Uskup Paul Budi Kleden dan RD Vincent Budi Bata di Ndona 10 Ags 2004 |
Oleh Wilfrid Babun SVD
Birawawan Katolik
Ada yang kirim reels. Superior general Societas Verbi Divini, SVD bertemu Paus Fransiskus. Pater Budi Kleden SVD mengenakan kalung di leher Pemimpin tertinggi Gereja Katolik seluruh dunia.
Tertangkap kamera, Paus tersenyum. Bukan itu saja. Paus kelihatan sekali tertawa lepas. Budi juga demikian.
Bukankah kita, homo symbolicum? Kita yang selalu berusaha menangkap signal dari setiap perjumpaan,yang tersirat dari yang tersurat. Apa maknanya?
Ingatan dan refleksi saya sangat datar saja. Tetapi bagi media, itu news. Yang satu seorang Paus, dan satu lagi seorang superior general. Jabat tangan, senyum tawa saat audiensi di Roma.
Keterpilihan Budi mengingatkan kita ungkapan klasik ini: Roma locuta finita est.
Ketika surat sakti pengangkatan sebagai Gembala Keuskupan Agung Ende oleh Tahta suci Roma,25 Mei 2024, Budi seakan tidak bisa buat apa-apa.
Bahasa foto menangkap kasat mata, Budi malah menundukkan kepala. Anda dan dan saya bisa lihat di media online tentang itu.
Dia meletakkan tangan di dadanya. Satu gesture dalam tradisi liturgi katolik, "menebah dada". Siapakah aku ini. Siapakah seorang Budi.
Dalam catatan internal Serikat Sabda Allah, Budi adalah orang kedua dari Asia yang terpilih sebagai Superior General SVD sejagat. Dan Budi adalah imam pertama SVD dari Indonesia menjadi orang nomor satu sebagai superior general SVD di Roma.
Panggilan dan perutusan Gereja, mengharuskan Budi ayunkan langkah dari Roma. Roma dengan segala nuansanya. Budi pun ke Ndona.
Ndona
Ndona, itu di pinggir(an) kota Ende. Sebelum sampai Ndona, ada satu sungai, Wolowona. Wolo itu bukit, pegunungan. Sedangkan, Wona?
Sebelum sampai Ndona,harus lewat Wolowona. Siapa saja. Termasuk Mgr. Budi.
Bisa jadi, ini juga satu ilustrasi. Dan mungkin juga bukan kebetulan.
Roma itu wah, Ndona itu sebaliknya. Mungkin, aduh.
Satu imajinasi padang penggembalan Uskup Budi. Bukan wah, tetapi ah, aduh. Gembala itu sangat dekat dinamika padang pasir, padang gurun dengan berbagai konotasi denotasinya. Gembala itu bukan di istana.
Identitas gembala itulah padang. Di padang, ada di padang, selalu di padang dan di tengah padang.Tetap di sawah, ladang, terlibat bersama keringat manusia. Figur Gembala beraroma keumatan.
"Duka dan kecemasan manusia zaman ini adalah duka dan kecemasan murid-murid Kristus" (LG.1).
Bukankah Uskup Budi banyak kali disemat julukan,teolog terlibat saat ini?
Budi sejak dulu menghidupi dengan sangat kuat, konsisten, kaul-kaul hidup membiara. Spiritualitas hidup membiara sudah merasukinya.
Satu kata bisa menggambarkan ini: sederhana.
Budi sudah selesai dengan dirinya.
Maka sangat elok, beliau sampaikan,
"Saya datang dengan hati dan segenap badan".
Ada satu konklusi yang memastikan bahwa Budi menjadi uskup dengan total. Budi untuk semua. Budi diutus untuk semua, tanpa ada kategori tetek bengek.
Dalam satu podcast Mgr Budi tegas mengatakan,
"Keuskupan Agung Ende adalah kita.
Kita adalah Keuskupan Agung Ende".
Umat KAE dibingkai dalam wajah nun indah. Kasih dan Persaudaraan itulah yang melampaui semuanya dan segalanya. Peliharalah Kasih Persaudaraan adalah motto episkopal Mgr.Budi.
Ndona itu bisa saja bagi beberapa orang terasa jauh: itu di mana. Mungkin juga sunyi. Simbol kesunyian. Nyepi.
Dan kita tahu, Budi sangat mengakrabi atmosfere silentium ini. Justru dari suasana hening-kudus-suci itu,banyak karya monumental terjadi.
Maka, adakah sesuatu yang indah- spektaluler dari Ndona? Ada!
Dalam satu kotbah misa kudus, Mgr.Budi membaca puisi ini:Surat dari Ibu.
Kita kutip penggalannya.
"...Kembalilah pulang anakku sayang, kembali ke balik malam"
Kembalilah pulang anakku Budi, kembalilah dari Roma ke Ndona. (*)
Sumber: Pos Kupang