Gerson Poyk |
Sebagai apresiasi atas ketokohan beliau dalam jagat sastra Indonesia khususnya NTT, saya membuat catatan kecil ini, tentang makna di balik karya-karyanya yang berlatar lokal, tetapi dibubuhi dengan sentuhan-setuhan modernisme. Karena dia tidak mau terlibat di dalam apa yang dinamakannya dresur.
Dalam cerpennya "Mutiara di Tengah Sawah" terlihat sangat kental dengan warna lokal. Bahan mentah yang digunakan untuk menciptakan cerpen tersebut sangat NTT (NTT made) dan kawasan sekitarnya seperti Bima dan Indonesia Timur. Nama-nama tokoh, topi, bahasa, tempramen, watak, adat istiadat, dalam setting daerah dimana ia lahir dan besar. Namun seperti dikatakannya, dia tidak telan mentah-mentah apa yang ada di daerah.
Dia mengatakan, kampung halamannya di Ba'a, Pulau Rote, adalah bagian dari NTT, yang masih jauh dari kehidupan modern. Untuk itu, jika ia tercemplung ke dalam kehidupan tradisional yang belum modern, maka dia akan kembali ke mayarakat tertutup. Artinya ditutup di dalam masyarakat tradisional dan dituduh menjauhi keindonesiaan. Karena menurutnya faham kedaerahan sangat berbahaya bagi kesatuan NKRI.
Oleh karena itu, walaupun dalam karyanya ia mengagumi kearifan budaya daerah, namun untuk take of dari tradisonalisme kedaerahan, dia menggunakan sastra sebagai kebudayaan spiritual yang modern, yang terdiri dari iman, harapan, cinta kasih, sains dan teknologi. Dengan demikian, sastra dapat menumbuhkan masyarakat terbuka. Menurut dia, kalau mimpi adalah via regia, jalan ke dunia tak sadar, maka karya sastranya adalah jalan ke utopia. Novelnya, "Enu Molas di Lembah Lingko" adalah perjalanan ke utopia itu.
Dalam novel itu dia menyusun ceritanya, dimulai dari seorang profesor matematika berlibur ke Kupang. Lalu dia melihat terlalu banyak sarjana yang menganggur. Dan seorang gadis sarjana memipin sebuah sanggar yang anggotanya terdiri dari beberapa sarjana berbagai bidang. Ketika sang profesor mencari kuburan ibunya, ia bertemu dengan mereka di sebuah bangunan asal jadi. Sang Profesor terkejut melihat begitu banyaknya sarjana penggali kubur. Rupanya, mereka berharap untuk bisa hidup, meski banyak yang mati. Lalu dia mengajak mereka ke lembah lingko dan membuat kebun lodok lingko.
Dalam novel itu, dia menjelaskan bahwa iman diperkuat oleh cinta kasih, cinta kasih diperkuat oleh kerja yang bukan sembarang kerja. Tapi kerja yang memakai conceptual tool berupa bare maximum (kebutuhan maksimum untuk setiap individu). Kita belum mencapai bare maximum itu karena kita terasing dari bumi subur laut kaya. Kita di bumi subur dan laut kaya tapi kepala kita di padang pasir. Karena itu, dia mengajak agar kita berusaha menghilangkan keterasingan itu, dengan kembali ke kearifan budaya kita tapi jangan berhenti di sana. Kita harus melibatkan ilmu, sains, dan teknologi.
Modernisasi, menurut Gerson Poyk, adalah jika orang tua kita menghitung sektor dan segmen kebun dengan tali dan jari, kita menghitung dengan komputer (program Microsoft Office Excel). Nenek moyang kita memakai cangkul, kita memakai traktor. Kita tidak perlu menjadi orang daerah saja, tetapi harus juga menjadi orang Indonesia dan warga dunia. Itu pula sebabnya, roh dari sastra dia adalah sastra humanisme universal. "Dimulai dari absurs walls, diselesaikan dengan moral rebel, moderation".
Sejumlah karya Gerson Poyk dengan setting NTT dapat kita jumpai dalam cerpen, Kain Tenun, Batu Ginjal, Matias Akankari, Sepasang Mata Ibu, Kabut Rendah Dataran Tinggi, Joki Ulung dan masih banyak lagi. Dia telah pergi tetapi pesannya sungguh jelas, bahwa kita boleh memiliki banyak kearifan lokal yang bisa kita angkat dalam berbagai teks sastra dan drama. Tetapi itu tidak boleh mengkooptasi kita ke dalam faham kedaerahan (juga SARA) yang pada gilirannya mengoyak tenun kebangsaan kita.
Bernama lengkap Herson Gubertus Gerson Poyk, lahir di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur pada 16 Juni 1931. Dia dikenal luas di panggung sastra Indonesia melalui karya-karyanya berupa cerita pendek maupun novel yang menjadi rujukan dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Antara lain "Sang Guru" dan "Di Bawah Matahari Bali. Mengawali karier kepenulisannya sejak 1950, berbagai penghargaan pernah di terimanya, seperti dari Majalah Horison, Piala Adinegoro (PWI), Southeast Asia Write Award 1982, Lifetime Award dari Harian Kompas.
Hingga masa tuanya, ia masih terus menerbitkan karya. Antara lain "Meredam Dendam, " Tarian Ombak" serta "Sang Sutradara" dan "Wartawati Burung. (Yohanes Mamun,
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang)
Sumber: Opini Pos Kupang 28 Februari 2017 hal 4