

Nomor 88 di Jerman

Rasisme dalam sepak bola Jerman lebih halus. Suara kera digantikan dengan kode, misalnya nomor 88 yang identik dengan HH. Huruf-huruf itu merupakan singkatan dari "Heil Hitler" atau "jayalah Adolf Hitler", pemimpin Jerman yang memicu Perang Dunia II.

Rasialisme di Jerman turut diakselerasi reunifikasi pada tahun 1990. Gerakan baru neo-Nazi mulai melebarkan sayapnya dalam persepakbolaan. Mereka memanfaatkan pertandingan-pertandingan sepak bola sebagai ajang untuk menyerang komunitas lain, terutama keturunan Turki.

Dalam laga antarklub Jerman, Sachsen Leipzig dengan Hallescher, pemain Adebowale Ogungbure juga diteriaki "nigger" yang merupakan istilah bagi budak berkulit hitam. Pemain gelandang Sachsen Leipzig dari Nigeria itu juga diludahi dan dipanggil monyet.

Sebagai balasannya, ia meletakkan dua jari di bawah hidung dan memberikan salam Nazi kepada para pendukung Hallescher yang menghinanya. Ogungbure ditahan polisi Jerman karena segala hal yang berbau Nazi dilarang. Namun, ia dibebaskan 24 jam kemudian.

Kejadian lain yang cukup menarik perhatian pemerhati sepak bola adalah saat Inggris menghadapi Spanyol dalam pertandingan persahabatan di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, Spanyol, November 2004. Shaun Wright-Phillips dan Ashley Cole menjadi korban.

Jika kedua pemain Inggris berkulit hitam itu mendribel bola, suara-suara kera dari para pendukung Spanyol membahana. Bahkan, ketika para pemain Inggris masih menyanyikan lagu kebangsaannya, "God Save The Queen", sebelum laga dimulai, sejumlah fans "La Furia Roja" sudah mencemooh.

Pihak UEFA memberlakukan denda untuk menekan tindakan rasialisme. Namun, upaya itu tampaknya tak berdampak besar. Setelah investigasi terhadap laga Spanyol-Inggris, UEFA memberikan denda 87.000 dollar AS (sekitar Rp 820 juta) kepada Federasi Sepak Bola Spanyol.

Spanyol diancam menerima sanksi lebih berat jika rasialisme masih terjadi. Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Menteri Olahraga Inggris Richard Caborn bahkan bereaksi. Caborn menyatakan, perilaku fans Spanyol lebih terbelakang 20-30 tahun ketimbang Inggris.

Bahkan, Afrika juga tak lepas dari rasialisme. Maklum, di "Benua Hitam" itu bermukim banyak suku. Perang dan konflik negara-negara miskin yang berkecamuk menjadi akar persoalan rasialisme yang mengemuka dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sepak bola.

Hanif Adams, pemilik klub sepak bola Zambia, Lusaka Dynamos, mendapatkan perlakuan rasis sewaktu mencalonkan diri menjadi presiden Asosiasi Sepak Bola Zambia. Adams tak disukai beberapa pencandu sepak bola Zambia karena ia keturunan India. (bay)

Sumber: Kompas.Com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes