Bahaya Industrialisasi Pansus

WAKIL Presiden (Wapres) RI, Boediono melontarkan pernyataan yang menohok sekaligus membuka kesadaran kita tentang kekuasaan parlemen. Ketika menerima Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Istana Wapres di Jakarta, Jumat (29/1/2010) lalu, Wapres mengungkapkan kekhawatirannya akan terjadi industrialisasi panitia khusus (pansus). Semua persoalan bangsa dan negara ini dibuat pansus oleh parlemen.

"Salah satunya seperti yang terjadi saat ini, yakni dinamika politik terus bergulir akibat kasus dana talangan ke Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Persepsi di mata internasional dan kebersamaan dalam negeri terganggu karena berita tentang kasus itu tidak memberikan citra positif," kata Boediono seperti dikutip Ketua Bidang Organisasi HIPMI, Kamrussamad.

Orang bisa beda pendapat merespons pernyataan Wapres Boediono. Boleh jadi Wapres serta merta dilukiskan sedang gerah terhadap Pansus Bank Century lantaran Boediono termasuk subyek utama yang menjadi sorotan dalam kasus tersebut. Ketika dana talangan (bail out) diberikan kepada manajemen Bank Century, Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia. Selain Boediono, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani merupakan tokoh utama saat memutuskan talangan ke Bank Century tahun 2008.

Menurut pandangan kita, kekhawatiran Wapres Boediono cukup beralasan. Pansus Bank Century telah bersidang selama dua bulan lebih tanpa hasil konkret. Bahkan sekadar kesimpulan sementara pun tidak berhasil mereka rangkum untuk dipertanggungjawabkan kepada publik.

Sidang pansus yang ditayangkan langsung dua stasiun televisi nasional saban hari serta diliput secara luas oleh media massa cetak dan elektronik di negeri ini seolah menjadi panggung sandiwara belaka. Para politisi di Senayan bermain teater dengan jalan cerita berputar dan berbelit-belit. Cukup sering malah mempertontonkan kepongahan serta cara bersidang yang mengabaikan sopan santun.

Bersidang lebih dari 60 hari tanpa hasil merupakan kinerja yang sangat buruk. Sungguh mencederai kepercayaan rakyat yang memilih mereka lewat pemilu. Sementara uang rakyat yang dipakai untuk membiayai sidang-sidang pansus tidak sedikit. Perkiraaan sementara Pansus Bank Century telah menghabiskan anggaran sekitar Rp 6 miliar. Bukan jumlah yang kecil.


Diksi industrialisasi pansus yang dikatakan wapres hendaknya dimengerti dalam konteks itu. Jujur saja sidang pansus telah menambah pendapatan wakil rakyat yang bersidang. Makin banyak pansus, makin tebal isi kantong anggota parlemen. Pansus menjadi "proyek yang legal" karena memang hak parlemen untuk melakukannya. Celaka dua belas bila demokrasi kita sekadar berujung uang atau kepentingan sesaat!

Praktik semacam ini bukan monopoli politisi di Senayan. Di Nusa Tenggara Timur kegagalan pansus DPRD menelusuri suatu masalah sudah menjadi berita biasa. Anggota Dewan biasanya sangat getol membentuk pansus ini dan itu. Sangat bersemangat mengikuti sidang pansus. Berapi-api menyerang pihak yang diduga bersalah. Berlomba-lomba bepergian untuk dan atas nama tugas pansus.

Namun, semangat mereka menganut prinsip panas-panas tahi ayam. Seiring berlalunya waktu, hasil kerja pansus tidak jelas. Pansus kehilangan haluan dan anggota Dewan tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kepada rakyat. Rakyat Nusa Tenggara Timur di mana saja berada mestinya tidak diam melihat kenyataan seperti itu.

DPRD di berbagai daerah sekarang getol membentuk pansus. Bahaya industrialisasi pansus itu sungguh ada di depan mata kita. Kinerja parlemen harus dikawal agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau partai.*

Pos Kupang, Senin 1 Februari 2010
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes