Dua kata melukiskan progres penanganan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT yaitu lambat dan labil. Lambat artinya perlahan-lahan jalannya, tidak cepat, tidak tepat pada waktunya.
Labil berarti goyah, tidak mantap alias tidak kokoh. Pun bermakna tidak tenang, mudah berubah-ubah, naik turun, tidak stabil, cenderung berubah atau tidak seimbang.
Diksi lambat dan labil tersebut tercermin dari hasil Survei Kesehatan Indonesia. Mari kita simak bersama. Pada tahun 2018, angka stunting di NTT berada di 42,6 persen.
Angka tersebut turun menjadi 35,5 persen pada tahun 2022, tetapi naik lagi menjadi 37,9 persen pada 2023.
Prevalensi 37,9 persen artinya, 4 dari 10 anak balita di NTT dalam kondisi stunting. NTT menempati posisi tertinggi kedua secara nasional setelah Papua. Posisi kita semakin buruk.
Jika melihat berdasarkan kabupaten/kota, prevalensi tertinggi ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yakni 50,1 persen.
Tampak nyata progres penanganan stunting di provinsi kepulauan ini berjalan lambat. Penurunan tidak signifikan. Masih jauh dari harapan. Setelah turun tiba-tiba angkanya mendadak naik lagi.
Sebagaimana diwartakan harian ini, dalam Rapat Kerja Kesehatan Daerah NTT di Kupang 25 Juni 2024 dibahas aneka strategi untuk menurunkan prevalensi stunting di NTT.
Pada akhir 2025, pemerintah NTT targetkan prevalensi turun jadi 33,1 persen. Sebagai perbandingan target angka nasional 14 persen.
Kepala Dinas Kesehatan NTT Iien Adriany menyebut sejumlah langkah yang diawali dengan pencegahan. Targetnya remaja putri yang merupakan calon ibu. Mereka perlu jalani pemeriksaan anemia atau hemoglobin. Langkah lain yaitu mencegah perkawinan usia dini atau berisiko.
Menurut pandangan kita, langkah tersebut bukan barang baru. Sudah berulangkali dipercakapkan dan dicanangkan. Persoalannya ada di tahap implementasi yang cukup sering tidak sesuai rencana.
Lambat dan labilnya penangangan stunting di NTT menunjukkan bahwa semua pihak yang terlibat belum bekerja sungguh-sungguh termasuk pemerintah sebagai penggerak utama.
Penangangan stunting belum menjadi gerakan bersama. Fokusnya masih sektoral dan parsial. Stunting di NTT bahkan dianggap sebagai urusan nomor kesekian, kecuali kalau mungkin terkena langsung pada anak sendiri atau keluarga terdekat.
Demi mencapai target prevalensi stunting di NTT pada akhir 2025 di angka 33,1 persen, tentu memerlukan kerja luar biasa. Kerja ekstra keras. Kalau normal saja sebagaimana terjadi selama ini maka kita bisa prediksi hasil akhirnya seperti apa.
Kondisi stunting NTT kiranya membuka mata Indonesia, jangan melihat segala sesuatu hanya dari kacamata Jakarta.
Kalau lihat dari ibu kota, seolah-olah bangsa ini maju pesat. Faktanya NTT miskin melarat. Bakal kehilangan generasi berkualitas.
Kita juga tak boleh bosan mengingatkan pemerintah agar jangan berlaku tiran. Tiran artinya aparatur pemerintah hanya berpikir menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya. (*)
Sumber: Pos Kupang