Bawa Mimbar ke Mana-mana

Sefnat Sailana
Oleh Alfred Dama

BERPENAMPILAN sederhana namun berwawasan luas. Itulah Pdt. Sefnat Sailana, S.Th. Pria kelahiran Alor ini sehari-sehari berkarya sebagai pelayan di Jemaat Ebenhaezer Apui, Kecamatan Alor Tengah Selatan- Kabupaten Alor.

Pdt. Sefnat merupakan salah satu dari banyak mutiara- mutiara di bumi Flobamora yang melakukan kegiatan besar namun luput dari perhatian banyak orang, termasuk pemerintah.

Sejak 11 tahun silam, Sefnat telah mendedikasin diri kepada umat, bukan hanya sebagai pendeta tetapi juga mensejahterakan masyarakat melalui upaya penyelamatan hutan. Dedikasinya dalam hal penyelamatan lingkungan inilah yang membuatnya Forum Acedemia Nusa Tenggara Timur (FAN) memberikan Academia Award 2010 kategori Inovasi Pembangunan kepada Pdt. Sefnat. Ia dipandang berjasa dan berdedikasi tanpa pamrih dalam membangun lingkungan di Apui.

Pdt. Sefnat, lulusan Fakultas Theologia Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang ini, mengisahkan, berkarya dalam bidang lingkungan hidup sudah menjadi pergumulannya sejak 11 tahun mengabdi di Apui. Keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan dimana-mana membuatnya terpanggil untuk melakukan sesuatu.


Bersama-sama jemaatnya dan warga desa umumnya, mereka menjalankan manajemen pengelolaan dan distribusi air minum di Desa Apui. Dimulai dari membuat lubang-lubang resapan air sampai menjalankan manajemen pengelolaan air minum desa yang sampai saat ini masih berjalan.

Pekerjaan tetap sebagai pendeta bukan menjadi penghalang bagi upaya menyelamatkan lingkungan.

Ia bagai membawa mimbar kemana-mana untuk mengajak masyarakat menanam dan menanam untuk menghijaukan lingkungan. Bukanlah mimbar sentris, tetapi mimbar untuk mengajak masyarakat mencintai dan menghargai ciptaan Tuhan berupa menanam dan melindungi hutan.

Ajaran dalam Alkitab tidak sekadar diucapkan tetapi diwujudnyatakan dalam aksi nyata sehari-hari. Sebagai Ketua Klasis di Kecamatan Alor Tengah Selatan, Pdt. Sefnat memiliki program kerja bagi gereja-gereja yang berada dalam Klasis Alor Tengah Selatan. "Ini berangkat dari keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana," jelasnya.

Aksi itu dimulai dengan memrogramkan setiap gereja memiliki hutan jemaat. "Setiap gereja memiliki hutan jemaat karena saya berpikir, gereja juga harus punya andil dalam merehabilitasi kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan karena tebang pohon untuk pembangunan," jelasnya.

Lahan-lahan kritis mulai ditanami, dijadikan hutan jemaat. Jebakan-jebakan air dan sumur resapan dibuat dan lingkungan ou menjadi hijau. Pohon di hutan tak lagi ditebang.

Ide untuk membuat sumur resapan dan jebakan air ini didapat setelah membaca sebuah majalah dan bacaan itu pun diplikasikannya. "Saya baca dari majalah dan kemudian diprogramkan di tingkat klasis," jelasnya.

Selama ini, katanya, masyarakat kurang peduli pada berkat Tuhan berupa air hujan. Air hujan yang turun ke bumi langsung mengalir masuk laut. Dengan mengembangkan sumur resapan, maka air hujan "ditahan" untuk menjadi cadangan air. "Ada kendala, dimana kadang ada kesulitan menyakinkan dan mengajak warga menanam dan membuat sumur resapan. Warga berpikir instan, hari ini kerja besok rasakan manfaatnya. Mestinya harus berpikir jangka panjang," urainya.

Pdt. Sefnat juga aktif memotivasi jemaat untuk menjaga sumber-sumber air dengan melakukan mengadakan ibadah pada setiap Hari Air. "Bertepatan dengan Hari Air Internasional, kita bikin ibadah pada sumber-sumber air. Juga melaukan kegiatan penanaman pohon," jelasnya.

Pendeta Sefnat juga menggelar doa melarang penebangan hutan secara sembarangan sehingga daerah-daerah tangkapan air terpelihara. Ada masyarakat yang membangkang namun dengan pola pendekatan pastoral, kebiasaan masyarakat yang suka menebang hutan ini akhirnya berkurang. Ada pula kebaktian padang dimana jemaat dilarang membakar padang.

Pdt Sefnat juga mencintai keindahan. Ia menyarankan masyarakat selalu menanam bunga di halaman rumah. Dia bahkan sempat dicap menyebar ajaran sesat karena berbagai aksi nyatanya itu. Namun anggapan atau tuduhan itu hilang dengan sendirinya begitu orang melihat hasil nyata yang diperoleh.

Dia juga melarang umatnya membeli pohon natal. Sebagai gantinya dirancang anakan pohon hidup sebagai pohon natal.

"Yang menjadi komitmen kami di sana adalah bagaimana membawa mimbar ke tengah-tengah alam atau tempat kerja," jelasnya.

Ada filosofi nenek moyang yang diajarkan kembali pada jemaat bahwa kita harus mencintai pohon. Pohon ibarat orangtua yang semestinya dijaga dan dilindungi. Sebab, pohon-pohon itu pula yang akan melindungi kehidupan dengan menyediakan air. Alam pun harus dilihat sebagai orangtua, sebab dengan demikian maka alam akan memberikan apa yang dibutuhkan.

Berkat kerja keras Pdt Sefnat bersama masyarakat maka di Apui, kini, bagi mereka yang ingin menebang satu pohon, mereka harus menanam lima pohon. Jika ada yang menebang pohon sembarangan, maka akan dikenakan sanksi harus menanam seratus anakan pohon baru. Semua itu disepakati dalam persidangan jemaat dan masih berjalan sampai sekarang.

Kini setiap gereja memiliki hutan jemaat. Di jemaat Ebenhaezer Apui, setiap tahun diadakan kebaktian khusus untuk mencegah kebakaran hutan dan penggunaan potas, kebaktian pelarangan perusakan kolam air, kebaktian syukur atas hujan pertama, kebaktian perayaan hari lingkungan hidup, Hari Bumi dan Hari Air Sedunia dalam liturgi tahunan gereja. *

Data Diri:
Nama : Pdt. Sefnat Sailana, S.Th
Pekerjaan : Pendeta Jemaat Ebenhaezer Apui,
Ketua KPWK Alor Tengah Selatan
Asal : Desa Apui, Kel. Keilasi Timur, Kec. Alor Selatan

Sumber: Pos Kupang, 21 Desember 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes