ilustrasi |
MENGAJAR anak berkebutuhan khusus bukan perkara mudah. Diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus agar dapat menangani mereka dengan baik. Namun, semua itu takkan berarti tanpa ketulusan, kesabaran dan sikap mengasihi. Christin Potabuga (24) memiliki keutamaan itu dalam memberikan pengabdiannya sebagai guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Permata Hati Manado.
Kepada Tribun Manado, Selasa (9/7/2013), Christin mengatakan tak pernah terbesit di pikirannya untuk menjadi guru bagi anak-anak autis. Apalagi latar belakang pendidikannya tidak relevan dengan dunia yang dia geluti sekarang. Namun, hati yang terpanggil untuk melayani, memudarkan anggapan terhadap diri sendiri bahwa ia tidak akan bisa. Buktinya tujuh tahun sudah ia mengasuh anak-anak berkebutuhan khusus.
Christin berkarya pertama kali di SLB Permata Hati Manado sebagai pegawai administrasi. Lambat laun dia perhatiannya tertuju pada kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut. "Ternyata ada anak-anak seperti ini di dunia. Saat menonton di televisi dan melihat langsung di sekolah sangat berbeda jauh," ungkapnya.
Dia terus termotivasi untuk terlibat secara langsung mengasuh anak-anak itu. Christin
berhasil beradaptasi dengan anak-anak tersebut meskipun dia sempat kewalahan. "Saya sering kewalahan," katanya. Lambat laun ia mulai terbiasa dan menikmati profesi sebagai pengajar. "Ternyata saya bisa," tandasnya. Dengan keyakinan tersebut, ia memutuskan untuk mengambil Pendidikan Luar Biasa di Universitas Negeri Manado. "Saya baru saja diwisuda," kata Christin.
Christin menganggap perilaku anak-anak autis yang sulit diatur menjadi motivasinya untuk terus melatih diri. "Itu menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Dan saya sadar betul untuk berhasil harus bisa mengalahkan semua tantangan," katanya. Ia pernah memiliki seorang murid yang sangat sulit diatur, namanya Allan. Ia beserta teman- teman guru yang lain berusaha keras untuk menangani anak itu. Allan studi di sekolah itu selama empat tahun dari usia 3 - 7 tahun. "Saya tidak pernah melupakan Allan. Sekarang ia sudah sembuh dan sudah bersekolah di sekolah reguler," ujarnya.
Manusia diciptakan dengan keterbatasan. Layaknya Christin yang tak jarang kewalahan menangani murid-murinya. Berusaha sekuat mungkin tanpa ada hasil memancing emosi Christin. "Saat saya emosi, saya keluar kelas untuk menenangkan diri. Setelah reda baru saya masuk lagi," katanya.
Christin mengakui sebagai guru ia dituntut membuat anak-anak patuh bukan takut. Jadi emosi yang meledak-ledak tidak diperkenankan bagi mereka. "Itu sebenarnya untuk semua guru, khususnya Sekolah Dasar," ungkapnya. Menurut Christin, anak-anak autis memiliki dunianya sendiri. "Nah di situlah peran kami untuk memperkenalkan mereka bahwa ada dunia yang sesungguhnya," ucap Christin.
Bagi gadis yang memiliki motto My Job is My Life, gaji sebagai guru memang tidak seberapa. Namun, Christin menekuni profesi tersebut tidak semata-mata untuk mencari uang. "Saat saya berhasil menangani mereka, itu merupakan suatu kebanggaan yang tidak bisa dinilai dengan apapun," ucapnya.
Menurutnya, di luar sana memang banyak pilihan pekerjaan baginya. Namun hatinya terpanggil untuk terus menjadi guru bagi anak-anak autis. Christin tak tahu entah sampai kapan ia akan menekuni profesi tersebut, tapi satu hal yang pasti hatinya tepanggil untuk terus melayani anak-anak berkebutuhan khusus.
"Saya akan terus mengenalkan dunia ini kepada mereka. Ini panggilan untuk melayani. Tuhan tidak kebetulan mengirimkan saya ke sekolah ini. Bagi saya, mereka adalah anak-anak spesial yang dititipkan Tuhan untuk orang-orang yang spesial juga," katanya. (finneke wolajan)
Sumber: Tribun Manado 13 Juli 2013 hal 1