Sikap dan Pandangan Gereja Soal LGBT

PARA tokoh agama di NTT memiliki pandangan khas tentang  LGBT. Bagi Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Pdt. Dr. Mery Kolimon, pembicaraan mengenai LGBT memang masih sensitif dalam masyarakat maupun Gereja. Seringkali masyarakat  tidak mau berbicara tentang hal ini meskipun LGBT itu ada di tengah-tengah masyarakat.

"Saya secara pribadi berpendapat bahwa sebagai Gereja dan masyarakat, kita harus belajar menerima keberadaan mereka di tengah kita. Jangan melakukan kekerasan baik secara verbal, fisik, psikologis, dan ekonomi terhadap mereka. Terima mereka sebagai ciptaan Allah yang mulia, yang memiliki kekhasan tersendiri di antara kita," kata Pdt. Mery, Senin (15/2/2016).

Menurut Mery, sampai hari ini GMIT belum membuat pernyataan resmi tentang LGBT. Karena masih harus melakukan studi serius terhadap hal ini kemudian membuat pendirian teologis secara bersama sebagai Gereja.

"Bagi saya sendiri, LGBT tidak perlu dikembalikan kepada kodratnya karena mereka juga adalah ciptaan Allah yang utuh.  Masyarakat jangan menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap kaum LGBT. Belajarlah menerima mereka sebagai ciptaan Allah yang mulia. Mereka juga diciptakan dalam citra dan gambar Allah sebagaimana kaum heteroseksual," katanya.

Mery mendorong para orangtua dapat menerima keberadaan anak-anak mereka yang LGBT itu dengan penuh kasih sayang dan menerima seutuhnya, tanpa memaksa anak mereka mengubah diri. Untuk pemerintah, Mery menilai negara bertugas melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali terhadap LGBT. "Kami harap negara tidak berlaku diskriminatif terhadap kaum LGBT. Di hadapan hukum, semua warga negara memiliki hak yang sama terhadap akses pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, peluang kerja dan lainnya. Jangan ada warga bangsa yang diperlakukan secara diskriminatif apapun alasannya," kata Mery.

Mery Kolimon berharap LGBT dapat belajar menerima diri apa adanya sebagai ciptaan Allah yang mulia. Buatlah hal-hal yang positif dalam jemaat dan masyarakat. Berikan sumbangan yang terbaik dari potensi khas yang dimiliki. "LGBT hindarilah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain," katanya.

Sebelum GMIT memiliki sikap jelas mengenai tempat kaum LGBT dalam jemaat, Mery menyarankan  para pendeta tetap melayani LGBT tanpa membedakan mereka dari jemaat lain. "Beri mereka ruang untuk berpartisipasi dalam pelayanan jemaat sesuai talenta yang ada pada mereka. Didik anggota jemaat yang lain untuk tidak melakukan berbagai bentuk kekerasan terhadap kaum LGBT," kata Mery.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT, Abdul Kadir Makarim mengatakan, LGBT haram hukumnya dalam Islam. Kaum LGBT hendaknya kembali ke jalan yang benar, kembali ke kodratnya sebagai laki laki atau perempuan.

"Dalam ajaran Islam, lesbian, gay, biseksual dan transgender dilarang seperti dalam hadits  yang diriwayatkan oleh At Tarmidzi dan Achmad dari Ibnu Abbas yang berbunyi: Dilaknat oleh Allah orang yang melakukan  perbuatan kaum Nabi Luth (homo seksual) dan siapa saja yang kalian dapati melakukan  perbuatan kaum Luth, bunuhlah subyek  dan obyeknya," kata Abdul Kadir Makarim, Selasa (16/2/2016).

Abdul Kadir mengatakan, transgender merupakan perilaku yang dilaknat dalam Islam  sebagaimana hadist riwayat Abu Dawud at  Tarmidzi, Ibnu Majah dan Achmad bahwa "Rasullullah SAW telah melaknat wanita yang  menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita."

"Karena itu dalam Islam, ide dan perilaku LGBT jelas menyimpang dan abnormal. LGBT adalah ide haram dan perilaku LGBT adalah  dosa. Olehnya ide dan perilaku LGBT tidak boleh tersebar di masyarakat. Negara harus menjaga agar LGBT dibersihkan dari pikiran  masyarakat  Indonesia," jelas Abdul Kadir.

