ilustrasi |
Bangunan sekolah yang terbuat dari bahan lokal dan berlantai tanah sama sekali tidak bisa digunakan. Tiga ruangan kelas sekolah ambruk nyaris rata tanah, sedangkan dua ruangan kelas XIII dan IX miring posiinya. Bangunan sekolah ini tidak menggunakan fondasi beton.
Tiang-tiang utama bangunan hanya diletakkan di atas batu sehingga tidak kuat menahan terjangan angin yang beberapa waktu terakhir ini memang sangat kencang melanda Pulau Timor. Dua hari terakhir para guru dan siswa-siswi tetap datang ke sekolah, tetapi tidak bisa melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM).
Nasib kurang lebih serupa dialami para murid SDNegeri Nanga Boleng, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Sekolah mereka roboh 6 November 2017 lalu karena tak kuat melawan angin. Sudah satu minggu lebih murid sekolah tersebut mengikuti KBM di bawah pohon.
Saat tiba di sekolah, mereka langsung berkumpul di bawah rindangan pohon untuk memulai kegiatan belajar mengajar (KBM). Papan tulis digantung seadanya di salah satu batang pohon dan guru memberikan pelajaran sesuai jadwal kepada para muridnya. Hingga Selasa (14/11/2017), belum ada bantuan yang mereka terima dan para murid masih KBM di bawah pohon.
"Ada dua ruangan kelas yang roboh, yaitu ruangan kelas empat dan kelas lima. Murid kelas lima sebanyak 13 orang. Sekarang mereka sekolah di ruangan darurat bekas kantor sekolah. Sedangkan kelas empat sekolah di bawah pohon," kata Kepala SDN Nanga Boleng, Agustinus Apong, S.Pd.
Fakta yang kita angkat ini mencerminkan wajah Nusa Tenggara Timur (NTT) sesungguhnya. Bahwa masih banyak putra-putri Flobamora yang tidak menikmati fasilitas pendidikan yang layak. Mereka belajar memanfaatkan ruang kelas seadanya yang rentan ambruk diterjang angin.
Belajar di bawah naungan pohon pun bukan sesuatu yang luar biasa lagi di daerah ini. Dari waktu ke waktu masih saja terjadi. Perhatian terhadap pendidikan masih setengah hati.
Para wakil rakyat kita yang memiliki kuasa menetapkan anggaran pembangunan toh tidak peduli pada ketimpangan porsi anggaran yang masih lebih besar untuk belanja rutin ketimbang belanja pembangunan.
Malah DPRD di mana-mana getol berjuang meningkatkan gaji sendiri hingga puluhan juta rupiah sebulan. Mereka tak peduli generasi penerus NTT belajar di bawah pohon atau bahkan mati tertimpa sekolah yang ambruk.
Sekarang ini sedang musim pilkada. Para kandindat kepala daerah sibuk sosialisasikan diri sebagai calon pemimpin paling hebat, paling mengerti derita rakyat dan siap memberikan solusi. Percayalah saat mereka meraih kekuasaan, urusan sekolah roboh boleh jadi dianggap masalah biasa-biasa saja.*
Sumber: Pos Kupang 16 November 2017 hal 4