Suatu Hari di Penghujung April

Baliho HPN 2011 di Jalan Palapa Kupang
SAYA menghabiskan waktu hampir enam jam saat pulang dari Manado ke Kupang hari itu, Selasa 18 Desember 2012 atau dua hari sebelum Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merayakan Hari Ulang Tahuhnya ke-54. Kabut tipis dan renai gerimis menyelimuti Bandara Sam Ratulangi tatkala pesawat Lion Air  take off sekitar pukul 06.10 Wita menuju Surabaya dengan transit selama 25  menit di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Penerbangan Surabaya-Kupang berlangsung lebih nyaman lantaran cuaca siang itu lumayan cerah.  Bumi Kupang baru saja bermandikan hujan ketika Lion Air mendarat tak seberapa  mulus di run way Bandara El Tari sekitar pukul 14.50 Wita. Ya, saya pulang untuk kesekian kalinya ke kota ini. Pulang untuk libur bersama keluarga setelah hari-hari menjalani penugasan di Harian Tribun Manado, salah satu koran Grup Kompas Gramedia, kolega Harian Umum Pos Kupang.

Om Ali, sopir taksi langgananku batal menjemput karena mendadak ibunya sakit. Saya pilih taksi Om Sius menuju perumahan Lopo Indah Permai, Kolhua. Saat meninggalkan area parkir Bandara El Tari, Om Sius langsung berceloteh  tentang Hypermart, pasar modern pertama di Kupang yang  baru dibuka sehari sebelumnya. "Ramai sekali bu. Orang Kupang dong mangkali su borong abis barang-barang di Hypermart," katanya sambil terkekeh.

Om Sius menyebut lokasi pasar modern tersebut berada  di Bundaran PU, kira-kira hanya  selemparan baru dari Jembatan Liliba. Rupanya Om Sius sengaja menunjukkan kepada saya karena dia memilih jalur itu sebelum memutar mobil taksi  ke arah Oebufu, Maulafa terus menuju ke perumahan BTN Kolhua.

Ketika melintas di bundaran PU mata saya  masih menangkap sisa-sisa pesta pembukaan Hypermart oleh Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Ada kerumunan spanduk dan umbul-umbul aneka rupa dan warna. Juga sampah yang belum seluruhnya disingkirkan.

Perasaan senang sekaligus bangga menghiasi batin. Luar biasa Kupang, kota tempatku menjalani hidup lebih dari 20 tahun terakhir. Kalau pasar modern telah masuk di ibu kota provinsi  ini berarti secara ekonomis Kupang bukanlah yang terletih geliat bisnisnya di antara ibu kota provinsi lain di ini negeri.

Sontak pikiranku melayang jauh ke awal tahun 2010. Suatu hari di penghujung April,  ponselku berdering. Telepon masuk dari Hendri Ch Bangun, wartawan senior Harian Kompas yang sehari-hari menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

"Dion, kami baru selesai rapat pleno pengurus harian PWI Pusat. Dalam rapat tadi pimpinan PWI setuju kalau  peringatan Hari Pers Nasional tahun 2011 berlangsung di Kupang sebagaimana permintaan PWI Cabang NTT tahun yang lalu. Apakah NTT siap? Tugasmu diskusikan segera dengan gubernur dan wakil gubernur serta pimpinan Dewan. Kami tunggu jawaban secepatnya. Kalau NTT tidak siap akan dialihkan ke daerah lain yang mau. Ini sudah antre Sulsel, Sulut dan Jambi bahkan Jatim. Saya tunggu kabar balik ya.." Klik. Sambungan telepon terputus.

NTT Pasti Bisa

Perasaaanku campur aduk. Provinsi NTT menjadi tuan rumah HPN, sebuah event akbar berskala nasional dengan tamu undangan lebih dari 1.000 orang?  Ah mengapa tidak? NTT pasti bisa kalau ada kemauan! 

Saya ingat tahun 2003 ketika mengikuti Kongres PWI di Palangkaraya, Kalimantan Tengah untuk memilih kembali Drs. Tarman Azzam sebagai ketua umum PWI Pusat. Akomodasi hotel di Palangkaraya minim amat, tetapi PWI Cabang setempat berani ambil tanggung jawab sebagai host. Saya bersama Bernard Tokan dan Aser Rihi Tugu, delegasi PWI NTT kala itu, bahkan nginap di rumah penduduk karena keterbatasan hotel.  Selama tiga hari kami merepotkan mantan kepala stasiun RRI Kupang sekeluarga di Palangkaraya.

Fokus pikiran saya langsung tertuju ke gubernur, wakil gubernur dan pimpinan DPRD NTT. Malam itu juga saya bersama anggota Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Cabang NTT, Damyan Godho serta Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Cabang NTT, Bernard Tokan bertemu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Ir. Esthon L Foenay, MSi di rumah jabatan gubernur.
Kebetulan saat itu gubernur dan wakil gubernur akan menggelar acara  dengan para tokoh agama. Sebelum menuju tempat acara di aula rumah jabatan, kami mencuri waktu bertemu kedua pasangan yang akur ini sekitar 15 menit.

Gubernur Frans Lebu Raya  terdiam sekitar dua menit setelah menyimak penjelasan saya soal keputusan PWI Pusat memilih NTT sebagai tuan rumah HPN 2011. Sambil menatap saya, dia berkata, "Kita harus siap. Kalau tidak sekarang kapan lagi. NTT pasti bisa." Jawaban singkat dan mantap. "Kita memang banyak keterbatasan, tetapi kalau terus berpikir soal keketerbatasan kita tidak akan pernah jadi tuan rumah event nasional. Saya setuju dengan Pak Gub. Kita pasti bisa jadi tuan rumah yang baik," kata Wagub Esthon Foenay. Plong sudah perasaan saya.

Baru sekitar 10 menit meninggalkan rumah jabatan gubernur malam itu di tengah hujan lebat, saya angkat ponsel. Memencet nomor Hendri Ch Bangun dan mengabarkan kepastian NTT siap jadi tuan rumah. "Wah, cepat sekali keputusannya. Oke Dion, ini tantangan sekaligus momentum emas bagi NTT mempromosikan dirinya di mata nasional," kata Hendri.

Tugas saya dan teman-teman Pengurus PWI Cabang NTT selanjutnya adalah bertemu dengan pimpinan DPRD NTT, Drs. Ibrahim Agustinus Medah. Justru yang terjadi di luar prediksi. Bahkan sebelum kami temui secara resmi Medah yang membaca statement gubernur di media soal HPN, langsung menggelar jumpa pers dan menegaskan bahwa DPRD NTT mendukung penuh Kupang menjadi tuan rumah HPN 2011. "Sejauh kegiatan itu untuk masyarakat NTT, Dewan sebagai representasi dari 4,6 juta penduduk NTT pasti  mendukung," kata Medah seperti diberitakan Harian Pos Kupang hari Rabu, 16 Juni 2010 halaman 6.

Pengurus PWI secara resmi bertemu dengan pimpinan DPRD NTT pada tanggal 13 Juli 2010 di gedung Dewan, Jl. El Tari Kupang. Pengurus PWI NTT antara lain, Zacky W Fagih, Indra Alvian, Tony Kleden, Laurens Molan dan Bernard Tokan diterima pimpinan DPRD NTT, Nelson Matara dan LS Foenay. Sama seperti sikap Medah, Matara dan LS Foenay pun menyatakan  mendukung suksesnya HPN.

"DPRD NTT pasti setuju soal pengalokasian anggaran asal tidak melanggar rambu-rambu. Kami bangga karena PWI NTT sudah berjuang menyelenggarakan kegiatan nasional di NTT. DPRD akan memberikan dukungan penuh agar pelaksanaan HPN di Kupang bisa berjalan lancar dan sukses," kata Nelson Matara.

Persetujuan pimpinan tertinggi eksekutif dan legislatif di NTT merupakan jaminan event ini bakal sukses. Sekarang tinggal urusan operasional. Pertanyaan berikut adalah siapakah sosok yang pantas menjadi  ketua dan sekretaris Panitia Pelaksana HPN 2011 tingkat lokal NTT? Panitia Pusat bukan masalah karena itu otomatis ditekel pengurus pusat. Sebagai mantan aktivis mahasiswa yang  sarat pengalaman berorganisasi, Gubernur Frans Lebu Raya  dan Wagub Esthon Foenay paham dan tahu betul siapa orang yang tepat.

Pada bulan Agustus 2010 terbitlah SK Gubernur NTT tentang komposisi kepanitian HPN Kupang 2011. Ketua Panitia Pelaksana Ir. Andre W Koreh, MT (Kepala Dinas PU)  dan Sekretaris Drs. Ary Moelyadi, MPd (Kepala Bidang Keolahragaan Dinas PPO NTT). Secara pribadi saya mengenal baik figur Andre dan Ary. Cukup lama kami bekerja sama dalam kapasitas sebagai pengurus KONI Provinsi NTT. Itulah yang menguatkan saya dan pengurus PWI bahwa hajatan besar ini bakal sukses.

Komposisi kepanitian HPN Kupang 2011 merupakan gabungan unsur birokasi, pers, aktivis sosial dan relawan. Saya sebagai ketua PWI Cabang adalah penanggungjawab bersama dengan Sekretaris Daerah. Gubernur, Wagub, Ketua DPRD NTT  serta Forum Pimpinan Daerah merupakan pelindung dan penasihat. Klop sudah! Tapi bukan tanpa soal. Melihat sosok birokrat dalam diri Andre Koreh dan Ary yang aktif dalam kepantian ada ada teman-temanku sesama wartawan yang menyindir dengan memplesetkan HPN sebagai "Hari Pejabat Nasional, Hari Pemerintah Nasional". Andre dan Ary pun diganggu dengan pertanyaan macam- macam via SMS, telepon atau tatap muka langsung.

Saya pun tidak luput dari sasaran tembak. Selain lewat SMS, telepon atau bicara tatap muka,  komentar- komentar di jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook sungguh membuat kuping sempat panas. HPN Kupang dilukiskan sebagai gawenya PWI saja yang hanya menghabiskan uang daerah. Ketika mereka membaca rencana agenda penyambutan Presiden SBY dengan menghadirkan murid SD dan SMP di Kupang berdiri berjejer di sisi jalan dengan memegang bendara Merah Putih mini, itu dilukiskan sebagai  gaya Orba (Orde Baru).

Dalam hati saya tertegun. Apakah semua yang berbau Orde Baru itu buruk? Tidak tiap hari seorang Presiden RI datang ke kampung Flobamora ini. Anak-anak itu akan lama mengenang dalam benaknya bahwa pada masa bocah mereka berjejer di pinggir jalan menyambut SBY, Presiden Republik Indonesia. Siapa tahu di antara mereka kelak akan menjabat presiden atau pemimpin negeri ini dalam bidang yang lain. Tapi sudahlah.  Ini era Reformasi  Bung! Bahkan presiden dan kepresidenan bukan lagi person dan institusi yang imun kritik.  Bukan lagi lembaga yang nihil dari hujatan dan makian.

Saya sungguh tidak kaget dengan sindiran itu. Saya dan teman-teman pengurus PWI Cabang NTT sadar sepenuhnya bahwa hajatan besar selevel HPN pasti penuh warna. Bahkan ada beberapa rekan wartawan yang beritahu akan bikin demonstrasi. Kalau tidak mempertanyakan segala sesuatu itu bukan wartawan namanya. Maka sindiran dan ancaman bukan alasan bagi saya untuk marah apalagi putus asa. Kuanggap semua itu sebagai dinamika lumrah. Malah diramu secara positif sebagai pelecut semangat menyiapkan diri sebagai tuan rumah HPN yang baik. Kami  pun salut pada Bung Andre dan Ary, dua orang yang sudah berpengalaman dalam berorganisasi sehingga mereka tetap fokus.

Malam-malam yang panjang serta hari kerja ekstra mulai menyertai panitia HPN sejak bulan Oktober 2010.  Praktis hampir setiap hari selalu berkoordinasi antarseksi dan setiap minggu rapat pleno lengkap. Rapat-rapat secara bergantian dipimpin Bung Andre, saya  atau Ary. Bahkan banyak kali langsung dipimpin Sekda NTT, Frans Salem di Aula Setda NTT, lantai II Kantor Gubernur. Setiap seksi pun menggelar rapat sendiri mempersiapkan segala sesuatunya.

Venue untuk  acara puncak HPN pada 9 Februari 2011 yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan topik yang hangat. Berdasarkan hasil survei  panitia pusat, hanya ada dua tempat yang representatif di Kupang yang bisa menampung 700 hingga 1.000 orang yaitu GOR Flobamora atau Aula El Tari.  Dilema muncul tatkala melihat wajah GOR Flobamora yang butuh dana besar untuk renovasi. Pilihan akhir jatuh pada Aula El Tari. Yang dibenahi hanya sistem akustiknya agar suara tidak berdengung lagi. Pembenahan akustik selesai tepat waktu. Aula El Tari dipercantik dan memang indah memanjakan mata.

Sejak awal Gubernur Frans Lebu Raya menekankan satu hal penting. Di tengah berbagai keterbatasan,  NTT harus menjadi tuan rumah yang baik dan memberi perbedaan dengan tuan rumah HPN tahun-tahun sebelumnya. Berikan sesuatu yang berkesan dan lama diingat 1.000-an tamu yang datang pada HPN 2011 di Kupang.  Panitia pun menerjemahkan pesan itu melalui beberapa hal cara yang spesial dan belum pernah ada pada HPN sebelumnya. Sebut misalnya, menyiapkan tenaga Liaison Officer (LO) yang akan mendampingi delegasi dari 33 provinsi, duta besar negara sahabat serta mitra pers nasional dari dalam dan luar negeri.

Bung Dr Johny Lumba dari UKAW Kupang dan Sipri Seko bersama timnya sukses merekrut 70 putra- putri NTT sebagai LO. Mereka smart dan jadi penghubung yang mengesankan. Ada mahasiswa, mahasiswi. Ada pula dosen dan karyawan. Mereka itu minimal bisa berbahasa Inggris. Bahkan ada yang cakap berbahasa Jerman dan Perancis. Panitia HPN Kupang juga menyiapkan mobil untuk setiap delegasi, sesuatu yang belum pernah ada pada penyelenggaraan HPN terdahulu. 


HPN Kupang akan lama dikenang peserta karena mereka disambut ramah sejak kedatangan di Bandara El Tari hingga  pulang dengan membawa sekian banyak souvenir khas NTT seperti patung Komodo, topi Ti'i Langga, selendang tenun ikat, Sasando dan lainnya. Di Bandara El Tari saat kedatangan semua bagasi milik degelasi dari 33 provinsi diurus panitia. Dua nama patut saya sebut yaitu Ferdy Amatae dan Hermensen Ballo yang sigap dan rapi mengurus semua bagasi tanpa komplain. Peserta HPN Kupang 2011 sungguh mendapat pelayanan istimewa.

Spirit Kebersamaan
Dana untuk HPN merupakan masalah krusial. Dalam banyak kesempatan berkomunikasi dengan pimpinan eksekutif dan legislatif kami selalu menggarisbawahi bahwa HPN Kupang jangan sampai menjadi beban bagi APBD Provinsi ataupun kabupaten dan kota di NTT. Mesti dicari cara yang bijaksana agar seluruh pembiayaan HPN bisa terkover dengan sumber bukan satu-satunya dari APBD.

Melalui diskusi, dialog dan debat yang tentu diwarnai beda pendapat akhirnya kami tiba pada satu kesimpulan yakni HPN Kupang 2011 bisa sukses jika putra-putri Flobamora menyatukan spirit kebersamaannya. Harus bakutopang dan bakubantu. Bahu-membahu. Beri kontribusi dari apa yang dimiliki. Gubernur Frans Lebu Raya dalam banyak kesempatan bertemu bupati, walikota, wakil rakyat NTT baik tingkat daerah serta pusat, pimpinan BUMD dan BUMN serta kalangan dunia usaha  memompakan spirit bakutopang itu.

Semangat "urunan" sungguh tercipta di HPN Kupang 2011. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Setya Novanto, misalnya menyumbangkan baju tenunan bermotif NTT untuk 500  tamu undangan HPN termasuk buat Presiden SBY, Ibu Negara Ani Yudhoyono serta para menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dan duta besar negara sahabat. Setya Novanto melibatkan perancang busana kondang Oscar Lawalata dan timnya.

Walikota Kupang kala itu Drs. Daniel Adoe menanggung jamuan makan malam untuk seluruh peserta pada tanggal 7 Februari 2011, Bupati Rote Ndao Lens Haning menyumbang 250 buah topi Ti'ilangga sebagai souvenir, Bupati Kupang Ayub Titu Eki memberikan miniatur Sasando  sebagai buah tangan, Bank NTT, Bank BNI serta pimpinan perbankan di Kupang pun urunan memberikan bantuan sesuai kemampuan. Juga patut disebut peran ibu-ibu Dekranasda.  Ketua Dekranasda NTT, Ny. Lusia Adinda Lebu Raya bersama para ketua Dekranasda kabupaten dan kota se-NTT menyumbangkan selendang tenun ikat yang dikalungkan di leher sekitar 1.000 tamu saat tiba di Bandara El Tari mulai tanggal 6, 7 dan 8 Februari 2011, serta aneka makanan ringan khas NTT yang ditempatkan dalam sebuah tas rajutan untuk peserta HPN.

Kalangan dunia usaha  pun tak mau ketinggalan. Mereka menyumbang baliho, spanduk dan lainnya yang membuat semarak Kota Kupang selama rangkaian kegiatan HPN tanggal 4-11 Februari 2011. Dari momentum HPN Kupang 2011,  ada satu  best practise yang bisa dipetik yakni indahnya kebersamaan. NTT yang terbatas ini bisa menjadi kekuatan maha dashyat manakala ada kebersamaan. Putra- putri NTT dari sononya sudah terlahir sebagai orang yang berbeda, berbeda asal- usul, beda partai politik dan lainnya,  tetapi untuk nama baik Nusa Tenggara Timur (NTT) mereka sehati sesuara. Sukses HPN Kupang 2011 membuktikan hal itu.

HPN Kupang meninggalkan sejumlah catatan historis. Itulah pertama kali dalam sejarah HPN seorang Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara menginap dan berdinas di lokasi tuan rumah HPN lebih dari dua hari. Presiden SBY bahkan pertama kali melewati jalan darat lebih dari 300 km dari Kupang sampai Atambua, Kabupaten Belu dan tidur semalam di barak TNI lalu kembali ke Kupang via Pelabuhan Atapupu dengan kapal perang.

Gara-gara Presiden SBY berkantor di Kupang selama tiga malam empat hari, dalam sekejap NTT menjadi pusat perhatian seluruh bangsa Indonesia. Wujud perhatian tersebut saya kira masih membekas dan akan terus berlanjut hingga hari-hari mendatang. Terakhir, pada tahun yang baru lewat tepatnya tanggal 18 Oktober 2012,  Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono lagi-lagi menikmati perjalanan darat dari Kota Labuan Bajo ke Ruteng PP saat menghadiri peringatan Yubelum 100 Tahun Gereja Katolik di Manggarai. Rasanya hanya di NTT Presiden RI sungguh menikmati perjalanan semacam itu.

Pening Kepala
Sebelum mengakhiri catatan ini, saya mau bercerita tentang suasana menjelang dan saat kedatangan tamu HPN Kupang tanggal 6, 7 dan 8 Februari 2011. Tak banyak yang tahu betapa peningnya kepala kami, khususnya panitia HPN  seksi akomodasi mengatur penginapan bagi para tamu yang datang hampir bersamaan dalam jumlah lebih dari 1.000 orang. Tamu dan undangan HPN Kupang sungguh di luar prediksi awal lantaran Presiden SBY menginap selama tiga malam. Jumlah menteri yang datang ke Kupang kala itu sebanyak 24 orang atau lebih dari separuh anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Kedatangan pejabat negara serta tamu VIP, VVIP dan tokoh pers nasional dari 33 provinsi bukan sesuatu yang mudah.

Lain ceritanya bila Kupang memiliki akomodasi perhotelan yang memadai. Nah, kita semua maklum bahwa hotel di Kupang selain jumlahnya sudah  terbatas, standar hotel berbintang pun bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Saya melihat sendiri betapa Ketua Panitia HPN, Bung Andre Koreh terlibat diskusi alot (untuk tidak melukiskannya sebagai bersitegang)  dengan staf protokoler Istana juga komandan Paspampres saat mengatur penempatan para tamu VIP dan VVIP. Rata- rata hanya mau  memilih Hotel Kristal atau minimal Hotel Sasando, sementara kapasitas kedua hotel itu tidak sanggup menampung semuanya. Tentu harus ada yang mengalah dan hal tersebut butuh penjelasan yang santun sehingga mereka bisa memahami keterbatasan Kupang sebagai tuan rumah.

Alhamdulilah. Cara panitia memberi penjelasan dapat dimaklumi para tamu meskipun gerutuan dan sindiran-sindiran kecil tak bisa dipungkiri. Tak apalah. Ini konsekwensi dari kesiapan Kupang menjadi host event akbar. Keterbatasan akomodasi perhotelan di Kupang merupakan fakta tak terbantahkan.

Pada tanggal 7 Februari 2011 kira-kira pukul 21.24 Wita, seorang LO menemui saya di Sekretariat Panitia HPN di Gedung KONI NTT, Stadion Oepoi Kupang. Dia baru saja mendampingi seorang duta besar dari negara Asia Selatan ke salah satu hotel di Kupang. "Saya sempat risih dan malu, Om. Beliau nginap di kamar hotel yang sangat sederhana untuk standar seorang duta besar. Tapi setelah mendengar penjelasan saya,  syukurlah beliau mengerti bahwa Kupang adalah daerah Indonesia Timur yang dalam banyak hal masih berkekurangan," kata LO itu, mahasiswi dari Undana Kupang. Saya salut. Dia telah menjadi duta NTT yang smart.

Praktis hanya empat bulan setelah peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kupang tanggal 9 Februari 2011, saya bertugas di luar Kota Kupang. Memang saya masih bolak-balik ke Kupang saban bulan, namun perkembangan kota ini tidak bisa saya ikuti setiap saat. Setidaknya saya kini menjadi semacam outsider,  melihat Kupang (NTT) dari luar. Cara memandang semacam itu jauh lebih elok untuk menemukan perbedaan, perkembangan dan perubahan wajah Kupang, kota yang dalam banyak sisi menjadi barometer bangunan Flobamora.

Dalam dua tahun terakhir, harus diakui wajah Kupang telah banyak berubah. Sudah ada hotel berbintang yang baru dibangun. Bahkan beberapa saat ke depan akan hadir lagi hotel berbintang dari grup ternama di Indonesia. Pusat-pusat perbelanjaan baru pun tumbuh pesat.


Sebagai orang yang kerap bepergian karena tugas, indikator yang saya pakai simpel saja. Setiap kali menumpang pesawat baik dari Surabaya, Bali atau Jakarta tujuan Kupang, semakin banyak saja muka baru alias orang yang saya tak kenal. Artinya apa? Itu menandakan betapa tingginya mobilitas manusia dari dan ke Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Tingginya mobilitas manusia dan barang mencerminkan bisnis tumbuh. Perputaran uang tidak lagi berjalan di tempat.  Kupang atau NTT umumnya  sebagai tujuan investasi bukan lagi isapan jempol.

Tanggal 29 Desember 2012 atau sepekan setelah PWI NTT menggelar Konferensi Cabang di Hotel Sylvia Kupang,  saya bersama pengurus harian PWI Cabang NTT periode 2012-2017 beraudiensi dengan Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya. Dalam pertemuan itu Gubernur Frans Lebu Raya menyampaikan tentang beberapa event berskala nasional yang akan berlangsung di Kota Kupang dalam tahun 2013. Dia menyebut di antaranya Kupang dipercaya sebagai tuan rumah Kongres Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta  Sail Komodo 2013. Jumlah peserta, tamu serta undangan untuk event sekelas itu kurang lebih 1.000 orang. "Soal hotel bukan masalah lagi di Kupang," kata Lebu Raya sambil terkekeh.

Ya,  Kupang 2013 sudah banyak berubah wajah dan profilnya. Tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini, namun kekurangan itu selalu mungkin untuk disempurnakan terus-menerus.

Sampai catatan ini saya buat menjelang peringatan HPN 2013 di Manado, kolegaku para ketua PWI Cabang dari berbagai daerah di Indonesia serta rekan-rekan wartawan masih saja menyampaikan kesan manis tentang HPN Kupang 2011. Tentu saja bukan kesan itu yang utama dan terus dibangga-banggakan sekadar romantisme nostalgik.

Dengan menulis kenangan ini saya secara pribadi dan dalam kapasitasku sebagai ketua PWI Cabang NTT tidak sedang mengklaim bahwa perubahan wajah Kota Kupang  itu semata karena sukses HPN 2011. Kami cukup tahu diri untuk  tak patut mengklaimnya. Tapi secuil kenangan indah telah tertorehkan. HPN Kupang 2011 membuka mata hati banyak orang di daerah ini bahwa kalau ada kemauan, pasti ada jalan.

Keyakinan bahwa NTT Pasti Bisa itu bukan sesuatu yang mustahil.  NTT tidak boleh lagi terus merasa inferior, minder, tidak percaya diri. Kita tidak pernah meminta dilahirkan sebagai anak NTT. Karena itu menjadi anak NTT adalah anugerah. Dan,  anugerah datang cuma-cuma dan indah bukan? Jadi, untuk apa kita minder sebagai anak bangsa Indonesia kelahiran bumi Flobamora? *

Kairagi-Manado, 1 Februari 2013. Artikel ini dibukuan dan diterbitkan Biro Humas Pemrov NTT berjudul: Beri Kami Harga Diri, 2013.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes