KUPANG, PK -Kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Kota Kupang serta NTT umumnya, membutuhkan pengakuan identitas dan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Meski berbeda orientasi seksual tapi LGBT merupakan ciptaan Tuhan dan Warga Negara Indonesia (WNI) yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.
Demikian harapan sejumlah lesbian, gay, biseksual, waria, transgender yang ditemui Pos Kupang di tempat berbeda hari Jumat hingga Senin (12-15 Februari 2016). Mereka di antaranya, Karen, Natacya Golsalves Nahak, Zamantha Karen, Riby Cesia, Ridho Carly, Olga Sabrina Victoria de Kolag, Santi Dewi dan Verra Gaya Trie.
Karen, seorang waria di Kupang, menilai warga Kupang sudah lebih cerdas menilai keberadaan waria dibandingkan sepuluh tahun lalu. "Kalau dulu, masyarakat masih memadang waria sebagai orang aneh. Tapi sekarang, masyarakat sudah lebih cuek dengan kehadiran waria. Tapi diskriminasi terhadap waria masih tetap ada," kata Karen, Sabtu (13/2/2016).
Menurut dia, waria lebih bisa diterima masyarakat karena sejak lama waria sudah tampil dalam kehidupan bermasyarakat dan banyak mengikuti kegiatan sosial. Berbeda dengan kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual (LGBT) yang masih menutup diri hingga kini. "Harapan saya masyarakat bisa benar-benar menerima keberadaan waria termasuk LGBT. Suka atau tidak suka, diakui atau tidak diakui, waria dan LGBT ada di mana saja, rumah, di lingkungan kerja, lingkungan sosial, lingkungan gereja dan lingkungan kemasyarakan lainnya," kata alumni Fakultas Hukum UKAW Kupang tersebut.
Karen menilai pemerintah pun masih mendiskriminasi LGBT dalam berbagai bidang kehidupan. Saat melamar kerja, waria kerap ditolak karena berpenampilan 'cantik'. "Waria adalah laki-laki cantik, inilah salah satu alasan waria tidak diterima dalam bekerja. Tolong, jangan lihat sampul atau covernya, tapi lihat kualitas dan kemampuan kami, kaum LGBT," kata Karen.
Karen berharap LGBT meningkatkan kualitas SDM agar bisa berprestasi dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat. "Mau akui silahkan, tidak juga silahkan. LGBT jangan tunggu diakui, tapi ayo berprestasi agar keberadaan kita bisa diakui. Sebab LGBT bisa diberdayakan dan punya potensi yang sama dengan kaum heteroseksual," kata Karen.
Keren menolak pandangan yang sering mengaitkan tindak kejahatan dengan orientasi seksual pelaku. "Kalau ada tindak kejahatan, pasti media mengaitkan dengan orientasi seksual si pelaku. Padahal kejahatan itu kan bisa dilakukan oleh siapa saja," demikian Karen.
Natacya (36), mengatakan, batasan pekerjaan membuat waria hanya bisa bekerja di bidang tertentu seperti salon atau tukang masak. Bahkan ada yang tidak punya pekerjaan tetap sehingga kerap dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk menjerumuskan kaum waria ke hal negatif, seperti trafficking, narkoba dan prostitusi. "Masih ada pandangan bahwa waria menyediakan perempuan yang bisa `dipakai'. Anggapan keliru ini sangat memojokkan waria," kata pemilik Natacya Salon tersebut.
Riby Cesia (26), warga Kabupaten Sikka, punya kesan pihak tertentu manfaatkan kaum waria untuk kepentingan politik saja. "Contohnya, saat Pilkada di Kabupaten Sikka, waria dicari, dikumpulkan, dirangkul untuk mengikuti berbagai kegiatan. Tapi setelah Pilkada, sudah menang, keberadaan waria tidak lagi diakui. Waria apalagi LGBT tidak pernah dilibatkan dalam program, pemerintah," kritik Riby, ratu Waria Sikka tahun 2013.
Waria lain di Maumere yakni Olga, Dewi dan Vera mengatakan, LGBT punya potensi dan kemampuan yang tidak kalah dengan kaum heteroseksual. Oleh karena itu seharusnya diposisikan sama dengan warga negara lainnya. "Tolong lihat keberadaan waria, LGBT. Akuilah kalau kami ada dan berikan kami kesempatan, libatkan kami dalam kegiatan pembangunan di daerah," kata pemilik Olga Salon ini.
Olga menyebut banyak waria hanya lulusan SD, SMP atau putus sekolah sehingga kualitas SDM rendah. Sedangkan program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah hanya fokus bagi kelompok heteroseksual. Dewi berharap pemerintah memberikan bantuan kepada waria dan LGBT. "Saya ingat sepuluh tahun lalu itu pemerintah bagi-bagi bantuan alat salon dan alat masak untuk waria. Tapi sekarang program itu sudah tidak ada lagi," kata Olga yang jago masak ini.
Hak yang Sama
Mengenai hak lesbian, Ketua Organisasi Berbasis Komunitas (OBK) Lesbian Biseksual Transgender (LBT) Female to Male di Kupang, Charly mengatakan, lesbian juga butuh pengakuan dari masyarakat dan negara. Lesbian punya hak yang sama dengan warga heteroseksual lain. "Ada sejumlah teman dikeluarkan dari pekerjaannya karena ketahuan dia lesbian. Hal ini harusnya tidak terjadi karena lesbian juga manusia dan punya hak untuk
bekerja," kata Charly.
Karena alasan itulah, kata dia, kaum lesbian belum berani tampil sebagaimana waria. "Waria yang sudah lebih dahulu berani mengaktualisasikan diri saja sampai sekarang masih dapat diskriminasi dari masyarakat dan negara, sehingga lesbian masih sangsi menunjukkan jati dirinya," kata Charly.
Menurut Charly, tindak kekerasan terhadap lesbian itu tidak hanya terjadi di luar rumah. "Banyak lesbian yang dipaksa dan akhirnya terpaksa menikah dengan pria. Padahal lesbian tidak memiliki perasaan dengan pria. Akibatnya, setiap kali berhubungan suami istri, para lesbian merasa seperti diperkosa. Inilah keluhan yang disampaikan sejumlah teman saat berkumpul dan berdiskusi," kata Charly.
Menurutu Charly, ratusan lesbian yang berada pada 20 titik di Kupang rutin berkumpul untuk diskusi, nonton bareng film motivasi, berbagi pengalaman dan saling menguatkan. "Untuk sekarang, kegiatan kami masih sebatas penguatan intern bagaimana kami bisa lebih dulu menyadari keberadaan, bisa tahu dan pahan tentang LGBT, sehingga bisa siap menghadapi berbagai tantangan bahkan akhirnya mau dan bisa membuka diri kepada masyarakat," kata Charly.
Menurut Charly, sama seperti waria, gay dan biseksual atau trangendser, lesbian juga tidak menuntut diperlakukan secara istimewa oleh masyarakat dan negara. "Kami, lesbian, LGBT hanya minta tolong, akuilah hak dan keberadaan kami, lihat kemampuan kami dan berdayakanlah kami. Kami ini ada, jangan anggap kami tidak ada dan jangan lagi mendiskriminasikan kami," harap Charly.
Hal senada disampaikan Ketua Komunitas Independen Man of Flobamora (Imof) Kupang, Ridho, mewakili sekitar 150-an gay di Kupang. Para gay juga masih sebatas berkumpul secara intern untuk menguatkan kapasitas anggota. Menurut Ridho, banyak gay yang terpaksa menikahi perempuan karena paksaan dan ingin menyenangkan orangtua. Akhirnya mereka hidup dalam kepura-puraan dan tersiksa setiap waktu.
"Harapan kaum gay sangat sederhana. Masyarakat tolong pahami orientasi seksual kami. LGBT bukan penyakit. Kami tidak sakit. Terima dan akui kami ini ada, manusiakan kami selayaknya manusia dan warga negara," kata Ridho yang berharap agar di Kupang dan di NTT tidak ada kekerasan dan diskriminasi yang mengatasnamakan agama atau kelompok tertentu untuk memojokkan dan menyerang HAM dari kaum LGBT. Menurut Ridho, jika tidak memahami LGBT dengan baik jangan langsung menilai dan menghakimi LGBT. Agama jangan dijadikan tameng dari cara berpikir yang salah kemudian menghalalkan kekerasan terhadap LGBT. "Agama dan dosa itu urusan vertikal manusia dengan Tuhannya," kata Ridho. (vel)
Dia Tetap Anak Saya
WILHELMUS Nahak (65), ayah Natacya Gonsalves Nahak, dan Marince Lulu, ibu Zamantha Karen, mengaku menerima pilihan hidup yang telah diambil anaknya untuk menjadi seorang wanita pria (waria). Wilhelmus mengatakan, dia sudah melihat perubahan Natacya saat SMP ketika Natacya memotong alisnya. "Saat itu dia baru pulang liburan dari Kupang dan kembali ke Timtim (Timor Leste, Red). Saya tanya, katanya alis begitu lagi ngetrend di Kupang," kata Wilhelmus, di kediamannya, Minggu (14/2/2016) malam.
Sejumlah teman Wilhelmus terus membicarakan perubahan tampilan Natacya. "Penyanyi Tony Parera pernah bilang ke saya, Emus, anakmu cantik sekali. Saya tanya, siapa? Dia bilang Natacya, tapi saya bingung Natacya siapa? Tony bilang Natacya itu anak laki-laki saya," kata pria asal Kabupaten Belu ini.
Lama-kelamaan Wilhelmus melihat sendiri perubahan fisik Natacya dan hal itu tidak dipersoalkannya. Wilhelmus mengaku tidak malu memiliki anak waria. "Kalau saya malu, apalagi kalau saya menyiksanya, memukulinya, maka pasti saya akan berdosa. Baik tidak baik, Natacya tetap anak saya dan saya bangga meski dia seorang waria," kata kakek lima cucu ini.
Menurut Wilhelmus, dulu dia menduga waria adalah penyakit keturunan karena keluarganya juga ada yang waria. Namun, akhirnya dia tahu dan paham bahwa waria itu bukan penyakit tapi karena pilihan hidup setiap orang.
Wilhelmus menilai hal itu ujian iman baginya dan dia selalu berpesan agar Natacya terus menjaga diri dan tidak bikin masalah hingga berurusan dengan hukum. "Saya pesan dia harus bekerja secara halal agar bisa punya penghasilan sendiri dan tidak membebankan keluarga. Harus rajin ke Gereja, berdoa, dan berbuat baik bagi saudara dan orang lain. Jangan sakiti hati orang," kata Wilhelmus.
Mengenai pacar anaknya, kata Wilhelmus, dia sering berpesan kepada laki-laki yang memacari anaknya agar bisa menjalin hubungan dengan baik. Jika cocok silahkan terus bersama tapi jika tidak cocok, berpisahlah dengan baik dan tidak saling dendam.
"Saya serahkan semua kepada Natacya, jika dia mau kembali sebagai laki-laki normal dan memberikan keturunan kepada saya, saya bahagia. Tapi kalau dia mau tetap jadi waria dan hidup bersama pria, saya juga bahagia. Itu pilihan hidupnya," kata mantan pegawai RRI Timtim ini.
Wilhelmus berharap agar orangtua lain yang memiliki anak dengan orientasi seks yang berbeda seperti LGBT, hendaknya bisa menerimanya dan tidak melakukan tindakan kekerasan. "Memukul tidak menyelesaikan masalah. Memaksa dia untuk kembali ke kodratnya juga tidak bisa karena itu pilihan hidupnya. Biarkan anak kita memilih," ujarnya.
Hal senada disampaikan Marince Lulu. "Awalnya memang berat menerima kondisi ini. Tapi kami bisa melaluinya dan sangat menghargai pilihan Karen sehingga kami tidak pernah memarahi apalagi memukulinya. Hanya kami tetap punya kerinduan Karen bisa kembali menjadi laki-laki. Biarkan Tuhan dan waktu yang menjawabnya," kata Marince, Rabu (17/2/2016) sore.
Menurut Marince, apapun keberadaan dan pilihan Karen, Karen tetap anaknya. "Orang lain mau bilang apapun, biang anak saya meme, bilang anak saya banci, saya tidak peduli. Karen tetap anak yang saya cintai dan banggakan," kata Marince.
Marince mengaku sangat bangga kepada Karen karena tidak pernah lupa berdoa dan memberikan perpuluhan ke Gereja. "Saya bangga banyak kegiatan positif yang dilakukannya. Dan setiap kali menerima uang dalam amplop, dia selalu memanggil saya di kamar, kami berdoa lalu dia minta saya yang buka amplopnya dan langsung memisahkan perpuluhan untuk Gereja," kata Marince. (vel)
NEWS ANALYSIS
Yuli Rustinawati
Ketua Arus Pelangi Jakarta
Bukan Perlakuan Khusus
LESBIAN, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sebenarnya pilihan orientasi seksual yang diambil oleh setiap orang. Dan, hendaknya pilihan itu dihargai dan tidak dipersoalkan apalagi sampai diskriminasi atau kekerasan terhadap mereka. Bahkan seseorang menjadi LGBT itu sebenarnya sudah terbentuk sejak ia berupa janin di dalam kandungan.
LGBT bukan gaya hidup atau fenomena yang datang tiba-tiba dan menghilang. Tapi LGBT sudah ada sejak zaman dahulu, sekarang dan selamanya. LGBT itu bukan penyakit sehingga tidak bisa disembuhkan. Menjadi berbeda karena memilih orietatasi seksual yang berbeda itu tidak salah dan tidak dosa. Perbedaan itu harus dihargai dan diakui. Seperti perbedaan dalam suka akan warna tertentu atau berbeda dari segi fisik, kamu punya rambut lurus, saya rambut keriting. Yang terpenting bagaimana setiap orang yang berbeda itu bisa menyadari dirinya dan orang lain pun bisa menyadari dan mengakui keberadaannya, kemudian bisa mendapat perlakuan yang sama.
Namun kenyataannya, di Indonesia, keberadaan LGBT yang dinilai berbeda dengan kaum heteroseksual itu masih mendapat diskriminasi dan kekerasan dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Tahun 2013, Arus Pelangi pernah melakukan penelitian mengenai LGBT di tiga kota besar di Indonesia yakni di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar.
Hasilnya menyebutkan ada 89,3 persen kaum LGBT mengalami lima kekerasan. Yakni kekerasan fisik, psikis, seksual, budaya dan ekonomi. Hal ini menunjukkan LGBT masih rentan di ruang publik, belum semua masyarakat termasuk pemerintah menerima dan mengakui keberaaan LGBT dan memperlakukannya sebagaimana WNI.
LGBT hanya ingin diakui haknya sebagai warga negara, LGBT ada bukan untuk menerima siksaan, pelecehan dan diskriminasi. Tidak boleh ada manusia yang berhak mendiskriminasi LGBT dan mengatakan LGBT adalah golongan pendosa karena menyalahi kodratnya. Orientasi seksual adalah pilihan LGBT dan tidak boleh ada yang ikut campur.
Pemerintah harusnya tidak usah berbuat apa-apa terhadap LGBT, artinya tidak perlu ada perlakuan khusus terhadap LGBT. Perlakukan LGBT sebagai manusia dan WNI sebagaimana warga heteroseksual lain. Banyaknya diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap LGBT terjadi karena faktor interen dan eksteren. Faktor interen LGBT belum tahu dan paham keberadaannya sehingga tidak berani membela diri. LGBT rendah diri, menutup diri. Apalagi dengan tekanan sosial, agama dan budaya maka LGBT belum berani menjadi dirinya sendiri. Juga rendahnya SDM LGBT karena tidak menyelesaikan sekolah lantaran selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif, dibully, diejek sebagai orang aneh. Akibatnya masa depan LGBT tidak lebih baik dari yang lain. Sedangkan faktor eksternal terjadinya diskriminasi terhadap LGBT karena masyarakat belum paham dengan benar tentang LGBT.
Mengekang pilihan orientasi seksual LGBT dan memaksa LGBT kembali ke kodratnya akan berdampak buruk. Langkah tepat yang harus dilakukan yakni bagaimana membuat kaum LGBT, masyarakat dan pemerintah bisa memahami dengan benar tentang LGBT sehingga penafsiran dan tindakan yang dilakukan untuk menyikapi keberadaan LGBT itu tepat.
LGBT harus mulai membangun kepercayaan diri untuk bisa menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Memang tidak mudah mengungkapkan jati diri sebagai LGBT, tapi hal ini harus dilakukan agar tidak hidup terus dalam kebohongan akibat tekanan masyarakat. LGBT harus mulai membuka diri kepada sesamanya, belajar, berdiskusi dan saling menguatkan satu sama lain. Di setiap daerah harus ada komunitas LGBT yang bisa mewadahi dan bisa meningkatkan kapasitas LGBT.
Arus Pelangi siap membantu memberikan penguatan melalui pelatihan dan lainnya baik kepada LGBT maupun masyarakat. Sebab visi Arus Pelangi adalah terus mendorong terwujudnya tatanan masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai kesetaraan, berperilaku dan memberikan penghormatan terhadap hak-hak kaum LGBT sebagai hak asasi manusia. Misi Arus Pelangi menyadarkan, memberdayakan dan memperkuat kaum LGBT yang tertindas. Berperan aktif dalam proses perubahan kebijakan yang melindungi hak-hak LGBT. Berperan aktif dalam proses penyadaran terhadap masyarakat serta proses penerimaan kaum LGBT di tengah masyarakat.
Pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah, hendaknya ikut bertanggungjawab untuk menyadarkan setiap orang menerima dan mengakui keberadaan LGBT. Semboyan Negara RI yakni Bhineka Tunggal Ika berlaku juga terhadap perbedaan orientasi seksual yang dimiliki kelompok minoritas kaum LGBT. (vel)
Sumber: Pos Kupang 19 Februari 2016 hal 1