Robert Ramone |
Oleh Alfons Nedabang
ADAKAH korelasi antara rohaniwan dan fotografi? Pater Robert Ramone, CSsR membuktikannya. "Saya mewartakan injil dengan mengabadikan keindahan dan keagungan Tuhan lewat fotografi."
Robert Ramone adalah rohaniwan Katholik dari kongregasi (ordo) Redemptoris. Bukan fotografer. Meski demikian, dalam kesehariannya ia sering bekerja layaknya seorang fotografer. Menyusuri Pulau Sumba khususnya dan berkeliling Indonesia, sudah ia lakukan. Tujuannya, menjepret aneka obyek wisata, baik budaya, alam maupun bahari.
"Ada yang bilang kenapa saya sebagai pastor suka menenteng kamera ke mana-mana. Saya katakan bahwa saya hanya merekam sedikit saja keindahan dan keagungan Tuhan lewat lensa kamera yang kecil," ujar Pater Robert dalam diskusi NTT Academia Award 2010 di ruang Redaksi Pos Kupang, Jumat (17/12/2010), sehari sebelum malam penganugerahan NTT Academia Award 2010.
Karya fotografinya membuatnya terkenal. Ia pun kerap meraih penghargaan. Penghargaan terkini yang diperoleh, yaitu menjadi pemenang NTT Academia Award 2010 kategori bidang humaniora, sastra dan inovasi sosial budaya dengan karya, melestarikan dan menduniakan kekayaan alam dan budaya Sumba. Jauh sebelumnya, Pater Robert mendapat penghargaan dari National Geographi.
Minat fotografi mulai ditekuni setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1992. Berbekal sebuah kamera hadiah sepupunya pada saat pentahbisan, Pater Robert mengembangkan bakatnya. Ia pun mulai menjepret. Dalam perjalanan, pada tahun 1994, ia memiliki kamera roll film.
"Sejak saat itu saya ambil gambar. Hasilnya saya senang. Gambar-gambar yang saya ambil ada yang umurnya sudah 16 tahun. Dan, pada tahun 2000, saya beralih ke kamera digital," ujarnya.
Pater Robert memiliki alasan menekuni dunia fotografi. Ketika masih menjadi mahasiswa Filsafat Teologi di Yogyakarta, ia bertemu banyak mahasiswa. Teman- temannya selalu bangga dengan budayanya. Ada yang memperlihatkan kartu pos dengan gambar budayanya. Pada tahun 2003, dia mencari kartu pos dengan gambar budaya Sumba, namun tidak ditemukannya. Dia lalu terinspirasi. Dia mendesain kartu pos sendiri dengan gambar-gambar budaya Sumba. Lewat kartu pos itu, ia kemudian dikenal di Jerman dan Belanda.
Pater Robert menuturkan, pada tahun 2004, ada mahasiswa fotografi di New Nork datang ke Sumba. "Saya terkejut karena dia mencari saya. Saya tanya, mengapa datang ke sini (Sumba)? Dia jawab, saya tertarik dengan Anda karena terlibat dalam pameran foto meski tidak melakukan studi fotografi," kisah Pater Robert.
Meski sudah terkenal lewat kartu pos, itu tidak membuat Pater Robert berhenti berkarya. Pada tahun 2006, ia mengadakan pameran foto di Balai Kartini, Jakarta.
"Ada tawaran pameran foto di Kantor Berita ANTARA tapi saya tidak terlibat karena keterbatasan dana. Ada tawaran juga ikut pameran di Bali tapi saya tidak ikut karena keterbatasan dana. Saya bicara dengan pemda tentang pemeran foto tapi tanggapan pemda saya kecewa sekali karena tidak tahu foto," tutur Pater Robert sembari menambahkan, sampai sekarang, ia bergerak sendiri tanpa ada bantuan satu sen pun dari pemda.
Pater Robert juga menulis buku tentang kebudayaan Sumba, seperti pasola dan acara pemakaman orang mati. Buku setebal 208 halaman itu, lebih banyak memuat hasil jepretan kameranya. Buku tersebut ia tulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, diterbitkan di Belanda dan akan diluncurkan Januari 2011.
Pater Robert juga mengatakan, sekarang ia sedang mewujudkan mimpinya, yaitu membangun pusat studi pelestarian budaya Sumba. Proyek pembangunan rumah budaya dengan anggaran Rp 1,5 miliar itu pengerjaannya sudah sampai 80 persen. Menurut rencana diresmikan pada Juli 2011. Pembangunan rumah budaya dibiayai seorang donatur dari Papua yang ia kenal lewat pameran foto. Donatur itu menyumbang dana Rp 1,2 miliar.
"Mengapa saya mendirikan rumah budaya? Karena, saya mau melestarikan budaya lokal, agar orang Sumba bangga dengan kebudayaannya," katanya.
Dalam mewujudkan mimpinya, Pater Robert kerap mendapat tantangan. Tantangan datang dari pemerintah daerah dan sesama rohaniwan. Terkait mendirikan lembaga studi, ia membutuhkan waktu empat tahun untuk mendapat restu dari pimpinan dan anggota kongregasi.
"Sekarang karena sudah berhasil, tidak ada lagi yang mengolok saya. Saya berkesimpulan orang mudah mengkritik kita kalau belum melihat hasilnya. Saya senang karena tidak ada yang megolok-olok lagi," ujarnya. *
BIODATA
- Nama: Pater Robert Ramone, CSsR
- Tempat/tanggal lahir: Kodi, Sumba Barat Daya, 29 Agustus 1962.
- Tahun 1985: Bergabung dengan Kongregasi Redemptoris.
- Tahun 1985-1992: Studi Filsafat dan Teologi pada Fakultas Teologi Wedhabakti- Yogyakarta.
- Tahun 1992: Ditahbiskan menjadi imam. Setelah ditahbiskan, bekerja sebagai pastor kapelan di Paroki Santa Maria Homba Karipit.
- Tahun 1993-1994: Bekerja di Paroki Roh Kudus Weetebula.
- Tahun 1994-1996: Socius Student Wisma Sang Penebus dan merangkap sebagai pastor di Stasi Santo Alfonsus Nandan-Yogyakarta.
- Tahun 1996-2001: Pastor Paroki Santo Petrus dan Paulus Waikabubak.
- Kini bekerja di Rumah Retret Santo Alfonsus Weetebula.
Sumber: Pos Kupang, 22 Desember 2010 halaman 1