Rongo


HADIAH terindah pada Hari Kebangkitan Nasional yang sunyi sepi tahun ini ternyata sebuah kandang. Kandang wawi, manu dan rongo. Sebelum tuan dan puan bingung, baiklah beta jelaskan dulu kata asing itu. Wawi, manu dan rongo adalah salah satu bahasa daerah Flobamora yang artinya, babi, ayam dan kambing!

Di Maumere-Flores seorang istri terpaksa tidur di kandang babi karena tak tahan terhadap siksaan fisik suaminya. Di Pamekasan, Madura satu keluarga beranggotakan lima orang tinggal berhimpitan di bekas kandang ayam berukuran 3x4 meter persegi. Dan, di Tangerang, persis di depan hidung Istana Presiden RI, nenek Ida (72) menghabiskan masa tua di dalam kandang kambing.

Tak tahan menghadapi perilaku suami yang alkoholik, ringan tangan dan kaki, Maria Goreti (52), warga Kota Maumere memilih tidur di kandang babi. Kisah Maria adalah kisah tentang kekerasan dalam rumah tangga keluarga miskin. Penderitaan Maria telah berlangsung bertahun-tahun.


Hari Rabu (19/5/2010), Maria tak sanggup lagi menahan derita itu. Dia melaporkan suaminya, Fransiskus Baba alias Pang kepada polisi. Dalam kamar tahanan polisi Pang baru mengaku sadar dan menyesal. Ya, penyesalan memang selalu datang terlambat. Istri tidur di kandang wawi. Duh Gusti!

Di kandang ayam berukuran sekitar 3x4 meter Mohammad Tamim (35) bersama istrinya Muslihah (32) dan tiga anak, masing-masing Milda (5), Ulfia Narafifah (9) dan Luluk Agustinah (10) tinggal. Ini kisah kandang dari Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Kandang multi fungsi. Tempat masak, makan sekaligus tempat tidur lima anggota keluarga Tamim. Panci, kompor dan pakaian menyatu di sana. "Ya, beginilah kehidupan kami," kata Muslihah kepada Bupati Pamekasan, Kholilurrahman yang berkunjung ke kandang manu itu, Sabtu (22/5/2010).

Pak bupati awalnya kurang yakin ketika pers mewartakan rumah kandang Tamim-Muslihah. Laporan media bukan karangan. Fakta itu sungguh menohok hati Bupati Kholilurrahman karena baru saja dia memberi bantuan rumah layak huni bagi keluarga miskin di wilayahnya. "Kondisi seperti ini kok bisa luput dari pendataan saat ada bantuan rumah baru baru ini," kata bupati.

Misbahul Laila, kepala desa Branta Pesisir, tempat keluarga Tamim berdomisili, punya alasan sendiri. Saat pendataan dulu Tamim sekeluarga masih berpindah pindah. "Setelah ada tempat bekas kandang ayam ini, Pak Tamim dan keluarganya menetap dan menjadi warga Desa Branta," kata Laila.

Kisah ketiga tentang kandang datang dari Sewan Bedeng, Neglasari, Tangerang. Ida (72) tidur di kandang rongo alias kambing karena rumah gubuknya sudah rata dengan tanah, dibuldoser Pemkot Tangerang dua pekan setelah Lebaran 2009. "Saya memang bukan orang asli Tangerang. Saya dari Pemalang, tapi saya tinggal di Kampung Sewan Bedeng ini sejak tahun 1975 sewaktu masih hutan," ujar Ida kepada Kompas, Senin (17/5/2010).

Ibu tiga anak dan nenek dari beberapa cucu itu adalah salah satu korban kebijakan Pemerintah Kota Tangerang. Rumahnya digusur karena tinggal di bantaran Sungai Cisadane. Nasib Ida tiba-tiba jadi sorotan seiring rencana penggusuran warga China Benteng di Kampung Tangga Asam, Lebakwangi dan Kokun.

Menurut Ida, ketika rumahnya digusur Satpol PP Kota Tangerang, ada ratusan rumah bilik dan semipermanen yang memadati Kampung Sewan Bedeng. Mereka umumnya warga yang terpinggirkan karena ketidakadilan. "Kebanyakan bermata pencaharian tukang asongan," ujar buruh pengupas kacang dengan upah Rp 2.000/kg itu.

"Saya tak bisa berbuat apa apa. Rumah sudah tidak punya, mau tinggal di mana lagi? Ya, terpaksa tinggal di kandang kambing milik tetangga, meskipun bau," ujar Ida seraya menyeka air mata. Tiga anaknya memang tinggal di Sewan Bedeng. Namun, nasib mereka juga tidak jauh beda. Hidup miskin dengan rumah kecil berdinding anyaman bambu. Camat Neglasari, H Habibullah mengaku tidak tahu ada warganya tinggal di kandang kambing. "Tak ada laporan bahwa ada yang tinggal di kandang kambing. Pak Lurah juga tidak lapor," ucapnya enteng.

Hehehe... kalau Om Camat atau Bapak Kades kaget karena belum mendapat laporan itu mah kisah biasa di ini negeri. Negeri lapor-melapor, negeri yang sangat menjunjung tinggi prosedur kalau mengurus rakyat, tapi labrak semua aturan kalau nyolong duit rakyat.

Seburuk-buruknya orang miskin sebagian dari mereka paham harga diri. Tidak semua kaum papa rela melaporkan diri sebagai si miskin. Mereka punya rasa malu. Toh kalau mereka lapor diri apakah serta merta diperhatikan? Apalagi kalau Om Camat atau bosnya Om Camat sedang berkeliling dengan oto (mobil) dinas ber-AC. Belum tentu ada waktu melihat sampai ke lorong dan sudut kampung. Pejabat kan sibuk...!!

Begitulah tuan dan puan. Tinggal di kandang rongo dan manu itu memang terjadi jauh dari wilayah Nusa Tenggara Timur. Tapi beta tidak begitu yakin fakta yang sama nihil di beranda Flobamora. Di kampung besar kita ini tak sedikit jua yang tinggal di rumah mirip kandang. Kalau bukan rumah, ya gedung sekolah mirip kandang banyak jumlahnya. Kalau mati lapar atau mati pelan-pelan karena gizi buruk, itu sudah lazim. Sudah warta tahunan.

Tahukah tuan ada yang buru-buru bikin desa siaga. Siaga sekadar untuk mengikuti lomba? Tahukah puan di depan hidung ibu kota propinsi ini kematian ibu dan anak begitu tinggi? Tinggal di Kupang dengan segala kemudahan, mestinya kasus kematian ibu-anak sekecil mungkin.

Adakah yang prihatin? Mohon maaf. Di saat banyak sesama kita menderita, para pemimpin, para elite sosial justru bersenang dengan segala kemewahan dan kemudahan. Mudah betul miliki sepeda motor...eh kredit mobil! Di kala anak-anak kita menangis terisak karena kegagalan UN yang membut masa depan mereka jadi tanda tanya besar, orang-orang besar kampung ini entah berpikir tentang apa? Luar biasa, mereka masih bisa tertawa! (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 24 Mei 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes