Kami Terlalu Mencintai Pulau Ini

BAHAYA selalu mengintai Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Nyaris seluruh bagian pulau seluas 39,5 kilometer persegi ini adalah tubuh gunung api Rokatenda yang kerap meletus. Bahaya terbesar adalah terjadinya letusun gunung yang disusul tsunami sebagaimana terjadi saat Rokatenda meletus tahun 1928.

Jejak vulkanis Rokatenda terlihat dengan penyebaran fumarola nyaris di seluruh tubuh Pulau Palue. Fumarola merupakan terobosan panas bumi yang merupakan sisa-sisa kegiatan gunung api pada masa lalu.

Gunung ini memang hanya memiliki ketinggian 875 meter dari permukaan laut. Namun, menurut Data Dasar Gunung Api Indonesia yang disusun Badan Geologi tahun 2011, ketinggian Rokatenda jika dihitung dari dasar laut mencapai 3.000 meter.

Gunung api yang muncul dari dasar laut ini pertama kali meletus tahun 1928. Lalu, gunung ini diam 35 tahun. Sebelum tahun 1928, gunung ini beberapa kali meletus.

Akhir tahun 1963, Rokatenda kembali meletus. Sejak itu, dalam kurun 1-8 tahun, Rokatenda meletus, yaitu tahun 1966, 1972, 1973, 1981, 1984, dan 1985. Ketika meletus, gunung ini umumnya menghasilkan kubah lava, seperti terjadi dalam letusan terakhir pada 23 Maret 1985.

Letusan tahun 1985 itu terjadi pukul 17.40, didahului suara gemuruh. Sumber letusan berasal dari lereng kubah lava yang terbentuk pascaletusan 1981.

Abu menyembur hingga setinggi 2.000 meter dengan lontaran material hingga 300 meter dari puncak. Hujan abu menyelimuti Kampung Nitung, Waikoro, dan Koa. Tak ada korban jiwa dalam letusan tahun itu.

Tsunami vulkanis

Letusan yang menimbulkan korban terjadi 4 Agustus-25 September 1928. Sebanyak 266 orang tewas saat itu. Letusan Rokatenda tahun 1964 juga menyebabkan tiga orang luka.

Banyaknya korban tewas pada letusan Rokatenda tahun 1928 ternyata karena letusan itu juga memicu gelombang tsunami. Menurut laporan penelitian Neuman van Padang dalam The Tidal Waves During Rokatenda Volcano Eruption (1930), kebanyakan korban tewas dalam letusan tahun 1928 itu karena sapuan gelombang tsunami.

Warga yang menghindari letusan Rokatenda berkumpul di pinggir pantai ketika tsunami tiba-tiba melanda. Tsunami kemungkinan dipicu gempa vulkanik yang beriringan dengan letusan Gunung Rokatenda.

Neuman menyebutkan, tinggi gelombang tsunami yang melanda perkampungan Palue mencapai 5-7 meter. Gelombang tsunami juga disebutkan melanda pantai utara Pulau Flores, 35 km dari Pulau Palue. ”Berdasarkan laporan Residen, 7 rumah di Maoroleh (Marole) rusak, 6 orang tewas, dan 5 kapal dagang hancur,” tulis Neuman.

Fenomena tsunami karena letusan gunung api juga pernah terjadi beberapa kali di Indonesia, yaitu saat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda tahun 1883 dan Gunung Tambora di Sumbawa tahun 1815.

Tsunami karena letusan Krakatau tahun 1883 sejauh ini tercatat tertinggi dan berdampak terbesar dalam sejarah letusan gunung api. Tsunami yang menerjang pasca-letusan Krakatau merupakan faktor pembunuh terbesar yang menewaskan 36.000 jiwa.

James E Begét, peneliti dari Alaska Volcano Observatory (2000), menyebutkan, pada 250 tahun terakhir terjadi 90 tsunami yang diakibatkan gunung api, dan 25 persen di antaranya berdampak fatal terhadap kehidupan. Tsunami akibat gunung api yang tertua yang teridentifikasi terjadi saat letusan Gunung Santorini di Yunani pada 1638 sebelum Masehi. Kombinasi letusan gunung dan tsunami ini yang diduga menghancurkan peradaban Kreta.

Letusan Gunung Vesuvius di Italia tahun 79, yang mengubur Pompeii, juga disusul gelombang tsunami. Tsunami besar juga terjadi di Jepang saat Gunung Unzen meletus tahun 1792. Tinggi gelombang yang diduga terjadi karena longsoran saat Gunung Unzen meletus diperkirakan 55 meter dan menewaskan lebih dari 10.000 jiwa.

Penelitian Gegar Prasetya dari Amalgamated Solution and Research (ASR) menyebutkan, ada 18 gunung api di Indonesia yang berpotensi menimbulkan tsunami jika meletus. Selain Rokatenda, Krakatau, dan Tambora, yang juga rentan memicu tsunami adalah Banda Api dan Kie Besi (Maluku Utara).

Rentan terdampak

Dengan riwayat letusan Rokatenda yang mengerikan, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memasukkan seluruh Pulau Palue dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) II. Disebutkan, seluruh Pulau Palue berpotensi tertimpa lontaran batu pijar dan hujan abu lebat.

Adapun KRB III, yang berarti sangat berpotensi terlanda awan panas dan aliran lava, meliputi separuh kawasan Pulau Palue. Dengan kata lain, Pulau Palue sangat berbahaya untuk dihuni.

Namun, Pulau Palue ternyata tetap dihuni. Camat Laurensus Regi mengatakan, jumlah penduduk di Palue mencapai 9.990 jiwa yang tersebar di delapan desa, yaitu Maluriwu, Reuwarere, Kesukoja, Lidi, Lodaloka, Tuanggeo, Rokirole, dan Nitunglea.

”Orang Palue tidak akan betah meninggalkan pulau ini,” kata Petrus Fidelis Cawa (70), tokoh adat dari Kampung Ngalu, Ruewarere.

Saat Rokatenda meletus tahun 1963, Petrus memandu orang Palue pindah ke Maumere, Pulau Flores. ”Di sana kami diberi sawah. Namun, warga tidak betah dan akhirnya kembali ke Palue,” katanya. ”Kami terlalu mencintai pulau ini.” (Samuel Oktora/Amir Sodikin)

Sumber: Kompas.Com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes