Oleh Frans Sarong
Kawanan mobil lagi-lagi berhenti merangkak maju. Pengemudi mobil paling depan berhenti sebelum memastikan kondisi titian kayu yang harus dilalui. Saat seperti ini, Markus Motu, pegawai bagian Protokol Kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur, berganti peran sebagai kernet. Ia bergerak cepat memandu kendaraan agar tidak terpeleset atau kandas.
Kejadian itu adalah penggalan kisah perjalanan Bupati Kupang, Ayub Titu Eki bersama rombongannya – termasuk Kompas – ketika menyusuri jaringan jalan yang rata-rata bermedan berat di wilayah Kecamatan Takari hingga Lelogama dan sejumlah kecamatan di Amfoang, akhir Juni lalu.
Perjalanan itu sebenarnya dengan agenda khusus mengikuti ritual panen madu atau hel oni di kabupaten tetangga, Timor Tengah Selatan (TTS), persisnya di Desa Noebesi, Kecamatan Numbena. Ayub Titu Eki adalah pemangku utama hak ulayat yang wilayah adatnya meliputi kawasan Lelogama dan Amfoang (Kupang) hingga Noebesi dan sekitarnya di TTS.
Jaringan jalan yang menghubungkan wilayah kecamatan, apalagi hingga pedesaan di kawasan itu sungguh terabaikan. Sebagian jaringan jalan yang pernah diaspal, kini telah hancur dan berlubang-lubang. Lapisan pasir bahkan sudah terkelupas hingga hanya menyisahkan gundukan batu tajam dan liar. Kondisi jalan seperti itu sudah disaksikan sejak lepas jalan beraspal mulus Lintas Timor di Takari, 72 km timur Kota Kupang.
Sebagai misal di Oaem, Desa Kauniki, Kecamatan Amfoang Tengah, kendaraan tangguh dan berusia muda sekalipun, harus meraung-raung menerobos tanjakan tajam, hancur dan berlubang lubang. Setiap mobil di belakangnya harus dalam jarak aman. Posisi itu untuk menghindari kemungkinan terjadinya tabrakan atau benturan ketika mobil di depannyia terpaksa mundur setelah gagal menaklukkan tanjakan.
Kondisi serupa disaksikan ketika memasuki kawasan Hutan Ampupu di Amfoang Selatan. Kendaraan harus merangkak pelan untuk menghindari gundukan batu liar atau lubang dalam yang amat sering menghadang. Perjalanan bahkan terus mendebarkan jantung karena amat sering harus menyusuri jalan bertanjakan tajam melalui pinggang dan punggung bukit bertebing terjal.
Perjalanan bertambah mendebarkan ketika masuk wilayah pedesaan. Lintasan yang dilalui rata-rata masih berupa jalan tanah rintisan awal bahkan masih liar. Kendaraan harus merangkak lebih pelan agar tidak sampai membentur gundukan batu atau terperosok ke dalam lubang atau tebing.
Ketika menyusuri medan seperti itu terutama antara Fatumonas – Binafun hingga Noebesi, peran Markus Otu sebagai kernet dadakan menjadi sangat membantu. Dalam perjalanan antara Fatumonas hingga ujung Binafun atau perbatasan dengan Desa Noebesi yang berjarak hanya sekitar 8 km saja, Markus Otu setidaknya empat kali harus bergerak cepat memandu antrean mobil ketika harus melintasi titian darurat atau gundukan batu tajam. Panduannya juga tetap dibutuhkan ketika kawanan mobil harus menerobos sejumlah alur sungai yang belum dilengkapi jembatan.
“Jaringan jalan di kawasan ini belum layak dilalui kendaraan. Kondisi jalan seperti ini cocoknya untuk penggembalaan sapi,” ungkap Jonisius Sae, Anggota DPRD Kabupaten Kupang, yang juga bersama dalam perjalanan itu.
Gambaran wilayah masih terisolasi sangat tegas di Fatumonas, Binafun dan sejumlah desa lain kawasan Lelogama. Tidak pernah kelihatan armada angkutan pedesaan yang melintas. Puluhan warga penerima beras untuk orang miskin (raskin) di Fatumonas, harus berjalan kaki pergi pulang sejauh kurang lebih 15 km dari kampung asal mereka di Binafun.
“Kami tidak tahu kapan angkutan umum bisa tembus hingga Fatumonas atau Binafun. Mungkin masih menunggu lama karena jalannya masih buruk. Kami mengharapkan pemerintah secepatnya membangun jalan hingga desa kami,” tutur Erasmus Nai Suni (38) asal Binafun, dengan pikulan dua karung beras (50 kg) raskin di punggungnya.
Janji Direktur Transportasi
Pulau Timor sejak lama memiliki jaringan jalan utama beraspal mulus peninggalan rezim Orde Baru. Namanya Lintas Timor, menghubungkan seluruh kota di Pulau Timor bagian NTT hingga Dili, ibu kota negara baru, Timor Leste.
Sejauh ini tidak sedikit pengunjung dari luar daerah terkecoh oleh kemulusan Lintas Timor. Bila hanya mengunjungi Kota Kupang dan sejumlah kota kabupaten di Timor seperti Soe (TTS), Kefamenanu (Timor Tengah Utara/TTU) dan Atambua (Belu), maka praktis hanya menyusuri Lintas Timor. Dengan demikian mereka hanya memiliki gambaran bahwa kondisi jalan di Timor mulus, tanpa pembanding kondisi jaringan jalan pendukung yang yang menghubungkan wilayah kecamatan dan pedesaannya yang rata rata berantakan.
Negara baru Timor Leste selain dengan wilayah bagian timur Pulau Timor, juga memiliki wilayah enclave Ambenu atau Oekusi di tepi utara Kabupaten TTU. Oekusi juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS.
Jika Kupang – Dili terhubung melalui Lintas Timor, maka Kupang – Oekusi melalui jaringan jalan yang disebut poros tengah. Total jaraknya sekitar 130 km berawal dari persimpangan Lili di Kecamatan Fatuleu (Kupang) – Tamini – Supra – Lelogama – Fatumnasi hingga Oepoli – perbatasan dengan Oekusi. Jaringan jalan itu selain menyentuh hingga perbatasan negara , juga sekaligus akan membuka isolasi wilayah setidaknya 11 kecamatan, yakni 7 kecamatan di Kabupaten Kupang dan masing masing dua kecamatan di TTS dan TTU. Jaringan jalan yang dilalui rombongan Bupati Titu Eki akhir Juni lalu itu, sebagiannya adalah jalan poros tengah. Kondisi fisik jalan rata rata hancur dan sangat menyulitkan kendaraan berlalu lintas.
Kata Ayub Titu, jalan desa yang menghubungkan Binafun – Bon Mufi – Bitobe di kawasan itu akan dibenahi melalui dana proyek nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) senilai Rp 5 miliar. Namun bupati yang belum dua tahun menjabat itu mengakui jika sebagian besar wilayah pedesaan kabupatennya masih sangat terisolasi.
“Dengan daya yang sangat terbatas, saya akan berusaha membenahi transportasi daerah ini hingga wilayah pedesaannya secara perlahan terbebas dari keterisolasian. Saya sadari betul, kehidupan warga sulit berubah secara ekonomis jika kawasannya masih terisolasi,” tuturnya.
Namun agenda utama yang harus terus diperjuangkan adalah perbaikan jaringan jalan poros tengah yang berstatus jalan negara. Dengan demikian, pembenahannya adalah tanggung jawab pemerintah pusat di Jakarta.
Seperti dipaparkan Ayub Titu Eki, Direktur Transportasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Trihartono tahun lalu pernah menjanjikan pengaspalan jaringan jalan poros tengah dari Lili hingga Maupoli (130 km). Katanya, pemerintah pusat memberi perhatian serius atas pelaksanaan proyek itu karena akan membuka isolasi tiga wilayah kabupaten (Kupang, TTS dan TTU), sekaligus menghhubunhgkan Kota Kupang – Oekusi (Timor Leste).
Selain itu, daerah di sekitar jaringan jalan poros tengah merupakan sentra peternakan sapi , madu dan berbagai potensi ekonomi lainnya. Jaringan jalan itu juga akan berperan penting untuk pengawasan dan pengamanan daerah pernatasan yang sejauh ini sering terjebak dalam ketegangan.
Belum bisa dipastikan kapan janji pejabat Bappenas itu akan terwujud. Namun Bupati Kupang Ayub Titu Eki dan dua rekan bupati lainnya yang wilayahnya dilalui jaringan jalan poros tengah, bersama masyarakat setempat terutama dari kawasan terisolasi , tetap menunggu bahkan menagih janji Direktur Transportasi Bappenas, Bambang Trihartono. *
Sumber: Kompas