Konflik Komunal yang Menggetarkan Hati

Tangisan anak pengungsi korban bentrok Lampung (foto Tribun Lampung)
KONFLIK komunal di Desa Agom, Kecamatan Kalianda, dan beberapa desa sekitarnya dengan warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Provinsi  Lampung Selatan sungguh membuat  air mata kita berderai. Hati seperti teriris sembilu melihat ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah, mengungsi ke tenda dan barak-barak serta fasilitas umum seperti sekolah polisi.

Lebih pedih lagi menyaksikan 14 orang meregang nyawa dalam kondisi mengenaskan. Mereka mati tersabet pedang, panah dan parang. Tubuh-tubuh ringkih bergelimpangan di jalan, di tengah kebun dan sawah.

Kerugian materi pun tidak sedikit. Sebanyak 166 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno ludes dibakar, 26 rusak berat, 11 unit sepeda motor tinggal rangka dan dua gedung sekolah rata tanah dilahap si jago merah. Oh Tuhan apa yang salah dengan bangsa besar ini? Mengapa sesama saudara sebangsa dan setanah air tiada henti bakubunuh seolah tak ada lagi rasa kemanusiaan.

Meninggalkan rumah, mengungsi di kampung sendiri.
Pemicu bentrok massa di Lampung Selatan bisa dilukiskan sebagai masalah sepele. Masalah yang semestinya bisa diselesaikan secara kekeluargaan bila semua pihak mau menyikapinya dengan kepala dingin. Seperti diwartakan media konflik itu  berawal dari dua gadis dari Desa Agom yang sedang mengendarai sepeda motor diganggu pemuda Desa Balinuraga sehingga terjatuh dan mengalami luka-luka.

Setelah kejadian itu berembus isu bahwa kedua gadis itu mendapat perlakuan tak senonoh saat mereka ditolong. Isu ini pun memantik emosi lalu pecahlah bentrokkan pada Sabtu (27/10/2012) sekitar pukul 23.00. Massa dari Desa Agom menyerbu Desa Balinuraga dengan membawa senjata tajam seperti parang, pedang, golok, celurit, bahkan senapan angin. Bentrok berlanjut hingga Minggu (28/10/2012) dan Senin (29/10/2012) yang menelan korban jiwa 14 orang.

Setelah jeda cukup lama pasca kerusuhan Ambon dan Poso, konflik komunal di Lampung Selatan merupakan peristiwa berdarah paling menggetarkan hati yang terulang di negeri ini. Terbukti  kita jatuh ke dalam lubang yang sama. Kita gagal mencegah konflik berujung kekerasan hingga menghilangkan nyawa manusia.

Patut kita pertanyakan sekali lagi di manakah para pemimpin negeri ini, baik di tingkat lokal maupun nasional? Kita memang punya pemimpin tetapi pemimpin yang ada hanya ingat diri sehingga kharismanya nol besar dan gagal membendung konflik berdarah. Lambannya  aparat keamanan bertindak tegas dan tepat sasaran guna meminimalisir jatuhnya korban juga mengindikasikan lemahnya kepemimpinan itu. Jika sistem intelijen kita berjalan seharusnya isu pemicu konflik sudah bisa terdeteksi lebih dini diikuti langkah-langkah pencegahannya.

Kita berharap tragedi Lampung Selatan jangan terulang lagi di daerah lain, termasuk di Sulawesi Utara. Kita dukung proses hukum  namun pendekatan hukum dan keamanan saja tidaklah cukup bukan? Mari kita menyelam lebih dalam untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi di Lampung Selatan? Boleh jadi benih konflik itu sudah tumbuh kembang  selama bertahun-tahun dan dipelihara. Yang terlihat cuma riak di permukaan. Sesungguhnya di Lampung Selatan ada api dalam sekam. Kini saatnya api itu membara dan membumihanguskan. *

Sumber: Tribun Manado 1 November 2012 hal 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes