CARILAH ironi yang mencabik-cabik harga diri bangsa agraris-maritim dan itu kita temukan di negeri tercinta ini. Di abad ke-21 yang seharusnya kita lebih tangguh, lebih cerdas dan lebih bermartabat. Faktanya Indonesia terus melapuk karena salah urus, karena pemimpin lebih suka ribut ketimbang berpikir tentang kesejahteraan umum.
Sekadar urusan isi perut pun kita tidak sanggup menghasilkannya dari tanah sendiri. Kita bergantung dari hasil kerja bangsa lain yang bahkan luas lahan pertanian serta lautnya cuma sejengkal.
Oh My God. Apa yang salah dengan Indonesia? Bayangkan saja dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun untuk kebutuhan pangan rakyat negeri tropis yang kaya sumber daya alam ini bergantung dari impor. Sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor beras, garam, kedelai, daging, gula, garam, susu dan buah- buahan. Paling menggelikan kejadian terakhir. Pemerintah Indonesia mengimpor singkong dari Vietnam dan China.
Benar-benar berita pilu buat petani Indonesia. Bukan hanya beras, gula dan garam asing yang menyerbu pasar domestik. Hasil pertanian sekelas singkong pun harus bersaing keras menghadapi gempuran produk impor yang pasti harganya lebih murah. Pemerintah sungguh mau enaknya saja. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kran impor dibuka selebar-lebarnya. Silakan mekanisme pasar yang bekerja. Yang kalah bersaing pasti terjungkal.
Pemerintah tidak berpikir sebaliknya yaitu membangun bidang pertanian dengan sungguh-sungguh agar kebutuhan pangan dalam negeri bisa kita penuhi dari kebun sendiri. Dari jumlah total penduduk Indonesia, sekitar 75 persen hidup dari pertanian. Maka betapa apesnya nasib mayoritas rakyat negeri ini. Yang disebut pemerintahan pro rakyat hanyalah jargon. Sekadar pemanis bibir politisi yang dalam praktiknya hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Kaum cerdik cendekia sudah mengingatkan beribu kali bahwa salah satu ciri negara gagal adalah kebutuhan pangan bergantung dari impor. Bukankah hari-hari ini Indonesia sedang berziarah dengan lekas menuju negara gagal?
Kalau ada yang berteriak nyaring bahwa warning negara gagal itu berlebihan, sebaiknya tutup mulut karena sekadar singkong dan garam pun kita impor. Laut kita paling luas di Asia. Eh, garam saja dipasok dari luar. Singkong itu tanaman Nusantara yang menghidupkan anak Indonesia sejak abad ke-15. Di awal abad ke- 21, pemerintahnya malah mengimpor dari negara tetangga. Kemunduran mengerikan!
Bagaimana dengan kita di Sulawesi Utara, di bumi Nyiur Melambai yang mendapat anugerah dari Tuhan lewat alam yang subur? Berkatalah jujur Kawanua. Tak banyak lagi petani di Sulut yang berkebun singkong. *
Sumber: Editorial Tribun Manado 19 Juli 2012 hal 10