Tahun 1978 di Stadion Cordoba. Waktu itu Josef Hickersberger, Hans Krankl, dan timnya membela Austria menghadapi Jerman Barat pada babak kedua Piala Dunia di Argentina. Pertandingan ini memang tidak menentukan bagi Austria. Menang atau kalah, mereka tersingkir.
Toh Austria memberikan perlawanan mati-matian. Semula perlawanan ini kelihatan sia-sia. Gawang mereka jebol oleh Karl-Heinz Rummenige. Untung, Berti Vogts melakukan gol bunuh diri. Skor jadi 1-1. Krankl berhasil menambah kemenangan Austria, tetapi tak lama kemudian pemain Jerman, Bernd Hoelzenbein, berhasil menyamakan kedudukan, 2-2. Pertandingan tinggal dua menit, dan gawang Sepp Maier pun jebol oleh tembakan Krankl. Skor 3-2 untuk Austria.
Kegembiraan meledak sampai ke seluruh pelosok Austria. Sampai saat ini warga Austria masih mengingat suara penyiar radio Edi Finger yang melaporkan terjadinya gol itu dari pinggir lapangan: ”Krankl datang, ia menusuk ke daerah berbahaya… dan ia menembak… Goool, gool, gool, gool! Luar biasa, saya seakan gila rasanya. Krankl menembak, dan 3-2 untuk Austria, tuan-tuan dan nyonya-nyonya, mari kita berpeluk-pelukan gembira….” Suara itu kemudian diputar berulang-ulang dan diperdengarkan di mana-mana.
Cordoba 1978 telah menjadi peristiwa bersejarah bagi rakyat Austria. Gol Helmut Krankl dikenang bukan hanya sebagai kemenangan sepak bola, tetapi juga peristiwa yang mengembalikan harkat diri Austria. Austria memang mengakui kehebatan negara Jerman. Namun, di balik kekaguman ini tersembunyi perasaan minder. Gol di Cordoba telah melepaskan mereka dari perasaan rendah diri itu.
Menjelang pertandingan melawan Jerman, Cordoba pun terdengar kembali di kota-kota Austria. Peristiwa 21 Juni 1978 di Cordoba mengisi hampir semua koran mereka. Di kafe-kafe, di stasiun kereta, di rumah-rumah makan , orang tak bisa diam tentang Cordoba. Cordoba menjadi slogan perjuangan.
Bagi warga Austria, Cordoba berarti ”Kami bisa menembak mati Jerman”. Sekarang pun di lorong-lorong kota Vienna orang meneriakkan slogan, ”Jerman, Jerman, bagimu semuanya telah berlalu, Vienna akan jadi Cordoba, schallalala.”
Tak hanya warga biasa, pemain-pemain Austria juga di- hantui peristiwa Cordoba. ”Cordoba adalah bagian dari sejarah kami. Sebagai pemain-pemain muda, kami juga ingin menciptakan sendiri sebuah Cordoba,” kata kapten kesebelasan Austria, Andreas Ivanschitz.
Pemain depan Roland Linz tak kalah bersemangat, ”Setelah Cordoba, sekarang kami akan membuat sensasi di Vienna.”
Dan rekannya, Emanuel Pogatez, menambahkan, ”Ini adalah kesempatan dalam hidup kami. Kami dapat menulis sejarah kami sendiri tentang Cordoba.”
Jika para pemain sedang dilanda histeria Cordoba, tidak demikian halnya dengan Hickersberger. Pelatih Austria ini justru khawatir, histeria itu bisa membuat pemain Austria lupa diri. ”Austria adalah negara merdeka. Kita tidak butuh pembebasan,” katanya. ”Cordoba tak punya peran apa-apa dalam pertandingan kita nanti.”
Hickersberger justru meminta para pemainnya menahan diri dan berani rendah hati. Ia sadar, Austria hanyalah tim pinggiran. Mereka telah dikalahkan oleh Kroasia, dan prestasinya melawan Polandia pun belum bisa dibanggakan. Selain itu, ia mengingatkan, Jerman adalah Jerman. Maksudnya, kendati sempat sempoyongan, Jerman selalu bisa bangkit dan mengganas di babak berikutnya.
Asisten Hickersberger, Andreas Herzog, juga mengingatkan pemainnya agar mereka melupakan Cordoba dan berkonsentrasi pada pertandingan saja. Menurut Herzog, kemenangan tak dapat dibeli dengan apa pun, juga dengan kenangan akan Cordoba. Lebih penting, para pemain mati-matian berupaya mengerahkan seluruh dayanya dan menggunakan otak serta kecerdasannya untuk menang.
Toh Herzog mengakui, melawan Jerman selalu memberikan pengalaman yang luar biasa bagi Austria, apalagi dalam pertandingan yang demikian menentukan. Di Cordoba, kemenangan mereka atas Jerman sudah memberikan demikian histeria kepada rakyat Austria, padahal dengan kemenangan itu mereka tetap tersingkir.
Bayangkan, jika sekarang mereka menang dalam pertandingan yang demikian menentukan nanti di Vienna. Itu berarti membuat Jerman terdepak. ”Jika itu terjadi, Austria pun akan terbakar oleh api kebanggaan,” kata bos bola persatuan sepak bola Austria, Friedrich Stickler.
Memang Austria sadar akan keterbatasannya, tetapi mereka juga ingin mengikuti Piala Eropa ini sampai sejauh mungkin. Kalau impian itu tidak tercapai, sekurangnya mereka telah mencapai dua target: tidak tersingkir secara menyakitkan seperti Swiss, dan bisa membuat Jerman meradang.
Siapa tahu peristiwa Cordoba nanti terulang kembali di Vienna? (Oleh Sindhunata, wartawan pecinta sepakbola)
Sumber: Kompas.Com