ilustrasi |
"Pasal 2 dan 3 UU PTPK harus ditinjau kembali. Masa orang yang hanya tanda tangan administrasi, dia masuk penjara. Kami tidak makan uang negara. Tolong aturan itu ditinjau kembali. Bahkan orang yang benar-benar melakukan korupsi sampai miliaran rupiah, hukumannya tidak sebanyak hukuman yang kami terima," kata Maxi Taopan, napi kasus korupsi Alkes tahun 2002 kepada Pos Kupang, medio Desember 2015.
Keluhan yang sama disampaikan napi kasus korupsi lainnya seperti Yakudanga, pengelola dana desa PNPM di Sabu Raijua tahun 2000 dan 2005, Gerson Tanuab (kasus korupsi Tanah RRI Kupang tahun 2015), tahanan Kasatker Chairul Sitepu (kasus korupsi MBR NTT tahun 2015) dan kontraktor Lukas Toen (kasus kapal patroli di Kabupaten TTU), Nur Suartina, ketua panitia penerima barang dan jasa di kantor Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) pada proyek pembangunan Dermaga Alor-NTT.
Menurut Maxi Taopan, ketidakadilan hukum ada dalam vonis yang diterimanya. Jaksa menuntut 1 tahun 6 bulan dan hakim memvonisnya 1 tahun penjara. "Saya banding namun putusan banding saya divonis 5 tahun penjara. Sangat tidak manusiawi. Ada apa di balik itu? Keadilan seperti apa di negara ini. Ini adalah kasus politis bukan korupsi," kata Maxi.
Napi korupsi lainnya, Gerson Tanuab berharap, penyidik jangan hanya kejar target jumlah penanganan kasus korupsi. "Padahal yang dimasukkan ke dalam penjara itu bukan orang yang benar-benar harus bertanggung jawab atas hal itu. Akhirnya banyak PNS jadi korban. Banyak PNS yang sekarang menolak urus proyek karena kuatir akan berakhir di penjara selama beberapa tahun. Kayak kami begini," kata Gerson.
Gerson menilai pasal itu sebenarnya memberikan batasan bagi hakim untuk menggunakan keyakinannya dalam mengambil keputusan. "Saya didakwa dengan pasal 55 KUHP tapi tidak disebutkan kerugian negaranya berapa namun dinyatakan bersalah. Dalam kasus ini hanya saya, Piter Amalo serta Abineno menjadi tersangka tapi keduanya sudah meninggal. Sementara ratusan pegawai RRI yang menerima dana itu dan menandatangani kuitansinya tidak diproses hukum. Dimana keadilan hukumnya," kata Gerson.
Kasatker kasus korupsi MBR NTT 2015, Chairul Sitepu yang sudah ditahan 10 bulan di Rutan Kupang dan dalam persidangan jaksa menuntutnya selama 2 tahun penjara mengaku dirinya tidak langsung mengeksekusi proyek namun kontraktor yang mengerjakannya. "Satker adalah pemilik dana, bukan eksekutor. Jika ada kesalahan dalam pekerjaan maka yang diproses seharusnya yang salah melakukan pekerjaan itu. Jangan semua pihak ditahan dan di penjara," kata Sitepu.
Sitepu berharap ke depan, kesepakatan bersama Presiden Jokowi dengan KPK, Polisi dan jaksa, tentang penanganan kasus korupsi itu segera ditindaklanjuti sehingga tidak ada lagi PNS yang menjadi korban dalam proses hukum kasus korupsi.
"Hukumlah mereka yang benar-benar merugikan keuangan negara dan memperkaya dirinya," kata Sitepu, mantan Kabid Penyediaan Prasarana dan Sarana Fasilitas Umum pada Kementerian Perumahan Rakyat itu.
Napi kasus korupsi pengadaan kapal patroli di Kabupaten TTU, kontraktor Lukas Tupen mengaku tidak mengambil keutungan dari proyek itu sehingga pasal 55 dan pasal 2 dan 3 harusnya tidak didakwakan kepadanya. Apalagi dalam perkara itu pihaknya hanya terlambat kerja sehingga hanya masalah administrasi atau perdata bukan pidana korupsi. "Namun fakta persidangan tidak pernah dipertimbangkan. Saya dituntut jaksa 9 tahun dan hakim memvonisnya 4 tahun lalu jaksa banding dan keputusan banding menjadi 5 tahun," kata Lukas.
Pengelola dana desa PNPM di Sabu Raijua tahun 2000 dan 2005, Yakudanga mengaku divonis 4 tahun penjara dan subsider 3 bulan dengan denda Rp 200 juta serta uang pengganti Rp 38 juta atau subsider 6 bulan penjara.
