Alfons Lontah |
MESKI tidak lagi aktual, tapi berita tetap saja berita. Membaca berita, baik itu koran lama maupun bekas merupakan ekspresi dari rasa ingin tahu wartawan senior TVRI ini. "Kita berpikir, maka kita ada," kata pria yang kini berumur 63 tahun ini mengutip Rene Descartes.
Dari pengalamannya selama tiga puluh tahun menjadi wartawan, informasi dari koran bekas kadang bisa menyambung serpihan yang hilang dari suatu reportase. "Kita baca lalu melupakan, tiba - tiba ingat kembali apa yang dibaca setelah ada suatu peristiwa," bebernya sambil menunjukan tumpukan koran yang berserakan di seluruh penjuru rumahnya di Kelurahan Paal Dua Lingkungan Empat.
Kebiasaan membaca terbentuk sejak ia masih kecil. Buku yang lagi ngetop saat itu Kho Ping Hoo, ia baca sambil mendengar radio. Sewaktu masih SMA di Makasar, Alfons mengikuti prakarya wartawan pada kelas tiganya. Sempat bekerja di Makasar dan Jakarta, ia balik Manado dan menemukan "takdirnya" di TVRI Manado.
Menjadi reporter kala itu apalagi reporter televisi sungguh tak mudah. Tak ada BBM, ponsel maupun alat komunikasi secanggih ini, wartawan di masa itu sering kesulitan mencari informasi.
Kalaupun informasi sudah didapat kesulitan lain menunggu, yaitu bagaimana secepatnya tiba di lokasi peliputan. Kesulitan teknis itu ditambah dengan saat itu zaman pemerintahan orde baru, untuk bisa meliput dan menemui sumber tidak semudah saat ini, membuat Alfons harus bekerja keras.
Sebuah liputan yang dinikmati pemirsa televisi sambil minum kopi di rumah adalah jerih payah seorang reporter yang keluar pagi dan nanti pulang malam hari.
Meniti karir sejak reporter, kamerawan, penyiar berita, koordinator redaktur TVRI Manado hingga menjabat Pemred TVRI Papua dan Sulut, ia pun sudah melalangbuana ke enam negara. "Saya pernah meliput Sea Games 1979, lalu menjadi reporter terbaik pada PON tahun 1982 dan 1985," kata Pemred TVRI Sulut di Manado tahun 2001 - 2003 ini.
Menghabiskan separuh usianya sebagai wartawan, banyak suka dan duka dilalui. "Pernah saya mendaki Gedung Klabat untuk meliput pesawat jatuh, jenazah pertama yaitu pramugari saya pikul, lalu ketika perahu karet marinir yang saya tumpangi hanyut di perairan Miangas," sebutnya.
Terhadap hal ini dirinya sangat berhati - hati. Haram baginya untuk mengemis - ngemis minta uang pada nara sumber. Pikiran seorang jurnalis, ujar dia, harus jernih. Begitu pula hatinya. Ia percaya akan berkah di balik setiap penolakan itu. "Saya bisa tenang tidur, Tuhan pasti memberikan balasannya," ujarnya. Di usianya yang sudah lanjut, Alfons masih segar bugar. "Kuncinya saya tak pernah minta - minta uang," ujarnya.
Sebagai wartawan sepuh, ia punya penilaian sendiri terhadap perkembangan pers masa kini, utamanya Sulut. Menurutnya idealisme wartawan tak bisa berdiri sendiri.
Industri pers yang menghidupi para wartawan punya andil yang cukup besar dalam hal independensi wartawan. "Jika perut kosong maka pikiran wartawan akan fokus, tak bercabang ke mana - mana," ujarnya.
Untuk pada wartawan, dua hal yang bisa membuatnya besar adalah kecintaan terhadap profesi serta institusi tempatnya bernaung. "Jangan jadi bajing loncat, sedikit - sedikit pindah media, besarkan media anda dan anda akan dihargai," beber mantan sekretaris PWI Sulut tahun 1994 dan 1998 ini. Tak lupa pula Alfons mengingatkan wartawan sulut agar melek terhadap isu - isu global. Apalagi saat ini ASEAN telah jadi kiblat perdagangan dunia. "Wartawan harus pintar bahasa inggris," sebutnya.
Di usianya yang sudah senja, Alfons memilih istirahat. Semenjak pensiun beberapa tahun yang lalu, ia menghabiskan waktu bersama sang istri Corsella Mogot di rumah kediaman mereka.
Sesekali ia pergi ke Salatiga untuk menjenguk kedua anaknya yang berada disana.
Sebagai mantan wartawan yang kecanduan bikin berita, ia kini menjadi penikmat berita yang tersaji lewat media cetak dan televisi.
Koran yang ia baca pagi - pagi setelah bangun tidur. Malamnya koran jadi obat tidur. "Saya sulit tidur, nanti tertidur saat baca koran," bebernya.
Satu lagi kebiasaan sewaktu menjadi pemburu berita yang berlanjut di masa senjanya adalah kebiasaan merenung sebelum tidur. "Sebelum tidur, saya sering merenungi apa yang telah saya lakukan, apa saya telah menyakiti orang lain," sebutnya.
Di akhir percakapan Alfons mengajak Tribun Manado memasuki bagian dalam rumah. terdapat sebuah lemari di pojok sebelum masuk ruang belakang.
Isinya foto, paspor, kartu pers serta barang - barang peninggalan semasa dirinya aktif menjadi wartawan. Ia menunjuk paspor berjumlah empat buah serta sebuah foto berisi dirinya dan orang lainnya.
Dalam foto berlatar pemandangan sebuah negara di luar negeri itu, Alfons bertiga mengenakan jaket dan tersenyum sewaktu diabadikan. "Ini kenang - kenangan saya waktu tugas di luar negeri," katanya sambil tersenyum.
"Wartawan awalnya adalah budak pilihan bangsawan romawi yang dibawa dari mesir, sudah merdekakah budak-budak pilihan itu," katanya retoris sambil menunjuk jarinya ke Tribun Manado. (arthur rompis)
Sumber: Tribun Mandao 8 Februari 2013 hal 1
Semua tentang Kawanua KLIK!