Konselor Pernikahan: FB Memang Menggoda

Meningkatnya kasus perceraian di Sulawesi Utara dalam lima tahun terakhir khususnya pada  pasangan suami istri (pasutri) yang sudah mapan coba dianalisis musabab dan solusinya oleh dosen moral dan konselor pernikahan. Yonas Adjas Pr, dosen Moral Katolik dan ahli Hukum Nikah Kanonik Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STF-SP) berpendapat tren perceraian pada usia mapan (usia pasangan di atas 35 tahun) terjadi karena faktor kejenuhan. Mereka bisa saja bercerai tanpa alasan.

"Masa 2 x 5  tahun itu merupakan masa dimana pasangan masuk pada tingkat kejenuhan yang tinggi. Mereka kehilangan orientasi. Mereka (pasutri)  butuh penyegaran," kata kata lulusan Universitas Urbaniana Roma ini. Diakui, kejenuhan bisa terjadi karena penampilan yang berubah dan kecanduan pada kerja."Akibatnya pasangan mencari entertain di luar keluarga," ujarnya,  Minggu (18/8/2013).

Selain masalah kejenuhan, pasutri kadang tidak menyiapkan diri yang kuat untuk berrumah tangga. "Apalagi ini zaman instan. Semua menjadi serba cepat dan hanya menghasilkan kekosongan. Dulu di zaman agraris belum banyak pilihan. Semua orang bekerja keras mencapai sesuatu. Hasil yang ditunggu sangat lama. Itu sangat berbeda dengan jaman industri," tuturnya.

Hal lain yang menganggu perkawinan ialah orientasi zaman yang menonjolkan seksualitas. "Kini rok atau celana pendek dianggap biasa, padahal itu mempengaruhi teologi tubuh. Rumah tangga pun kadang dipandang sebatas itu," katanya. Akan tetapi seperti teori filsafat, sebuah keluarga memang harus memasuki tahap itu. Tahap  antitesis terhadap tesis. "Jika tahap ini berhasil dilewati, mereka akan saling mengenal. Ada pilihan hidup baru bagi mereka," jelasnya.

Adjas menyarankan pada titik jenuh usia pernikahan, pasutri lebih terlibat pada kegiatan sosial keagamaan supaya belajar sesuatu yang baru. Energi mereka pun dipacu pada sesuatu yang baru. "Perlu ada wadah sosial untuk mereka," katanya. Mereka pun harus pergi ke tempat yang bisa menyegarkan diri. "Pergi berlibur ke Bali misalnya, itu  hal yang baik," ujarnya

Adjas pernah mengalami bagaimana peristiwa perceraian menganggu psikologi anak apalagi jika sudah memasuki bangku SMP. Anak sangat takut. "Ada dua dunia yang dimasuki anak, pertama domestik dan yang kedua publik. Ketika ia masih SD, ia lebih banyak berada di wilayah domestik tapi ketika sudah masuk usia sekolah menengah pertama ia masuk ruang publik. Ia takut akan kesan publik terhadap itu," ujarnya. Adjas selalu menempatkan doa dalam setiap konseling keluarganya. "Doa membantu pasangan membuka diri," katanya.

Doktor Albertus Sujoko, dosen teologi moral dan konselor pernikahan juga menyebut zaman yang berubah ikuti memicu perceraian. "Kini orang bisa bertemu orang lain secara mudah.  Peluang membangun hubungan gelap jadi tinggi," katanya. Alat komunikasi pun mempermudah hal itu. 

"Dengan banyaknya pertemanan baru lewat Facebook  dan handphone membuat orang gampang tergoda," tuturnya. Kemapanan ekonomi merupakan faktor berikutnya yang membuat perceraian mudah terjadi. Uang membuat godaan menjadi lebih besar. Soal peluang besar orang yang sudah mempunyai anak untuk bercerai, Sujoko menyebut adanya perpindahan interes. Saat belum mempunyai anak, interes pasangan pada seks sama. Tapi ketika sudah punya anak, ibu akan terkonsetrasi pada anaknya. "Di sini butuh cinta kasih dan pengorbanan. Pria yang tidak tahan pasti mencari perempuan lain," katanya.

Solusinya, kata Sujoko, mempersiapkan perkawinan secara baik. "Harus saling mengenal, mencintai dan mengetahui,"  ujarnya.

Keluarga besar pun harus mendukung. Seringkali permasalahan  terjadi karena 
campur tangan keluarga besar. "Yang terakhir itu komitmen dan kesetiaan pada janji perkawinan," tuturnya. Dalam konseling, Sujoko juga menemukan banyak kisah unik. Ada yang membatalkan perkawinan karena dijodohkan. "Dulu ia sangat dijaga orang tua. Jadi ia menggunakan kesempatan untuk bebas tapi akhirnya ia menemukan bahwa perkawinan itu bukan kehendak bebas," katanya.

GMIM Prihatin
Meningkatnya tren perceraian di Sulut mengundang keprihatinan  dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Persoalan tersebut mestinya tak boleh terjadi, sebab lembaga pernikahan itu suci, anugerah Tuhan yang  tak boleh dipermaikan apalagi diingkari dengan cerai. "Pernikahan berlangsung sepanjang hidup," kata  Pendeta Hendry Runtuwene, Sekretaris Departemen Kemitraan dan Oikumene Sinode GMIM,   Minggu (18/8/2013).

Menurut dia, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia dengan alasan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan. "Pada dasarnya gereja menolak perceraian. Pengaruh relatifisme  nilai pernikahan  sesungguhnya tidak boleh menggoyahkan pernikahan sebagai lembaga kudus tersebut. Tugas gereja  terus mengingatkn masing-masing jemaatnya untuk tetap menjaga dan memelihara maksud tersebut," ungkapnya. Runtuwene mengatakan terjadinya  kasus  perceraian di daerah ini, termasuk melibatkan warga GMIM, bukan berarti gereja menerimanya.

 "Gereja tidak pernah mengakui dan membenarkan perceraian. Maslah perceraian harus dihadapi bersama oleh semua pihak, baik gereja itu sendiri, pemerintah dan masyarakat," katanya. (dma/war)

Sumber: Tribun Manado 21 Agustus 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes