Gerson Poyk: Sebuah Kisah Nyata Tentang Literasi

Gerson Poyk
Keberadaan Gerson dapat dijadikan panutan untuk membebaskan NTT dan Indonesia dari ketertinggalan budaya literasi (membaca dan menulis).

GERSON Poyk adalah sebuah kisah nyata tentang literasi. Bagaimana tidak? Sepanjang hidupnya diisi dengan menulis dan menghasilkan buku. Terakhir Gerson Poyk meluncurkan kumpulan puisi berjudul Dari Rote ke Iowa, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 25 Juni 2016. Peluncuran kumpulan puisi tersebut sekaligus memperingati ulang tahunnya ke-85.

Dari Rote ke Iowa adalah kumpulan puisi pilihan sejak pertama dia menulis tahun 1950-an. "Keseluruhan puisi merupakan akumulasi dari kisah perjalanan kehidupan saya selama berkiprah sebagai jurnalis maupun penulis sastra," kata Gerson Poyk,  sebagaimana disampaikan Berty Sinaulan dalam Kompasiana. 

Sebagai penulis tentu saja ia juga adalah pembaca yang baik. Dari Rote ke Iowa adalah buku terakhir yang diterbitkannya sebelum menghembuskan napas terakhir pada 24 Februari 2017 dalam usia menuju 86.  Kisah Nyata tentang Literasi  Gerson Poyk menulis dan membaca! Keberadaannya menjelaskan kepada orang NTT terutama anak-anak dan generasi muda NTT bahwa soal membaca dan menulis, NTT memiliki teladan.

Kepergiannya pada saat Indonesia baru saja mulai membuat gebrakan baru tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. GLS memperkuat gerakan pertumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 25 Tahun 2015. Salah satu kegiatan dalam gerakan tersebut adalah "kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai," sebagaimana dijelaskan dalam buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas (2016) yang dikeluarkan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud 2016.

GLS bagi Gerson Poyk adalah kenyataan! Baginya membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Beliau menulis, termasuk menulis pengalaman masa kecilnya. Untuk hal ini Gerson Poyk adalah teladan utama. Masa kecil dan berbagai hal yang dialami pada masa kecil menjadi bagian dari karya kreatifnya.

Misalnya, kisah yang diangkat dari kepercayaan lokal Manggarai tentang Poti Wolo, makhluk gaib berkaki satu dan berkuku kuda yang didengarnya di Ruteng, Manggarai, menjadi kisah imajiner baginya dalam menulis novel Poti Wolo (1988). Demikian pula karya-karyanya yang lain seperti Sang Guru (1971), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Cumbuan Sabana (1979), Di Bawah Matahari Bali (1982), berangkat dari konflik sosial yang pernah dilihat dan disaksikannya sendiri dalam perjalanan masa kecil maupun masa dewasanya di Kota  Bajawa, Ruteng, Ende, Maumere, Rote, Alor, dan lain-lain.

Dari perjalanan kariernya sebagai wartawan maupun sastrawan, jelas bahwa Gerson Poyk mengajar dan mendidik budaya literasi dengan bukti, bukan janji-janji. Apa yang dibaca dan telah ditulis dan ditinggalkannya bagi generasi penerus NTT menjawab kegelisahan bangsa Indonesia tentang rendahnya minat baca dan menulis.

Literasi dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (Panduan GLS Kemendikbud, 2016).
Bukan mengada-ada jika kesempatan mengenang Gerson Poyk dideskripsikan berkaitan dengan GLS. Membaca, melihat, menyimak, menulis, itulah yang dilakukan Gerson Poyk sepanjang hidupnya. Perhatikan catatan Gerson Poyk tentang pengalamannya ketika pertama kali masuk SD di kota dingin Bajawa berikut ini.

"Suatu pagi aku berontak mati-matian karena ibu ingin membawaku ke sekolah. Ibu menggendong aku di pinggangnya dan aku menangis terus, menangis terus meronta-ronta sampai ke sekolah.... Sampai di sana aku berhenti menangis karena aku melihat banyak anak-anak sebayaku. Aku turun dari pinggang ibu dan guru menyambutku, mengangkat tanganku lewat kepala, menyuruh aku meraba telingaku. Sudah itu aku didaftarkan sebagai murid kelas satu tetapi boleh pulang. Sekolah baru mulai besoknya. Aku berkeliling sekolah itu. Aku melihat ada beberapa kantong terbuat dari anyaman daun pandan, berisi sesuatu, tergantung di tembok sekolah, di pohon dan di tiang lonceng. Tiba-tiba aku memanjat tiang lonceng untuk melihat apa yang berada dalam kresek anyaman daun pandan itu. Aku merogoh salah satu kantong dan ternyata isinya jagung kering goreng yang kerasnya seperti batu. Tetapi rahang anak Bajawa dapat menghancurkannya. Anak-anak yang membawa jagung goreng kering (tanpa minyak) itu datang dari kampung yang jauh. Makan pagi mereka dari jagung, ubi dan sebagainya, begitu juga makan siang mereka. Tak ada satu pun yang membawa uang jajan."

Gerson Poyk menjelaskan apa yang dicatat Panduan GLS 2016 bahwa nilai-nilai budi pekerti dan kearifan lokal (misalnya angkat tangan melewati kepala dan sanggup memegang telinga, Red) sebagai salah satu syarat mendaftar di SD ketika itu. Kearifan yang sulit dimengerti oleh generasi masa kini, kecuali membacanya dari pengalaman masa lalu orang tua-tua, termasuk Gerson Poyk yang merekamnya ke dalam tulisan. Kearifan lokal tentang jagung kering di Bajawa melukiskan tentang semangat berjuang anak-anak Bajawa sekolah berbekal jagung dan ubi. Kekayaan ini menjadi nyata ketika saat ini potensi pangan lokal menjadi salah satu kekuatan yang dibangun Pemerintah RI.


Dijelaskan dalam Panduan  GLS (2016) bahwa uji literasi pemahaman membaca (selain matematika dan sains) peserta didik  kelas IV dilakukan oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Ecucational Achievement) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Sedangkan untuk peserta didik usia 15 tahun dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama  dan Pembangunan Ekonomi (OECD/ Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assesment (PISSA). Hasilnya, PIRLS 2011 Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta, sedangkan dalam PISSA 2012 Indonesia berada pada urutan ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi. Khusus untuk keterampilan membaca (biasanya diikuti dengan kemampuan menulis) peserta didik Indonesia tergolong rendah.

Bagaimana jika uji literasi pemahaman membaca (dan menulis) dilakukan untuk anak-anak NTT. Pada tingkat Indonesia, berada pada urutan ke berapakah anak-anak didik kita? Dengan catatan di atas, mudah bagi kita untuk memposisikan diri berada di mana. Bisa paling tinggi, menengah, atau mungkin juru kunci. Pemaparan ini seyogyanya ingin membuka pikiran dalam GLS bahwa NTT dapat belajar dan memperoleh pelajaran berharga dari perjalanan hidup seorang Gerson Poyk. Gerson Poyk yang telah menjalani hampir seluruh hidupnya untuk membaca dan menulis.

 Catatan Penutup
Gerson Poyk adalah contoh untuk mengukur kemampuan literasi tertinggi "anak NTT". Keberadaannya dapat dijadikan panutan untuk membebaskan NTT dan Indonesia dari ketertinggalan budaya literasi (membaca dan menulis). GLS (Gerakan literasi sekolah melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan termasuk guru dan orang tua) di NTT dapat dilakukan berdasarkan kisah nyata tentang Gerson Poyk yang belajar membaca dan menulis dari lingkungannya. Catatan tentang beliau yang ditulis seorang wartawan senior dapat dibaca berikut ini.

Di Maumere ini pulalah untuk pertama kalinya Gerson tahu kalau ayahnya bisa menulis, setelah memergok ayahnya menulis puisi dalam bahasa Latin.

"Tiba-tiba ayahku sibuk. Di malam hari, ia duduk di meja kamar depan, membakar lampu taplak, mengambil botol tinta dan pena serta kertas dan kamus lalu menulis berjam-jam sampai larut malam. Di hari minggu pun, karena Maumere tak ada gereja Protestan, maka ayah tak keluar. Ia menulis terus, menulis terus. Ketika aku mencuri-curi membacanya ketika ayah pergi, aku lihat ada sebuah sajak panjang berjudul Te Deum Laudamus. Entah apa artinya dalam bahasa Latin."

"Bajawa, sebuah kota kecil di Kabupaten Ngada (Pulau Flores) adalah kota kesadaran pertama seorang anak kecil yang lahir di pulau Roteà. Kota Bajawa di masa kecilku terdiri dari sebuah tangsi polisi, sebuah rumah sakit, sebuah Sekolah Rakyat, sebuah Gereja Katolik yang indah dan besar sekaligus rumah-rumah untuk pastor dan suster dan beberapa rumah pembesar pemerintah serta beberapa toko milik orang Tionghoa dan sebuah pasar terbuka (lapangan).

Lapangan rumputnya hijau subur terpotong rapi, mungkin oleh orang-orang strapan (narapidana). Aku tak ingat di mana letak penjara, kecuali jalan menuju kuburan karena rumah dinas kami nomor dua dari pojok jalanan menuju tempat itu. Ayahku seorang mantri yang mengepalai rumah sakit di kabupaten itu. Masa itu dokter tinggal di ibukota keresidenan (di Ende) dan sekali-sekali ia datang mengunjungi rumah sakit yang dipimpin oleh ayahku."

Catatan di atas menjelaskan bahwa Gerson Poyk adalah sebuah kisah nyata tentang literasi yang patut diteladani. Spirit dan perjuangannya dalam menumbuhkan budaya literasi (membaca dan menulis) adalah kebanggaan NTT yang mesti diimplementasikan antara lain melalui GLS. GLS  yang dicanangkan kemendikbud demi melahirkan generasi baru yang cerdas dan berbudi pekerti melalui membaca menulis dengan berpijak pada ekologi dan kearifan lokal. (maria matildis banda)

Sumber: Pos Kupang 26 Februari 2017 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes