Damyan Godho |
Pendiri
BAHAGIA, itulah rasanya pengelola saat surat kabar ini setelah menjalani hari-hari panjang 25 tahun, sejak berdiri 1 Desember 1992. Bahagia karena hari hari panjang -sejak masa keperintisan dan pengembangan-di tengah terpaan berbagai masalah dan tantangan, bisa dilewati.
Bagaimana memulai penerbitan surat kabar di suatu provinsi yang serba tidak punya sesuatu pun -semua yang di tahun 1992 pasti mengetahui kondisi saat itu -boleh dibilang sebagai keberhasilan yang sungguh membahagiakan meski masih sangat minimal.
Maka, sebagai pendiri yang tinggal satu-satunya -setelah ditinggal pergi oleh almarhum Valens Goa Doy dan almarhum Rudolf Nggai-bersama segenap pengelola hari hari ini, tidak boleh tidak haruslah bersyukur dan berterima kasih.
Pertama, kepada Yang Maha Kuasa Kuasa karena kuasa penyelenggaraanNya sudah pasti menuntun dan melindungi usaha dan kerja keras pengelolanya.
Kedua, kepada masyarakat pembaca yang menerima kehadiran surat kabar ini apa adanya, sejak terbit awal 1 Desember 1992 hingga mencapai usia 25 tahun.
Sekadar kilas balik, Kupang, ibukota Provinsi NTT di tahun 1992 adalah salah satu dari sekian ibukota provinsi yang belum punya surat kabar harian. Untuk memulai penerbitan surat kabar ini, yang ada hanyalah tekad dan semangat mau bekerja keras.
Tak ada satu pun bahan baku cetak di daerah ini selain didatangkan dari Jawa. Sumber daya manusia pun sama. Semuanya harus ditangani simultan menjadikannya sebagai suatu pekerjaan "gila".
Tak heran, tak sedikit orang yang menyangsikan kemungkinan tekad dan usaha "gila" ini bisa berhasil. Terutama karena cita-cita ambisius, ingin menjadikan Pos Kupang sebagai surat kabarnya warga NTT di mana pun, dengan moto: Suara Nusa Tenggara Timur.
Semua hal di atas, bukannya tak disadari. Ini bahkan memperkokoh semangat menerbitkan surat kabar Pos Kupang dan menjadikannya sebagai tantangan maha berat yang harus dihadapi. Yaitu tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi lebih dari itu bertekad menjadi perintis budaya membaca, menjadikan warga daerah ini suka membaca, budaya baru bagi warga daerah yang kekurangan sarana baca saat itu.
Ibarat menanam pohon di tanah kering dan keras semisal Pulau Timor. Hanya tanaman keraslah yang dapat tumbuh dan hidup di atas tanah kering dan keras, menanam dengan semangat keras dan terus bersemangat, apapun keadaannya.
Bagaimana menanamkan kegemaran dan menjadikannya budaya membaca di tengah tingginya tingkat buta huruf warga NTT dengan daya beli dan minat baca yang rendah? Menjangkau wilayah terisolir NTT hanya melalui transportasi udara dari Kupang? Di tengah sekitar 50 kelompok etnis/budaya dengan 200-an dialek lokal, yang mau tak mau keragaman dan aspirasinya harus dimengerti dengan benar?
Maka bagi saya, pendiri surat kabar ini yang tersisa, ingin mengingatkan generasi penerus bahwa hutang besar kepada warga NTT adalah menuntaskan budaya membaca yang rasanya masih harus ditumbuhkan sekuat-kuatnya.
Jika tiras surat kabar ini bertumbuh misalnya, penting diketahui sejauh mana pengaruhnya terhadap pertumbuhan budaya membaca? Tentu saja ada ukuran lain untuk menilai keberhasilan Pos Kupang menumbuhkan budaya membaca, terutama saat munculnya pers bebas awal dekade 2000-an.
Hari-hari ini pertumbuhan dan perkembangan dunia pers sekitar kita berlangsung begitu cepat akibat berbagai perubahan luar biasa yang tidak terbayangkan, yang datang tanpa kompromi dan tanpa terduga.
Semisal, pergantian generasi baru yang tuntutan, harapan, gaya hidup dan cita rasanya tentang media massa yang umumnya berubah.
Perkembangan teknologi informasi dan media massa yang dengan dahsyat mempengaruhi hidup matinya media cetak. Ramalan bahwa zaman media cetak seperti Pos Kupang hanya tinggal hitung hari, harus disadari bukan sekadar rekaan tetapi harus disikapi dengan benar.
Semua yang dicapai Pos Kupang hingga kini, bolehlah dibanggakan sebagai
keberhasilan, yang harus disertai kesadaran bahwa masih banyak catatan sebagai hutang. Terutama budaya membaca yang rasanya belum atau kurang bertumbuh sesuai impian besar 25 tahun lalu.
Jika kegemaran membaca atau budaya membaca menjadi ukuran kemajuan masyarakat, kini penting dievaluasi seberapa jauh surat kabar harian pertama di NTT ini telah berperan menumbuhkan budaya membaca yang harapannya ikut mendorong perubahan dan kemajuan daerah ini.
Tak bolehlah berbangga jika dari sudut ekonomi dan kesejahteraan pengelola berubah menjadi lebih baik, jika budaya membaca warga NTT begitu begitu saja, belum bertumbuh. Menjadi hutang besar bagi warga daerah ini yang menerima dan membanggakan kelahiran Pos Kupang 25 tahun lalu.
Mengawali usia ke-26 dan seterusnya, pengelola Pos Kupang yang diwarnai oleh kehadiran generasi baru, perlu belajar menempatkan diri, menyegarkan peranannya dan beradaptasi menghadapi perubahan baru yang beragam dan sangat kompleks.
Jika masih konsisten dengan tekad membangun budaya membaca warga NTT, hal itu mesti dimulai dari unsur pengelola sendiri: punya budaya membaca dan terus belajar.
Jika orang pers suka dipandang sebagai pembawa perubahan, maka orang pers sendiri harus mulai dari dirinya. Belajar untuk mencerdaskan diri bagi sesama, dan belajar memahami kebutuhan warga pembaca dengan mempertebal kepekaan sebagai pekerja pers profesional.
Salah satu syarat profesional yang saya pahami ialah menjadikan kerja keras sebagai ibadat. Persaingan dengan beragam media, cetak maupun elektronik, atau apapun modelnya nanti, akan semakin tajam dan bisa saling membunuh.
Tak akan ada yang menolong, jika tak siap. Di lingkungan internal pengelola Pos Kupang, menjadi mutlaklah suatu sistem kerja sama terpadu antarsemua unsur.
Membangun pasar masih sangat memungkinkan meski serbuan teknologi komunikasi dan informasi sudah merasuki daerah ini melalui perkuatan berbagai hal seperti percetakan, digitalisasi perangkat dan fasilitas kerja.
Di masanya saat surat kabar harian ini ditumbuh-kembangkan di waktu lalu, ia telah menjadi semacam pesemaian, tempat berbagai bakat dan minat bertumbuh dan berkembang bersama.
Tidak hanya menjadi pekerja pers berbagai media di mana-mana. Ada yang menjadi politisi (kepala daerah dan anggota DPRD), pekerja eksekutif, wiraswasta, aktivis sosial dan keagamaan dan lain lain. Mereka, dengannya kami bekerja sama sangat keras sambil terus belajar bersama tentang apa yang mesti dikerjakan.
Suatu kebahagiaan lain dari kebanggaan dan keberhasilan berikut mengembangkan Pos Kupang sebagai surat kabar harian pertama dan terbesar di NTT hari ini. Terima kasih kepada semua...Para pekerja dan terutama warga NTT yang menjadikan Pos Kupang sebagai bacaannya.*
Sumber: Pos Kupang 4 Desember 2017 halaman khusus jaket