"Saya sudah menjalani hukuman 2 tahun di Lapas wanita. Saya hanya meminta agar pemerintah bisa memberikan remisi kepada semua napi tanpa membedakan dia sudah membayar denda dan uang pengganti atau belum," kata Yakudanga.
Yakudanga mengaku, selama dua tahun di penjara, dia banyak menimba ketrampilan seperti membuat kue dan menjahit sehingga jika keluar nanti dia akan mengembangkan ketrampilannya itu.
Sementara Nur Suartina (57 tahun) dituduh terlibat atau turut serta melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Dermaga Alor-NTT, saat menjadi ketua panitia penerima barang dan Jasa di kantor Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) juga mengeluhkan soal tuntutan kepadanya.
"Saya masuk dalam kepanitiaan, namun dalam kegiatan konstruksi dari satker harus dilengkapi profesional hand over (PHO) atau serah terima pertama pekerjaan dan itu tidak dilakukan karena tidak ada alokasi anggaran untuk PHO. Hal yang sama juga terjadi saat Final hand over (FHO) atau serah terima akhir pekerjaan. Itulah yang salah sehingga saya harus mempertanggungjawabkannya. Saya merasa menjadi korban dari sistem sehingga saran saya ke depan harus ada sistem yang jelas, yakni jika ada alokasi program atau kegiatan yang bersifat konstruksi maka harus ada alokasi anggaraan untuk PHO dan FHO," sesal Nur.
Bahkan Nur diseret dengan pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) Nomor 31 tahun 1999 sebagai pihak yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau korporasi. Nur yang sudah 23 tahun menjadi PNS dengan jabatan Kabid Penguatan Daerah Pulau Kecil dan Terpencil akhirnya masuk penjara. "Tidak terbayang sama sekali, di akhir karier saya, kok harus saya jalani di dalam penjara karena kesalahan sistem dan administrasi. Dimanakah keadilan hukum, saya sama sekali tidak melakukan korupsi, saya tidak merugikan keuangan negara untuk memperkaya diri," katanya.
Kalapas Dewasa, Drs. Soeprapto, Bc.IP, MM mengatakan, saat ini ada 44 napi korupsi dari 438 narapidana atau warga binaan pemasyarakatan di lapas dewasa. "Di sini ada blok khusus tipikor sehingga terpisah dari tahanan umum lainnya. Namun tidak ada perlakuan istimewa kepada napi tipikor," kata Soeprapto. Sementara Kalapas Wanita, Alfrida Luli, MM mengatakan lapas wanita hanya memiliki 3 ruangan sehingga ditempati napi korupsi, umum dan napi kasus narkoba.(vel)
Setiap Perkara Korupsi Pemerintah Siapkan Rp 100 Juta POS KUPANG.COM - Total kerugian negara dari kasus korupsi yang ditangani kejati NTT hingga akhir tahun 2015 senilai Rp 30 miliar berdasarkan hasil tuntutan dan penyidikan oleh jaksa pada Kejati NTT.
Setiap perkara korupsi pemerintah kucurkan anggaran Rp 100 juta.
Kajati NTT, John Purba, SH dikonfirmasi beberapa waktu lalu melalui Humas Kejati NTT, Ridwan Angsar, SH, menjelaskan, pihaknya berupaya agar kerugian negara itu bisa dikembalikan para tersangka atau terdakwa kasus korupsi yang tengah menjalani proses hukum.
Dirincikan Ridwan, saat ini proses penyelidikan kasus korupsi di NTT sebanyak 52 kasus. "Di Kejati NTT ada 14 kasus, dan 38 lainnya dari sejumlah Kejari dan Cabjari Seba dan Waiwerang, minus Kejari Kefamenanu," kata Ridwan.
Untuk proses penyidikan (dik) kasus korupsi di NTT hingga saat ini berjumlah 127 kasus dan yang sedang disidik jaksa pada Kejati NTT sebanyak 47 kasus dan 80 kasus lain ditangani Kejari dan Cabjari. Sementara proses penuntutan di pengadilan ada 60 kasus yakni penuntutan oleh jaksa Kejati 32 kasus dan penututan oleh jaksa di sejumlah Kejari ada 28 kasus.
Ridwan mengatakan, meski masih terhambat jumlah personel jaksa dan ketersediaan anggaran, namun selama ini semua proses penyelidikan dan penyidikan berjalan lancar. Minimnya anggaran membuat proses tersendat.
Setiap perkara korupsi yang ditangani jaksa, tambahnya, pemerintah menyediakan anggaran Rp 100 juta dari penyelidikan hingga putusan. Dana itu digunakan untuk membiayai proses perkara seperti mendatangkan saksi dan atau tersangka serta hal- hal lainnya yag berkaitan dengan penanganan perkara dimaksud. Jumlah perkara yang dibiayai pemerintah itu berbeda untuk setiap kejaksaan.
"Dana sebesar Rp 100 juta per perkara itu untuk Kejati hanya dibiayai 5 perkara (Rp 500 juta), di Kajari hanya 3 perkara (Rp 300 juta) dan untuk Cabang Kajari hanya dibiayai 1 perkara (Rp 100 juta). Jika ada kekurangan maka dilakukan subsidi ulang," demikian Ridwan. (vel)
Perlu Revisi Pasal UU Tindak Pidana Korupsi
POS KUPANG.COM - Berikut ini pandangan Luis Balun, SH, seorang Pengacara di Kupang tentang penerapan pasal UU Tindak Pidana Korupsi yang dianggap tidak adil.
Saya melihat penanganan penyidik dalam kasus korupsi belum maksimal dan belum objektif, terutama dalam penerapan pasal-pasal kepada para tersangka serta vonis yang dijatuhkan hakim. Menurut saya, harusnya penyidik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, lebih jeli melihat kerugian negara itu dilakukan dan dialami oleh siapa.
Selama ini ancaman pidana untuk orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi dikenakan pasal 55 ayat (1) KUHP yang juga pada pelaku korupsi.
Juga penerapan pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada PNS. Pasal itu mengatur tentang orang yang memperkaya dan menguntungkan diri sendiri dan atau suatu korporasi sehingga merugikan keuangan atau perekonomian negara, karena jabatan atau kedudukannya.
Akibatnya, siapa pun orang yang terlibat dan didakwa melakukan tindak pidana korupsi baik itu kontraktor termasuk para PNS yang bertindak sebagai pimpro, PPK, panitia pengadaan juga akan sangat bisa dijadikan tersangka korupsi dan dipidana. Padahal seharusnya tidak bisa semudah itu. Kenapa?
Ketika kontraktor bekerja dan terjadi kekurangan pekerjaan dan merugikan keuangan negara, maka sepantasnya PNS sebagai pengguna anggaran itu mengalami kerugian. Namun, mengapa mereka harus dihukum? Harusnya pihak yang merugikan keuangan negara yang diproses hukum dan dikenakan sanksi pidana. Kecuali jika terbukti para
PNS menerima suap atau sesuatu dari kontraktor.
Tapi jika para PNS itu tidak pernah menerima sesuatu lalu hanya ikut menandatangani administrasi proyek atau kemajuan proyek itu lalu harus juga dihukum atau divonis bersalah dengan ancaman hukuman yang sama dengan kontraktornya, saya kira itu juga tidak benar. Pengalaman saya, banyak teman-teman PNS yang ada di Rutan sebagai tersangka kasus korupsi yang pembuktian awalnya sebenarnya belum ada. Bahkan ada PNS yang sudah divonis dengan jumlah hukuman yang sama dengan kontraktor.
Saya khawatir penerapan pasal 55 KUHP dan pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor ini melemahkan semangat PNS. Saya dengar sudah banyak PNS enggan menjadi pimpro, PPK dan panitia pengadaan untuk proyek pemerintah.
Soal penghitungan kerugian negara selama ini tidak obyektif. Contohnya, jika ada proyek dengan kemajuan pekerjaannya hanya 75 persen dan masih kurang 25 persen tetapi dinyatakan sudah 100 persen. Seharusnya kerugian negara yang dihitung itu adalah sisa dari pekerjaan yang belum selesai yakni 25 persen. Namun selama ini dihitung semuanya dan hal ini jelas merugikan para pihak yang terlibat.
Hakim juga hendaknya jeli melihat fakta persidangan dan keterlibatan masing-masing terdakwa. Jangan semata-mata 'mengikuti' apa yang didakwa atau dituntut jaksa sehingga penerapan hukuman pun bisa adil.
Saya berharap UU Pemberantasan korupsi hendaknya direvisi, khususnya pasal 2 dan 3. Kenapa? Agar ada keadilan bagi masyarakat, khususnya para pihak yang terlibat dalam proyek, seperti PNS itu. Bagaimana seorang panitia cuma tanda tangan kemudian dia harus ikut masuk penjara karena dikenakan pasal yang tidak adil. Dalam revisi saya berharap dirincikan apa unsur memperkaya diri dan menguntungkan orang lain dan atau suatu korporasi itu dengan detail.
Saya mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi namun harus juga perhatikan aspek keadilannya. Dukungan saya juga atas penyataan bersama Presiden, KPK, Kapolri tanggal 1 September 2015, dimana disebutkan jika ada kesalahan administrasi maka Banwas dan Inspektorat bisa memeriksa dan memberikan instruksi untuk segera menyelesaikan kekurangannya sebelum diproses hukum. (vel)
Sumber: Pos Kupang 31 Desember 2015 halaman 1