Uskup Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr, melalui Romo Gerardus Duka, Pr mengatakan, ajaran moral Katolik menegaskan LGBT merupakan penyelewengan terhadap martabat dan tujuan luhur dari seksualitas dan perkawinan manusiawi. Moral Katolik menegaskan LGBT masuk dalam penyelewengan besar. Dan, tradisi suci Gereja dalam ajarannya tentang "Persona Humana" (Pribadi Manusia) juga menegaskan bahwa LGBT melawan hukum kodrat. Bahwa setiap tindakan seksualitas harus terbuka kepada kelahiran baru. Artinya, LGBT tidak memungkinkan kelahiran baru karena mengabaikan tindakan persetubuhan.

Persetubuhan merupakan ungkapan komunikasi cinta suci paling mendasar dan mendalam dari pria dan perempuan dengan tujuan kelahiran baru (spiritualitas Tubuh manusia) ada dalam relasi terbuka pria dan perempuan. Selain itu, LGBT tidak lahir dari kebutuhan yang benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual.
"Ajaran Katolik tidak membenarkan LGBT. Ada dua hal yang perlu dibedakan yakni antara kecenderungan sebagai LGBT dan dan menjadi pelaku LGBT. Kalau masih kecenderungan, belum masuk dalam kategori dosa karena belum masuk dalam aktivitas seksual. Karena kencenderungan itu merupakan objectifve disorder (ketakberaturan objektif) yang tak wajar," kata Romo Dus.

Namun,  dalam kenyataan bahwa LGBT itu ada sehingga Gereja tidak menolak kehadiran LGBT. Namun Gereja tak membenarkan perbuatannya. "LGBT tetap dihargai oleh Gereja dan menjadi bagian dari persekutuan Gereja yang sama dengan warga Gereja lain. Namun perbuatan LBGT tidak diterima oleh Gereja karena ajaran Moral Katolik yang menekankan martabat seksualitas dan persona humana," kata Romor Dus, Kamis (18/2/2016).

"Pendapat pribadi saya, LGBT adalah manusia dengan hak-hak yang juga tetap harus dihargai sambil tetap tidak mengabaikan tanggungjawabnya di dalam melaksanakan hidup secara sempurna di hadapan Tuhan dan lingkungan hidup bersama. Artinya, LGBT memiliki hak diberlakukan sesuai martabatnya. Tetapi tetap menegaskan bahwa tidak bebas nilai, dalam hal ini ajaran perihal martabat manusia, dan tujuan seksualitas perkawinan. LGBT adalah manusia, pribadi yang harus kita hargai dan cintai dengan martabatnya," kata Romo Dus.

Menurut Romo Dus, LGBT bukan penyakit tapi lebih sebagai penyelewengan terhadap moral seksual. Ada dua ciri yang hadir dalam hidup bersama, yakni sebagai kodrat tetapi juga oleh lingkungan (diri sendiri atau sosial). Yang bersifat kodrat  sulit untuk 'disembuhkan', sementara akibat lingkungan bisa dibantu untuk tidak berperilaku serupa.

Romo Dus menyarankan agar pemerintah tidak perlu menyingkirkan LGBT sebagai bagian utuh dari masyarakat. LGBT harus mendapat penghargaan dan hak yang sama dengan masyarakat lainnya. "Untuk itu Pemerintah perlu memberi perhatian baik secara politis sosial dan juga ekonomi demi membantu menemukan martabat seksualnya secara benar. Pendekatan hukum kurang manusiawi karena LGBT adalah manusia yang adalah warga masyarakat yang sama hak dan kewajibannya," kata Romo  Dus.

Masyarakat juga perlu menerima LGBT sebagai pribadi yang sama sambil membantu mereka memahami dan menghargai martabat seksualitasnya dengan benar. LGBT tidak boleh dipinggirkan tetapi diintegrasikan dalam masyarakat.

Untuk Gereja dan pelayan Gereja, demikian Rm. Dus, diharapkan bisa hadir sebagai gembala  bagi semua orang termasuk LGBT. "Bawalah LGBT untuk menerima dan menjumpai nilai pribadinya di dalam seksualitasnya sebagai ciptaan Tuhan untuk digunakan demi kelangsungan perkawinan suci. Pendekatan kerahiman adalah jalan mengantar mereka yang LGBT menjumpai dirinya, martabatnya secara benar, bukan sanksi yang membuka ruang yang 'luka' bagi mereka. Sapaan dan motivasi adalah pastoral yang dibutuhkan. Untuk LGBT agar dapat hidup dan membaur dengan masyarakat umumnya.  "LGBT harus berani berada bersama masyarakat umum dan jangan menjadikan diri sebagai warga yang lain dari masyarakat umumnya," kata Romo Dus. (vel)

Sumber: Pos Kupang 19 Februari 2016 hal 1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes