MBH yang Kusam, Kumuh dan Angker

MANADO, TRIBUN - Aset Pemerintah Provinsi (Pemprov)  Sulawesi Utara (Sulut) yakni  Manado Beach Hotel (MBH) di Desa Mokupa Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa yang lama terbengkalai akan dikembangkan lagi.

Setelah lama bernegosiasi, kini sudah ada titik terang untuk pengembangan aset bernilai ratusan miliar itu. Negosiasi sejak lama dilakukan Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi Sulut. Menurut mantan Kepala Biro Ekonomi Adry Menengkey,  sudah ada investor yang berminat mengelola MBH. "Nantinya  dibangun fasilitas baru di sana," ucapnya kepada Tribun Manado, Minggu (4/8/2013).


Menurut Manengkey,  dalam negosiasi tersebut  Pemprov Sulut tak akan melepas hak sebagai pemilik aset. Investor akan diberi hak kelola. Dalam negosiasi itu, jelas dia, pemprov mendapat 20 persen dari keuntungan yang disetor ke kas daerah per tahun. Manengkey menyebut perusahaan Semesta Maju Jaya sebagai pihak yang sudah berminat mengelola MBH.

"Tetap akan dibangun tapi pemerintah tidak kehilangan aset, jadi kerja sama akan diberikan hak kelola kepada investor. Aset MBH tetap milik pemerintah,  milik masyarakat Sulut. Setiap tahun ada keuntungan dari sana menjadi sumber PAD pemerintah provinsi. Pengelola tidak dirugikan," ujarnya.

Bentuk kerja sama seperti ini,  kata Menengkey,  sudah terbukti keberhasilannya. Dia memberi contoh pengelolaan aset Pemprov Sulut di Jakarta yakni Aero Hotel. Aset tetap menjadi milik Pemprov, keuntungan yang dihasilkan pengelola Aero Hotel disetorkan tiap tahun ke kas daerah.

"Konsepnya sama seperti pengelolaan Aero Hotel di Jakarta," katanya. Walau demikian, lanjut dia, penanganan aset daerah harus tetap mengacu pada aturan agar tidak memakan korban yang berurusan dengan masalah hukum.

Wakil Ketua DPRD Provinsi  Sulut, Arthur Kotambunan mengatakan beberapa waktu lalu MBH sempat ditawar pengusaha nasional  Tommy Winata sebesar Rp 55 miliar. "Saat itu hampir disetujui, namun pihak Tommy Winata mengajukan syarat kalau nantinya masih terjadi masalah, Pemprov Sulut harus bertanggung jawab," kata Kotambunan, Minggu (4/8/2013).


Syarat tersebut, kata dia,  dinilai berat sehingga MBH tak jadi dikelola pihak swasta. "Siapa yang berani nanggung sekiranya ada masalah,"imbuhnya. Setelah tawaran dari Winata itu,  menurut Kotambunan belum ada lagi pembicaraan serius soal MBH. Apalagi setelah ditaksir oleh BPK RI harga MBH lebih tinggi. "Terakhir BPK RI menaksir nilai MBH sekitar Rp 150 miliar. Sejak itu belum ada pengusaha yang melirik," jelasnya. Pria yang sebentar lagi mengaku akan pensiun dari dunia politik ini berharap MBH bisa dikelola pengusaha. "Tapi kali ini harus dengan cara yang benar, jangan sampai ada MBH-gate seri dua. "Saya ingin segera saja MBH ada di tangan pengusaha dan dikelola dengan profesional," kata Kotambunan.

Anggota DPRD Sulut dari Fraksi Golkar Sherpa Manembu pun mengakui sudah lama dewan tidak membahas aset MBH semenjak aset itu bermasalah secara hukum yang membelit sejumlah elit pejabat di Sulut. "Setahu saya terakhir pembicaraannya beberapa tahun lalu, setelah itu tidak ada lagi," katanya, Minggu (4/8).

Manembu menilai, ada persoalan status tanah yang belum jelas. Saat ini, kata dia,  bangunan MBH yang terbengkalai itu sudah tidak lagi bernilai. Tinggal tanahnya saja yang menjadi aset utama daerah. Manembu setuju pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Tugas pemerintah adalah menyelesaikan masalah yang masih membelit MBH.  "Jangan pemerintah yang mengelola, harus swasta," katanya.

Kilas Kasus 
Kasus hukum yang membelit  Manado Beach Hotel berawal dari kepimilikan saham Pemprov Sulut sebesar 19 persen di PT Pengembangan Pariwisata Sulawesi Utara (PT PPSU). Pemprov Sulut menalangi utang PT PPSU ke BBPN Rp 25 miliar, yang dialokasikan dalam APBD 2002-2004, dengan kompensasi kepemilikan saham Pemprov Sulut berubah dari 19 persen menjadi 80 persen di PT PPSU.  Ternyata, proses pelelangan di BPPN, dana yang digunakan hanya Rp 18 miliar melalui mediasi PT Tribrata Mitra Jakarta.

Dalam proses pembayarannya, pemprov mencairkan dana sebesar Rp 18 miliar yang disalurkan melalui BNI Sekuritas. Setelah negosiasi, disetujui hanya Rp 6,8 miliar yang dibayarkan ke BPPN. Sisa dana sekitar Rp 11,3  miliar  dibagi-bagikan ke sejumlah pihak, yakni pejabat Pemprov Sulut Rp 1 miliar, anggota DPRD Sulut Rp 1 miliar, dan untuk pimpinan PT Tri Brata Mitra sebesar Rp 8 miliar.

Pejabat yang terlibat dalam kasus ini antara lain mantan wakil gubernur Fredy Sualang, mantan asisten II Setdaprov Sulut J Saruan, mantan sekprov Sulut Alm Johanis Kaloh, Abdi Buchari, mantan Ketua DPRD Syachrial Damapolii, Mieke Nangka, Jos Patty, Elizabeth Winokan, Direksi PT Tribrata Mitra Jakarta yaitu Jhony Ishak dan Ronny J serta pejabat BPPN Thomas Maria. (ryo/rob/aro)

Kusam, Kumuh dan Angker


MANADO Beach Hotel (MBH) yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 11 September 1991 merupakan hotel bintang pertama di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).  Namun, dua puluh dua tahun kemudian kondisinya bisa dilukiskan dengan tiga kata berikut ini kusam, kumuh dan angker.

Kusam dan kumuh langsung terlihat saat Tribun Manado melakukan pantauan di lokasi itu, Jumat (2/8/2013) sekitar pukul 11.26 Wita.  Halaman depan hotel penuh rerumputan yang tak terawat. Lapisan aspal pada jalan masuk ke dalam hotel sudah terkelupas. Jalan itu dimanfaatkan warga  Desa Mokupa Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa untuk menjemur cengkih.

Ketika Tribun Manado berada di sana beberapa orang warga Mokupa sedang duduk santai di lobby hotel MBH. Warga Desa Mokupa, Salihi Andrikus mengatakan, hampir tiap tahun mereka gunakan lokasi hotel tersebut untuk jemur cengkih. "Kami sudah minta izin sama penjaga hotel ini untuk jemur cengkih. Hanya cengkih saja, kalau hasil kebun lainnya seperti kopra tidak," kata Salihi.

Tribun  menyusuri semua bagian hotel, mulai dari lobby hingga ke kamar hotel. Di lobby masih ada lampu hias yang terpasang dan terdapat prasasti hotel yang diresmikan Presiden Soeharto 11 September 1911. Kondisi lobby hotel kusam dan kumuh. Tak jauh dari lobby, ada bangunan lima lantai. Lantai satu sampai empat terdiri dari kamar hotel, sedangkan lantai paling atas merupakan ruang pertemuan.
Seluruh bagian atap hotel mengalami kerusakan sehingga air hujan langsung membasahi lantai. Dinding hotel berlumut. Saat memasuki ruangan dalam langsung disambut sarang laba-laba dan debu yang menempel di dinding dan lantai keramik.
Lorong di dalam hotel gelap dan tercium aroma tak sedap. Di setiap kamar hotel  sudah tidak ada perabotan satu pun. Yang terlihat hanya cermin besar ukuran 1 x 2 meter yang menempel pada dinding kamar.

Pada salah satu ruangan besar seperti convention center, banyak debu yang menebal. Beberapa kursi lipat yang telah rusak dibiarkan begitu saja di dalam ruang tersebut. Plafon  di ruang Pub & Fitness sudah terjatuh hingga ke lantai. Aroma kelembaban, pengap  dan hawa agak dingin sangat terasa di bagian lantai bawah hotel tak jauh dari ruang Pub & Fitness. Beberapa kaca yang terdapat dalam ruangan tersebut pecah berserakan di lantai. Ada beberapa ruangan yang tidak bisa dimasuki karena untuk ke ruangan tersebut harus menggunakan kunci dan ruangan yang lain gelap gulita hingga menghadirkan kesan angker.

Keangkeran MBH diakui Sali Andrikus (55) dan Melky, warga setempat.  "Waktu jaya-jayanya dulu hotel ini dipenuhi para tamu. Tapi semua itu tinggal kenangan," kata Sali sedih. Kini Sali sering mendengarkan suara aneh dari dalam hotel yang membuat bulu kuduk berdiri. Melky pun mengakui hal serupa. "Saya sudah beberapa kali mendengar suara perempuan manangis, bunyi orang sementara mandi dan suara-suara aneh yang membuat saya takut", kata Melky. (def/kel)

Sumber: Tribun Manado 5 Agustus 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes