Gerson Poyk |
Ketika aku mengunjungi Rote di tahun 1997, lokasi sekolah itu sudah jadi kebun. Dulu di seberang Jalan Raya Sirtu, ada rumah Guru Pah, famili ibu, maestro senandu biola. Ana perempuannya yang paling tua menikah dengan abang tertuaku Benyamin. Adiknya Eduard Pah seorang guru, juga maestro sesandu biola. Ia mendapat Anugerah Seni dari pemerintah RepublikIndonesia dan profil tentang seniman ini dimuat di New York Times.
Satu-satunya seniman musik Rote yang mendapat publisitas internasional lewat New York Times. Jarang juga senimanIndonesia dipublikasi lewat sebuah artikel yang dimuat di koran internasional itu. Dulu, yang disebut Tudameda hanyalah tiga bangunan yaitu rumah pamanku Guru Pah dan di seberangnya Sekolah Rakyat tiga tahun. Tidak jauh dari situ, di tepi jalan berpasir dan kerikil ada sebuah rumah pendeta yang dipagari batu dan didepannya ada sebuah kolam yang terjadi ketika batu dan pasir diambil untuk membuat jalan raya. Beberapa langkah dari sekolah ada sebuah jembatan kecil di atas sungai yang airnya datang dari Danau Tua. Selebihnyapadang savana yang menderu dan berdesing ketika angin datang dari gurunAustralia dan Samudra Hindia.
Ibu, tampaknya tidak mau memberatkan saudara-saudaranya. Pada suatu malam yang gelap ibu membawa kami mengunjungi salah satu famili di Lalukoen, sebuah kampung yang lebih banyak rumahnya. Waktu akan pulang di malam hari dengan obor dari daun lontar, aku disuruh tinggal di rumah itu. Melihat rumah adat (rumah panggung) yang gelap di malam hari, hanya diterangi pelita yang terbuat dari biji kesambi yang ditumbuk yang dicampur dengan kapas atau kapuk lalu dililitkan ke lidi. Itulah pelita di malam hari. Sebagai anakkota yang terbiasa dengan lampu, aku merasa suasana di rumah adat famili ibu sangat mencekam. Barangkali famili ibuku senang sekali karena ibu menyerahkan aku kepadanya. Aku segera digendong oleh seorang Te’o (tante). Dengan cepat aku meronta-ronta, menangis sejadi-jadinya karena tak mau tinggal di rumah adat itu. Aneh. Padahal di rumah Papa To’o dan Mam To’o, rumah di mana ibuku dilahirkan oleh nenekku Maria Messakh yang setiap hari kami sapa dengan istilah Mama Be’a juga gelap.
Hari pertama kami datang dari Flores dan memasuki rumah itu, ibu menunjuk ke kolong rumah dan mengatakan, “Itu, kuburan Mama Be’a.” Aku ngeri juga kalau tidur malam-malam di bawah atap emperan lebar, di atas sebuah balai-balai induk (dalam bahasa Rote disebut langga inak) yang lebar dan panjang. Ngeri kalau bangun di tengah malam, memandang langsung ke kuburan nenekku tetapi karena mengantuk, aku tidur kembali. Lama-lama aku terbiasa dengan tidur bersama kuburan nenek. Soalnya aku tidur bersama abang.
Biasanya, setiap malam anggota keluarga lelaki tidur di bale-bale induk yang membentang di kiri dan kanan rumah. Papannya lebar sekali, terbuat dari pohon utuh yang tebalnya sekitar tiga sentimeter. Karena umurnya sudah tua dan ditiduri oleh beberapa generasi maka tampaknya licin dan mengkilat. Anggota keluarga perempuan, tidur di atas di rumah panggung yang dipenuhi oleh bakul-bakul besar dan kecil yang terbuat dari anyaman daun lontar, biasanya berisi padi tiga lapis panen. Juga makanan lain seperti gula batu, kacang ijo, jelai, jewawut bijan, dan sebagainya.
Sampai sekarang, aku berpikir, mungkin usiaku sudah mencapai usia sekolah sehingga ibu mau menitipkan aku di rumah famili yang dekat dengan sekolah, sekaligus meringankan beban saudara-saudaranya yang telah menampung kakak perempuanku, kakak lelakiku dan adik perempuanku serta ibuku sendiri. Soalnya paman dan saudara ibu hanya hidup dari kebun dan sawah serta sejumlah pohon lontar dan binatang ternak. Biasanya mereka minum gula dan sayuran serta ikan serta daging sekadarnya, tidak biasa masak nasi setiap hari seperti orangkota . Setiap hari aku harus makan nasi, sayur, daging burung dan sebagainya. Aku tidak seperti kakak-kakakku dan ibuku. Barangkali karena itu.
Sesungguhnya aku tak tahu pasti motif ibu ketika suatu malam, ibu membawaku ke rumah pendeta Hidalilo, pendeta yang berasal dari Pulau Sabu yang tinggal di Tudameda di rumah yang di depannya ada kolam berair kuning. Malam itu, lampu petromak terang benderang. Ibu membawa aku ke belakang dan aku bergabung dengan anak-anak pendeta. Aku senang sekali bermain dengan anak-anak itu di bawah benderang lampu tekan sehingga ketika ditanya apakah aku mau tinggal di rumah itu, aku mengangguk setuju. Malam itu aku mendapat sebuah tempat tidur box. Keempat sisinya berpagar sehingga kalau mau tidur aku harus memanjat pagar itu. Box itu berkelambu. Aku tertidur pulas karena terlalu lelah bermain sesiang suntuk. Di tengah malam, aku dibangunkan oleh keharusan untuk kencing. Aku menangis karena kantong air seniku terlalu penuh. Ibu Pendeta yang sekamar dengan kami terbangun sedangkan Bapak Pendeta tetap ngorok. Begitu pula anak-anak di ranjang yang besar. Semuanya berada di satu kamar. Ibu Pendeta bertanya, ”Kenapa, Be’a?” sambil merintih aku berkata, ”Mau kencing, Tante.” Lalu Ibu Pendeta menyuruh kencing di pojok kamar. Tampaknya dinding kamar itu tidak sampai ke lantai tanah.Ada celah di mana angin bisa keluar masuk.
Malam itu seingatku; ibu tidak membawa tas pakaian. Ibu melepaskan aku dengan pakaian di badan. Seingatku tidak ada acara makan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Aku masih ingat pada suatu malam Ibu Pendeta membagi-bagikan biskuit. Juga masih segar dalam ingatan Ibu Pendeta membawa kami untuk mandi di sungai. Aku masih ingat pula pada suatu malam, ketika Mama Nyora Hidalilo (istri pendeta dan guru dipanggil nyora) membagi-bagi nasi dan lauk, kepada tiap anak ia bertanya mau tambah atau tidak. Anak-anak pendeta mengatakan tidak sedangkan aku mau tambah. Aku lihat nasiku hanya setengah dari nasi anak-anak yang tak mau tambah. Kami hanya makan sekali, makan malam. Tampaknya gaji pendeta itu kecil sedangkan kami hampir sepuluh orang di rumah itu.
Biasanya bila seorang anak angkatnya yang duduk di kelas tiga bernama Karaba mengupas kelapa, aku duduk di depannya dan memungut daging kelapa yang terkikis parang. Enaknya bukan main! Kemudian aku ke kebun jewawut, jelai dan jagungnya yang baru dipanen.Ada melon-melon, kecil yang sudah matang di celah daunan jagung dan jelai yang sudah kering. Buah kacang turis muda pun sedang bergantungan di pohon. Aku sering berpesta melon liar yang kecil dan kacang turis muda.
Aku ingat, sekali ketika berlangsung kebaktian hari Minggu yang dilakukan di sekolah desa tiga tahun yang bentuknya seperti kandang kambing itu, serombongan gadis-gadis kelompok koor, memakai kebaya putih dan sarung hitam dan mantan Raja Ti, (ayah abangku Min Besar dan kakak perempuanku Mariana) duduk sendirian di sebuah kursi di dekat mimbar dan mendongakkan kepalanya memandang pendeta yang sedang berkhotbah.
Waktu itu tidak ada liturgi berdiri segala. Sepanjang kebaktian, umat duduk terus dan aku menguap terus.
Karaba adalah tokoh unik dalam kenangan masa kecilku. Walaupun aku duduk jongkok di depannya sambil memungut dan mengunyah tempiasan kikisan daging kelapa dari parangnya, ia tidak pernah memarahiku. Padahal ia seorang pemarah. Aku pernah melihat ia marah ketika menghidupkan api dengan ranting-ranting kayu. Dikipas-kipasnya api itu tetapi tidak juga menyala. Tidak lama kemudian ia mengamuk kepada api dan ranting-ranting itu. Dengan tangan kanannya ia mengobrak-abrik api dengan ranting-rantingnya segala sehingga api ‘ketakutan’ dan mengecil. Kemudian dia menata kembali. Api ‘ketakutan’ lagi lalu menyala (sic!). Amarah yang sangat meluap kepadaku adalah pada suatu hari ketika aku bermain-main sendiri di halaman sekolah. Biasanya anak kelas satu pulang lebih dulu.
Tinggal anak kelas dua dan tiga. Mungkin karena kekurangan guru. Aku bermain sendiri, berputar-putar keliling sekolah sambil nguping apa yang diajarkan guru kepada kelas yang lebih tinggi. Tiba-tiba aku jadi usil. Aku menunduk memungut sebuah lidi dan menusuk-nusukkan ke dalam lewat celah dinding bebak (pelepah gewang). Tiba-tiba terasa pantat anak yang duduk paling belakang tertusuk. Aku rasakan itu. Tiba-tiba anak yang tertusuk itu muncul di pojok luar sekolah dan yang muncul itu adalah Karaba! Aku melompat lari langkah seribu dan ia memungut batu, melempari aku. Sambil tertawa terkekeh-kekeh aku melompat menghindari batu yang mengejarku. Entah siapa yang menyuruh aku usil begitu, membuat aku begitu ‘kreatif’ menciptakan suasana kekanakan yang menyenangkan.Ke mana pun aku mengembara di kota-kota dunia, aku selalu ingat kolamku, kolam kemarau kuning di pinggir Jalan Raya Pasir Batu (Sirtu) itu.
Tiba-tiba aku sibuk membuat perahu kecil sekaligus layarnya. Angin dari gurun Australia menyapu laut dan mendesingkan sabana. Asyik sekali melihat layar perahuku di tiup angin dan melaju kencang dari tepi yang satu ke tepi yang lain dari kolam itu. Rasanya aku telah menjadi insinyur perkapalan yang memperhitungkan dengan tepat ketika membuat perahu itu, sekaligus layarnya yang berbentuk segi tiga dengan tali temalinya. Setelah puas bermain dengan perahuku, aku membuka pakaianku, sebuah baju monyet lalu menceburkan diri ke kolam kemarau kuning itu.
Suatu hari ketika pulang berenang dan bermain-main dengan perahuku aku jongkok lagi di depan Karaba yang sedang mengupas kelapa tua. Seperti biasa, ia tidak marah padaku. Perbuatan menusuk pantatnya telah dilupakannya. Ia membiarkan aku memungut-mungut kikisan kelapa yang terlempar di tanah lalu memasukkan ke mulutku. Ia hanya menggerutu menyalahkan seorang temannya, juga anak angkat pendeta yang diboyong dari Sabu. ”Bapa Pendeta sudah mengutuk siNara karena ia menulis-nulisi Kitab Suci,” kata Karaba.
Sejak itu aku takut sekali dikutuk oleh Bapa Pendeta, terutama takut dimarahi Tuhan kalau salah memegang atau menyia-nyiakan Kitab Suci. Sampai aku bersekolah di Sekolah Standar, kalau aku melihat lembaran Kitab Suci yang tersobek dan terbuang, aku memungutnya dan menyimpannya baik-baik. Aku selalu mengingat anak itu. Si Karaba itu. Bahkan nama anak-anak pendeta sudah kulupakan, padahal pernah bertemu di So’e ketika aku duduk di Sekolah Guru Bawah (SGB) (dulu Normalschool) dan dia belajar di Sekolah Teologia. Ketika aku duduk di Sekolah Standar di ruteng aku dengar Karaba masuk Heiho, kemudian ketika perang dunia usai aku bertemu dia di jalan di Kupang. Badannya tambah hitam dan kurus, tinggi. Aku menegurnya dan dia membalas teguranku sambil berjalan terapung-apung, lurus, dagu terangkat. Aku memandang punggungnya ketika ia menjauh, sambil menarik napas dan desah nostalgia.
Tiba-tiba, pada suatu hari ketika aku berjalan menunduk menuju kolam kemarau kuning kesayanganku, ada sesosok tubuh di depanku. ”Papa!” seruku bahagia. Aku disuruh berdiri menunggu di jalan dan ayahku masuk ke dalam untuk memberitahukan bahwa aku diambil kembali. Tidak lama kemudian ayah keluar dan kami berjalan meninggalkan rumah pendeta itu tanpa tas pakaian, kecuali baju monyet di badan. Walaupun aku sendiri tidak bertemu dengan pendeta dan istrinya untuk mengucapkan terima kasih, walaupun tidak ada acara perpisahan, aku masih ingat jasa keluarga pendeta itu memberi tumpangan, tempat tidur dan makanan untuk beberapa lamanya. Kepada orang-orang yang ditemuinya di Oekahendak, ayah menceritakan kesedihannya melihat anaknya yang sudah hitam tak terurus dan pakaiannya yang cuma satu melekat di badan, tidak pernah dicuci.
Di Oekahendak, kepada ibu, ayah menceritakan bagaimana dia mendapat ongkos untuk membeli tiket kapal. Ia menjual pondoknya di Endeh dan barang-barang lain seperti piring mangkuk, setrika dan sebagainya. Rupanya usaha ayah sebagai pengacara amatiran di Endeh macet. Untung, naluri kebapakannya menggerakkan dia mencari anak-anaknya yang terombang ambing di bawah kepak ibu yang kurang berdaya. Pengalaman seorang anak sepertiku sangat menyedihkan, mengharukan dan semuanya menjadi sumber kepekaan, sumber inspirasi ketika aku menjadi dewasa. Tidak dapat disangkal pengalaman menjadi bahanbaku untuk kesusasteraanku, untuk karya-karyaku, baik berupa prosa maupun puisi dan lain-lain. Aku memasuki kesusasteraanIndonesia melalui puisi. Sajak-sajak pertamaku dimuat di koran dan majalah Surabaya kemudian Mimbar Indonesia, Jakarta yang ditulis tahun 1955 ketika aku duduk di bangku Sekolah Guru Atas Kristen di Jalan Pringadi, Bubutan, Surabaya, dan ketika mengikuti International Writing Program, sebuah program creative writing di bawah bimbingan Prof. Paul Engle, Ph.D (penyair) di Iowa University, Iowa City, Amerika Serikat.
Gambar Keluarga
begini kuda tunggang dan dadaku diterik tangis padang/
lewat jalan liku menuju rumah lalang berpagar batu bila dulu aku datang aku tak tahu ciumanmu tengik tersaar/
bibirmu yang hambar memperdengarkan tambur gembala/
pandanganmu mengharu usia dewasa sejak itu mengobar/
dalam mataku bundar segar seorang anak yang belum sadar kau tinggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning/
tak sampai sesiang yang indah berenang riang/
dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang tegap airnya makin kering mengabur ke bibir nasib kemarau/
aku pulang ke rumah lalang berpagar bagu, lingkar kasih yang buntu/
nyenyak malam membenam dalam lapar dalam lupa masa kanak kelakar, dan sindiran yang menyembur senja kemarau kuning/
sebagai tuntutan atas budi yang tumbuh menjadi hutan/
belum terbayar oleh anak yang lapar mengejar belalang/
hingga sekali kelak aku berdiri di atas nyanyian hidup yang manis kau datang kembali dengan bawaan beserba/
untung aku belum lesu terpenggal oleh dosa dan hilang sesal
Sajak ini kutulis ketika pengalaman masa kecil sudah mengendap jauh dalam jiwaku. Masa kecilku telah berubah menjadi puisi. Masa kecilku adalah kuda tunggang, tambur gembala, jalan setapak yang berliku, rumah lalang (dan daun lontar) berpagar batu. Akan tetapi terasa oleh si kecil itu (si aku puitis itu) bahwa pandangan yang mengharukan dia di masa dewasa nanti telah bertumbuh, telah mengobar dalam mata seorang anak kecil yang belum sadar akan segi-segi hambar dalam kehidupannya.
Ayahku (kau) telah meninggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning, hanya sebentar berenang riang dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang tegap. Air di kolam tempat aku bermain makin kering, mengabur ke bibir nasib kemarau lalu aku pun pulang ke rumah lalang berpagar batu, lingkar kasih yang buntu, lalu tidur dalam lapar dalam lupa masa kanak. Bagaimana pun, kehidupan ini penuh dengan kelakar dan sindiran dan ini merupakan hutang budi yang belum bisa dibayar oleh seorang anak kecil yang lapar mengejar belalang. Kelak semuanya akan terbayar bila telah sampai pada nyanyian hidup yang manis. Ayahku datang dengan bawaan beserba. Beruntunglah, aku belum terkapar…
Begitulah tafsiran atar sajak yang ditulis sekitar tiga puluhlima tahun yang lalu. Di tahun 1997, aku pernah ke Rote dan mencari kolam kemarau kuning itu. Rumah lalang berpagar batu pun kudatangi. Hanya pagar batunya yang masih tersisa. Batu datar di pintu itu membari bayangan adikku perempuan yang bermain mengupas biji kesambi untuk dijadikan pelita. Adikku sangat berbakat matematika. Otak kirinya bagus. Ia pintar berhitung. Aku masih ingat ia mengatur biji-biji kesambi itu menurut kelompok-kelompok yang belum dikupas, isi yang telah dikupas dan kulit biji. Semuanya ditumpuk rapi. Ia sudah bisa berpikir kategoris.
Memang dalam keluarga ibuku ada bakat-bakat matematika dan musik. Saudara misanku Jusuf Manu seorang guru yang cerdas. Dialah yang sering mengirimwesel kepada Adrianus Mooy karena ibu Jusuf adalah mama kecil Adri (adik perempuan ayah Adri). Seperti sudah aku katakan, Eduard Pah, mendapat Anugrah Seni dari Pemerintah RepublikIndonesia untuk musik. Ayahnya seorang guru, mungkin lebih hebat lagi bila bermain sesandu (Dulu ejaannya sesandu tetapi di perantauan aku mendengar lidah Jawa menyebutnya Sasando). Daniel Pah, di masa kecilnya loncat kelas melulu. Sayang ia tak sempat kuliah untuk menjadi professor padahal matematikanya bagus, bahasa Inggrisnya dan ilmu-ilmu lainnya juga bagus. Setiap ujian ia pasti nomor satu. Aku bangga sekali padanya. Karena tak mampu kuliah maka ia hanya bisa menjadi guru dan kepala Sekolah Guru Atas Negeri sampai pensiunannya. Ketika di tahun 1997 aku mengunjungi Rote, banyak dari keluarga Manu yang putus sekolah. Oekahendak pun telah menjadi hutan. Kuburan keluarga pada hilang ditelan pohon gewang dan sebagainya. Saudara perempuan ayah Adrianus Mooy yang kawin dengan pamanku misalnya, kuburannya telah tercampur dengan kuburan yang lain yang tidak dikenal oleh generasi berikut. Yang masih utuh hanya kuburan nenekku, Maria Messakh karena berada dalam lingkaran pagar batu yang belum lenyap semuanya.
Akan tetapi kenangan masa kecil tentang rumah itu masih segar dalam diriku. Kenangan fotografis masih jelas. Daun yang mengatapi rumah itu, balai-balai kayu, tangga kayu dan tiang-tiangnya masih jelas. Bahkan pohon kom yang dalam bahasa Rote disebut kole masih tergambar dalam kenangan fotografisku itu. Rumah paman (Papa To’o) itu disebut Kole Dale karena pohon kole (kom) yang berduri dan berbuah kecil seperti kelereng yang asam-asam manis itu menjadi petunjuk rumah keluarga ibu dalam cerpen-cerpenku, dalam novel-novelku, terutama novel Meredam Dendam.
Ayah membawa aku kembali ke rumah itu. Aku ingat, Papa To’o membuat pesta menyambut ayahku. Ia mengambil senapan tumbuk (sundut) dan menembak seekor babi besar. Yang menarik adalah bola yang terbuat dari kantong air seni binatang ternak itu. Sambil memegang bongkah daging dan mengunyahnya, aku bermain bola.
Tiba-tiba kami bersiap untuk pindah ke Ba’a. Aku ingat kami berjalan kaki telanjang sepanjang 25 km dengan beberapa wanita yang aku sudah lupa nama mereka. Tiba di Ba’a kami menumpang di sebuah rumah dekat jembatan Lelete Langgak, di pinggir jalan, di kaki bukit yang gundul. Di rumah itu, kakekku datang dari E’ahun, ibukota Kerajaan Ringgou. Kakakku Dina (Susi Di’a) adalah anak kesayangan kakekku Laurens Poyk. Di waktu aku masih bayi, terjadi zaman meleset (malaise) sehingga ayah diberhentikan sebagai mantri. Ia memboyong kami (ibu, Susi Di’a dan aku) ke Ringgou. Kakakku, Susi Di’a (Kak Dina) masih ingat, kalau ada pesta kakek selalu membawanya ke pesta itu dan disana daging berlimpah. Kakakku kenyang oleh pesta yang penuh dengan gading itu. Bertemu lagi dengan kakek di Ba’a Kakak Dina menggosok bintangnya dengan asam jawa sehingga mengkilat lalu digantungkan ke dadanya (jas tutupnya). Sebelum keluar menuju kantor kontrolir (bupati Belanda), adikku Mathilda (Nona) melompat lalu menusuk pipinya yang cekung karena ompong, sebelum kakek melangkah keluar.
Menurut cerita Susi Di’a (Kak Dina) ia diminta oleh kemenakan ibu, Jusuf Manu, seorang guru, untuk tinggal dengan mereka. Kak Dina punya pengalaman pahit di rumah sepupunya itu hanya karena ia kurang awas menjaga seorang adik (putra Bang Jusuf) sehingga jatuh ke dalam sumur. Ia dimarahi habis-habisan. Sampai hari tuanya ia masih ingat akan nasib ketakutan melihat seorang anak jatuh ke sumur menerima amarah besar abang misannya Jusuf Manu.
Ayah tidak punya pekerjaan tetapi ibu masih bisa masak kemudian memanggil aku keras-keras untuk makan nasi dan dendeng. Pada suatu hari kami pindah ke sebuah rumah di punggung bukit dan ayah meninggalkan kami. Ia berangkat ke Ringgou tanpa meninggalkan uang sepeser pun. Lalu Ibu mengajak kami berjalan, mendaki pundak bukit dan turun ke panatai pasir putih yang melengkung indah. Ketika itu air sedasng surut jauh sekali. Agak ke tengah, kelihatan beberapa orang sedang sibuk makan meting., berarti turun ke kawasan yang airnya surut itu untuk memungut makanan laut seperti kerang, gurita, ikan, kepiting dan sayur laut yang disebut latu dan sebagainya. Persis di pantai, pasirnya memang putih bersih tetapi lebih ke tengah banyak sekali batu kerangnya yang berselang-seling dengan pasir putih tetapi orang harus berhati-hati melangkah karena ada juga duri laut.
Ketika aku berjalan di pasir pantai aku bertemu bersitan kerang-kerang kecil. Tinggal mengoreknya dari pasir lalu mengupasnya dan mengunyahnya mentah-mentah. Tampaknya sebidang pasir pantai itu lumbung kerang. Aku makan sekenyang-kenyangnya seperti manusia purba yang masih dalam peradaban pungut biji-bijian dan kerang-kerangan dan yang masih tinggal di gua-gua.
Hari itu kami membawa beberapa keranjang kerang, sayur laut (agar-agar) dan sebagainya. Kerangnya cukup besar.Ada agar-agar yang harus direbus dulu dan ada yang enak dimakan mentah-mentah. Setelah kerang direbus bersama agar-agar, kami makan sekenyang-kenyangnya sambil minum air gula. Itulah cara makan orang Rote. Malam itu aku tidur. Bangun pagi-pagi leherku kaku, agak pegal kalau dimiringkan. Orang mengatakan aku salah tidur, padahal itulah rematik, kebanyakan asam urat yang datang dari makanan laut. Ibuku memang punya bakat rematik.
Tiba-tiba ayah pulang dari Ringgou membawa seekor kerbau besar.Ada yang menemaninya tetapi aku lupa namanya. Kerbau itu segera dibawa ke rumah potong dan dengan demikian daging berkelimpahan. Uang pun banyak setelah daging terjual. Kami makan enak tiap hari. Beras baru, lauk daging yang dimasak dengan bumbu beserba. Ibuku memang pintar memasak karena ia pernah tinggal di rumah Pendeta Belanda, Pendeta (domine) de Vries di masa gadisnya.
Seusai menjual daging kerbau itu ayah membangun sebuah gubuk di pinggir jalan dekat dengan gereja di Menggelama. Gubuk itu demikian kecilnya, demikian daruratnya. Yang penting tidak numpang-numpang. Atap dan dindingnya dari daun kelapa. Tempat duduk dari batu ceper. Sudah itu, pada suatu hari ayah membawa cangkul ke sebidang tanah di pinggir kali lalu membuat bedeng-bedeng untuk ditanami sayur sawi. Dia mengajak kami memungut tinja sapi dan kerbau yang sudah kering dan ditaruh di atas bedeng yang dibuatnya kemudian dibakarnya. Setelah disiram, ayah menebarkan bibit sawi lalu setiap sore ayah menyiramnya. Setelah selesai ayah mengajak kami mandi di sungai. Setiap hari aku berkeliling semak belukar danpadang rumput yang telah mengering di bukit untuk mencari tinja sapi dan kerbau yang sudah kering dan membawanya ke bedeng-bedeng sayur itu. Sambil mencari tinja sapi dan kerbau itu, aku mengambil pelepah kelapa dan lontar, lalu bermain meluncur (berselancar) dari pundak bukit ke bawah. Alangkah bahagianya.
Di samping menanam sawi, ayah sibuk menulissurat lamaran kerja. Nanah putih pohon kekak dijadikan lem surat.
Aku jadi murid kelas satu dengan gurunya yang bernama Tuan Sereh, seorang lelaki berkaca mata. Dia perintahkan murid-murid untuk membuat lidi yang diikat gabung.Ada sepuluh lidi satu gabungan, adalima lidi. Ikatannya harus rapi dan ukurannya pun harus sama. Karena baru pindah dari Tudameda, aku tak mendengar perintah Tuan Sereh itu. Dengan kepanikan aku meminta-minta dari beberapa teman sehingga ukurannya berbeda. Dia mengomando. ”Anak-anak, atur semua lidi di atas meja!” Lalu ia memeriksa semua meja apakah lidinya rata, rapi atau tidak. Aku melihat lidiku panjang pendek, tinggi rendah. Kemduian aku mera takan yang paling atas dan di bawahnya aku tutup dengan mistar lalu kutekan. Ujung atasnya rata sekali. Beres, pikirku. Memang waktu ia memeriksa lidiku, ia memujiku. Bagus. Rata. Lalu dia memerintah. Angkah sepuluh lidi. Sepuluh lidi ditambahlima lidi, berapa? Aku menjawab. Bagus. Taruh kembali lidinya. Wah, lidinya panjang pendek. Ia mencubit pipiku tetapi tak bisa karena daging pipiku kumasukkan ke dalam. Tiba-tiba ia menempeleng aku. Plak. Itulah yang aku ingat ketika duduk di kelas satu. Sekali aku ditunjuk untuk berdiri di kelas lalu disuruh bercerita. Aku maju, berdiri lalu berceloteh entah tentang apa…
Tiba-tiba ayah berlayar ke Kupang untuk mencari pekerjaan. Kami ditinggalkan, mungkin dengan uang hasil jualan daging kerbau yang diberikan kakek (Papa Be’a) di Ringgou. Waktu itu bulan Desember. Aku ingat betul karena pernah merayakan Natal ketika ayah tiada. Hadiah Natalku hanya sebuah buku tulis tipis karena setoranku juga kecil.
Aku rindu pada ayah. Rasanya setengah tahun atau lebih kami bersama ayah di Ba’a. Bulan Agustus lalu ayah membawaku ke pasar malam. Ia melemparkan beberapa sen ke tikar dadu dan tiba-tiba dia menang. Setelah diraupnya uang kemenangannya ia meninggalkan tempat itu. Setan judi tentu jengkel, gondok, ketika aku mengunyah roti segar yang dibeli ayah. Cara ayah mempermainkan setan judi selalu kutiru.
Oh, aku hampir lupa. Sebelum bersekolah ayah mengajak aku berjalan kaki ke kampung kelahiran ayah, Ringgou. Jaraknya 40 km. Jadi pulang balik 80 km. Jalan kaki dari Ti berjarak 25 km itu sudah bisa kulakukan. Bahkan adikku juga sudah begitu kuat berjalan kaki dari dusun ibu, Oekahendak ke Ba’a. Kami start dari Ba’a pagi hari. Mula-mula ayah membeli kue cucur di pasar Ba’a. Aku mengunyah-ngunyah kue itu sambil berjalan mengikuti ayah. Sudah banyak yang tak kuingat mengenai yang kulihat sepanjang perjalanan. Aku Cuma ingat bahwa sampai di Korbafo, aku lihat ada kolam dan mata air tempat orang mengambil air dan mandi. Kemudian berjalan terus, berjalan dan berjalan dan akhirnya sampailah kami di E’ahun. Menyeberang sebuah sungai kecil di depan rumah raja, sampailah kami ke rumah kakek yang berada di sebuah tempat bernama Roki.
Kesan pertama dari rumah panggung itu adalah bau ikan kering. Di mana-mana tergantung ikan kering yang lebar-lebar. Aku segera membayangkan bahwa kakek beserta saudara-saudara ayahku makan ikan setiap hari. Rumah kakekku hampir sama dengan rumah keluarga ibuku di Oekahendak. Di Roki ada abang ayahku yang kami panggil Papa Ogus. Nama lengkapnya August Poyk. Istrinya dari keluarga (fam) Tokoh. Berikut adik ayahku, Papa Ose (Hosea Poyk) dan ada satu yang baru gede bernama Abraham (Papa Bang).
Semua mereka pada waktu itu petani yang hidup dari mamar (kebun kelapa, nangka, mangga, pisang, pinang dan sebagainya), bersawah, berkebun dan beternak. Papa Ogus, yang tertua yang mengelola semua pusaka keluarga Poyk. Setelah perang dunia usai Papa Ose menjadi guru di Oekabiti (Timor). Bersama istrinya dari marga (fam) Funai, Papa Ose memiliki dua hektar lebih sawah irigasi. Ketika keduanya pindah ke tempat kerja baru sawah dua hektar lebih itu dititipkan kepada seorang kerabat dari Ringgou. Setelah Papa Ose meninggal, kerabat dari Ringgou itu, bersama dengan kepala desa membuat sertifikat atas nama kerabat dasri Ringgou itu. Ahli waris Papa Ose (anak-anaknya) gigit jari, walaupun orang tua-tua pemimpin informal di desa itu mengetahui betul bahwa sawah itu milik guru Hosea. Anak-anaknya adalah saksi hidup yang ikut bekerja menyiang dan memanen. Aku hanya berkata, ikhlaskan (lupakan) saja tetai kalau orang (kerabat) Ringgou itu ingin menjual sawah itu kita beli saja. [bersambung]
Sumber: Matheos Viktor Messakh
Semua tentang GERSON POYK di SINI