Eksistensi Etnis Tionghoa di Sulawesi Utara

Amelia Tungka (tengah) ikut diskusi pluralisme di Gran Puri 24-10-2012
Menjadi warga negara Indonesia membuktikan bahwa etnis Tionghoa sejajar dengan etnis lainnya termasuk dengan etnis di Sulawesi Utara.

SELAMA ini masyarakat cenderung beranggapan bahwa etnis Tionghoa mengeksklusifkan diri. Kenyataannya tidak demikian.

Begitulah yang terungkap dalam diskusi Pluralisme dan Multikulturalisme di Sulut yang digelar North Sulawesi Network (NSN), Tribun Manado dan Paguyuban Tionghoa Tumou Tou di  Hotel Gran Puri Manado, Rabu (24/10/2012). Diskusi seri pertama ini memilih judul:Sejarah dan Eksistensi Etnis Tionghoa di Sulut.

Ketertutupan etnis Tionghoa di Sulut bukan tanpa alasan. Sofyan Jimy Yosadi SH, narasumber dalam diskusi ini mengatakan, ada beberapa peristiwa yang membuat etnis ini tertutup bahkan terkesan eksk lusif. Peristiwa G 30 S tahun 1965 ikut andil dalam duka yang berkepanjangan bagi etnis Tionghoa di Sulawesi Utara.

Peserta diskusi
Kala itu, menurut Sofyan, etnis Tionghoa hanya diminta memberikan bantuan atau bahkan memberikan sumbangan dana. Semua orang termasuk etnis Tionghoa yang memberikan bantuan dicatat. "Semua yang namanya dicatat dianggap sebagai pendukung Baperki maupun organisasi onderbouw PKI. Istilah gedung tumpas di beberapa daerah menyiratkan peristiwa kelabu dengan monumen sejarahnya. Jadi jangan heran kalau mereka hingga kini masih terkesan tertutup," kata Sofyan.

Bukan hanya itu peristiwa yang menyisahkan duka bagi etnis Tionghoa. Kata Yosadi, pada  tahun 1970 tepatnya tanggal 14 Maret merupakan awan kelabu bagi etnis Tionghoa di daerah Nyiur Melambai.

"Klenteng Ban Hin Kiong dibakar oleh segelintir oknum karena hal sepele. Pembangunan kembali klenteng dan interaksi yang baik dengan orang Minahasa maupun etnis lain tidak menimbulkan ekses yang besar bahkan konflik di antara masyarakat," tuturnya.

Kebijakan-kebijakan pemerintahan ketika Orde Baru membuat  etnis Tionghoa mengalami diskriminasi di Indonesia. Di saat itu, menurut Sofyadi, ada beberapa aturan seperti peraturan di bidang ekonomi yang dikenal dengan benteng Stelsel. Peraturan ini menetapkan bahwa penduduk Indonesia etnis China tidak dibolehkan mendirikan perusahaan kecuali bekerja sama dengan golongan penduduk non China. "Selain itu ada Perpres No 10 tahun 1959 yang menjadikan etnis China traumatik," ujarnya.

Meski begitu, kata Sofyan, pada dasarnya etnis Tionghoa tidaklah eksklusif seperti anggapan masyarakat pada umumnya. Menurutnya, banyak etnis Tionghoa yang terlibat dalam berbagai bidang untuk memajukan negara ini. Beberapa pengusaha bahkan mulai merambah ke bidang pendidikan, atau bahkan ada juga yang sudah terlibat langsung dalam dunia politik. "Ada juga interaksi lintas etnis, misalnya ketika perayaan Cap Go Meh, ada tarian Kabasaran dari Minahasa, ada juga pemain barongsai yang bukan dari etnis Tionghoa," ucap Sofyan.
Narasumber diskusi

Dr Mieke Imbar Mpd juga mengatakan etnis Tionghoa tidak eksklusif. Menurutnya, memang benar apa yang dikatakan Sofyan bahwa merujuk pada sejarah yang terjadi bukan hanya di Indonesia tapi juga di China. Menurutnya, menjadi warga negara Indonesia membuktikan bahwa etnis Tionghoa sejajar dengan etnis lainnya yang termasuk dengan etnis di Sulawesi Utara.

"Kami etnis Tionghoa punya semboyan, satu musuh itu terlalu banyak tapi 1.000 sahabat itu masih sangat sedikit. Jadi saya rasa ini membuktikan bahwa etnis Tionghoa tidak eksklusif tapi mau berinteraksi dengan siapa saja," tutur Imbar.

Menurut sejarahwan dan budayawan Dr Ivan Kaunan MHum, mengatakan, ekslusifnya etnis Tionghoa terjadi karena pada zaman penjajahan Belanda, yang diperbolehkan masuk ke dalam benteng. Kala itu, etnis Tionghoa yang sebagian besar sebagai pedagang dianggap kaum terpandang dibandingkan kaum pribumi.
"Semua hasil bumi dari masyarakat dikumpulkan menjadi satu nanti kemudian dibawa oleh orang-orang etnis Tionghoa ke dalam benteng yang dibangun oleh Belanda," demikian  Kaunang.


Berperan Aktif
Banyak peran dimainkan etnis Tionghoa di Sulawesi Utara meskipun mereka mengalami berbagai peristiwa pedih dalam perjalanan sejarahnya. Mereka  tiada henti menunjukkan eksistensi mereka sperti dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, keagamaan, perekonomian, hingga politik dan hukum. Inilah yang terungkap dalam diskusi menyingkap Pluralisme dan Multikulturalisme yang diselenggarakan North Sulawesi Network, Tribun Manado  dan Paguyuban Etnis Tionghoa Tumou Tou di Hotel Grand Puri, Rabu (24/10/2012) lalu.

Etnis Tionghoa berbangga ketika ada pahlawan nasional yang berasal dari etnis mereka yakni John Lie yang memiliki nama asli Lie Tjeng Tjoan. John Lie lahir di Manado dan menikah dengan Maryam Angkuw.

Gubernur Sulut SH Sarundajang membuka diskusi
Dalam perjuanganya, John Lie banyak membantu para pejuang kemerdekaan lainnya seperti mendirikan naval base yang bisa menyuplai bahan bakar, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi para pejuang ketika mempertahankan kemerdekaan Indonesia. "John Lie merupakan generasi kelima perantauan Tiongkok sejak Lie Sin yang berasal dari Xiamen tiba di Manado," ujar Sofyan Jimmy Yosadi SH.

Tak hanya John Lie yang merupakan tokoh Tionghoa yang menunjukan eksistensi mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja Goan Sangkaeng yang begitu terkenal pada zaman Permesta, juga Soei Swie Goan atau Nyong Loho yang berjaya di bidang olahraga dan pernah menjabat sebagai Ketua Klenteng Ban Hin Kiong serta pelopor berdirinya Majelis Agama Khonghucu di Sulut.

Sejak era reformasi, etnis Tionghoa semakin menunjukkan eksistensinya. Bidang  politik bukan hal yang tabu lagi. Beberapa tokoh Tionghoa yang dahulunya berlatar belakang pengusaha mulai merambah dunia politik, bahkan di antara mereka ada juga yang menjadi pengurus aktif partai politik. Di Sulut, menurut Sofyan, setidaknya ada tiga kepala daerah yang berasal dari etnis Tionghoa, sebut saja Wali Kota Bitung Hanny Sondakh, Bupati Sitaro Tonny Supit, dan Bupati Minahasa Tenggara Telly Tjanggulung. "Ada juga anggota legislatif yang berasal dari etnis Tioghoa dan mereka aktif menyuarakan aspirasi masyarakat," tutur Sofyan.

Di bidang perekonomian, kawasan bisnis Boulevard Manado merupakan persembahan nyata pengusaha dari etnis Tionghoa. Begitu juga di kawasan yang sering disebut segitiga Calaca, hampir semua pedagang berasal dari etnis Tionghoa.

Kata Sofyan, eksistensi etnis Tionghoa dapat juga dilihat dari berbagai bangunan sejarah maupun pembangunan infrastruktur. "Arti kepahlawanan dan perjuangan sudah saatnya diperluas. Pengusaha adalah juga pejuang bangsa yang memberi dampak luas bagi peningkatan kualitas kehiduoan perekonomian dan pembangunan," kata  Sofyan.

Dr Ivan Kaunang MHum mengatakan, ketika berbicara mengenai eksistensi, etnis Tionghoan memiliki peranan penting sejak berabad-abad lamanya dalam pembangunan daerah ini. Kata dia, tidak tertutup kemungkinan ada kesan "bargaining position" secara politis ketika muncul wacana eksistensi etnis Tionghoa. "Ini menyatakan bahwa entis Tionghoa juga adalah orang Sulut sama seperti etnis yang lainnya," kata Kaunang.

Dr Taufik Pasiak pun mengamini hal tersebut. Ia mengatakan, perubahan budaya di kalangan etnis Tionghoa ke arah politik merupakan fenomena menarik. Namun menurut Pasiak, persiapan para tokoh Tionghoa ketika terjun ke dunia politik, tidak sekuat persiapan mereka saat bergerak di bidang perekonomian. "Saya rasa mereka masih harus menambah persiapan mereka sama ketika mereka mempersiapkan diri ketika terjun di bidang perekonomian," tutur Pasiak.

Ditambahkannya, etnis Tionghoa menjadi seorang politisi adalah hal yang luar biasa. Kata dia, mereka yang terjun di dunia politik yang memiliki dasar perekonomian yang kuat, tidak lagi memikirkan bagaimana cara  mengumpulkan pundi-pundi mereka. Hal inilah menurut Pasiak, bisa mengurangi budaya korupsi.

"Ketika saya mendengar Wali Kota Bitung persiapan mencalonkan diri menjadi gubernur, maka saya pikir ini harus kita dukung. Mungkin dia akan menjadi gubernur yang memiliki integritas," tuturnya. (rine f araro)

Sumber: Tribun Manado edisi 27-28 Oktober 2012 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes