Paus Benediktus XVI |
Seperti monarki sekuler, Paus dipilih untuk seumur hidup. Namun, itu tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan seorang Paus mengundurkan diri. Memang pengunduran diri tidak biasa terjadi karena bisa memunculkan persepsi terhadap stabilitas hierarki Gereja dan mungkin akan memunculkan preseden mendesak agar seorang Paus mundur.
Wajarlah kalau muncul pertanyaan: mengapa Paus Benediktus XVI mengundurkan diri? Pertanyaan itu muncul setelah ia mengumumkan pengunduran dirinya pada Senin lalu. Hukum Gereja (Kanon 332.2 tahun 1983) menyatakan, seorang Paus bisa mengundurkan diri. Pengunduran diri itu harus "diambil benar-benar secara bebas". Itulah yang ditegaskan oleh Vatikan. Ini dimaksudkan untuk membuang dugaan adanya intrik dan konspirasi dalam pengunduran diri itu.
Paus Benediktus memilih mundur karena alasan kesehatan. Benarkah demikian? Harian terbitan Inggris, Telegraph, misalnya, memunculkan teori konspirasi. "Ada desakan dari luar," tulisnya. Namun, apa dan siapa pihak luar itu? Mafia?
Sekitar 600 tahun silam, Paus Gregorius XII (1415) mengundurkan diri. Alasannya jelas: untuk mengakhiri skisma, perpecahan Gereja. Ketika itu, selain di Roma, kelompok tak setuju Roma menjadikan Avignon, Perancis barat daya, dan Pisa, Italia, menjadi pusat Gereja. Daripada skisma berlarut-larut, Paus Gregorius XII memutuskan mundur.
Paus Selestinus V mengundurkan diri pada tahun 1294. Ia memilih hidup sebagai rahib. Saat itu, ia berusia 85 tahun. Paus Johanes XVIII pada tahun 1009 memilih mundur dan menghabiskan hidupnya sebagai rahib di biara.
Siapa penggantinya?
Lalu, siapa yang akan menjadi Paus mendatang? Pertanyaan itu segera disusul pertanyaan lain, bagaimana nanti di Roma ada dua orang Paus. Apa tidak akan terjadi persaingan? Paus Benediktus XVI, yang ketika belum terpilih sebagai Paus dilabeli sebagai tokoh konservatif, ideolog Vatikan, bahkan mendapat julukan Panzerkardinal dan God's Rottweiler, tidak pernah dikenal sebagai "pemain politik yang haus akan kekuasaan".
Dalam tradisi Gereja Katolik, syarat paling utama untuk menjadi Paus adalah rendah hati. Oleh karena itu, gelar seorang Paus bukan hamangku bawana, memangku dunia (menguasai dunia), melainkan servus servorum Dei, hamba dari para hamba Tuhan. Kerendahan hati itulah yang membuat tak ada kampanye sama sekali menjelang sebuah pemilihan Paus.
Meski demikian, beragam spekulasi pun sekarang sudah muncul, sama seperti dulu setelah Paus Yohanes Paulus II wafat. Ketika itu, Kardinal Ratzinger adalah salah satu yang disebut-sebut dan akhirnya terpilih menjadi Paus yang kemudian bergelar Paus Benediktus XVI. Kini muncul nama Uskup Agung Milan Kardinal Angelo Schola yang sangat melek akan teknologi dan media, yang dibutuhkan zaman kini dan mendatang; administrator terkemuka Vatikan, Kardinal Marc Quellet yang berasal dari Kanada; Kardinal Peter Turkson dari Ghana; dan Kardinal Timothy dari New York.
Banyak pula yang sudah menyodorkan "persyaratan" layaknya calon presiden: Paus mendatang haruslah seorang tokoh spiritual yang mampu menyatukan seluruh umat yang di satu sisi berkembang pesat, di sisi lain mendekati kolaps; yang mampu memimpin Gereja yang menghadapi banyak persoalan dan isu berbeda-beda tergantung wilayahnya-Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
Semua itu sangat spekulatif. Pemilihan Paus tidak sama dengan pemilihan presiden. Diyakini bahwa pemilihan seorang Paus tidak lepas dari "penyelenggaraan Ilahi". Karena itu, manusia boleh merancang, mensyaratkan, dan berambisi, pada akhirnya "kuasa langitlah" yang menentukan sampai asap putih muncul dari cerobong dan terdengar seruan habemus Papam (kita memiliki Paus).
Saat itulah sejarah baru Gereja Katolik ditulis untuk menghadapi dan menghidupi zaman yang sedang dan terus berubah. *
Sumber: Kompas.Com
Baca Semua Artikel terkait PAUS