Niko Frans |
Oleh Dion DB Putra
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia alias GMNI yang kini mekar berbiak indah di persada Flobamora patut berterima kasih kepada duet ini. Duet Dua Frans.
Frans Lebu Raya dan Niko Frans. Pasangan Adonara-Nita. Frans Lebu Raya terlahir sebagai anak Adonara, Kabupaten Flores Timur. Niko Frans lahir di Nita, Kabupaten Sikka. Nita adalah tempat bermukim dua seminari tinggi terkemuka dunia, Ledalero dan Ritapiret.
Saya bersyukur menjadi akivis mahasiswa pada periode yang hampir sama dengan duet Dua Frans, meski mereka berdua lebih senior dari sisi usia.
Sebagai aktivis, duet Dua Frans sangat aktif pada periode 1989-1996. Mereka merintis dan memimpin organisasi GMNI yang kemudian berjaya sampai hari ini.
Pada periode yang sama (1989-1993) saya bergumul diri di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius.
Saya sempat mendapat kepercayaan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PMKRI Kupang periode 1992-1993.
Ketua PMKRI Kupang periode ini adalah abang Aloysius Min. Terakhir sebelum purnabakti dari ASN, dia menjabat Sekretaris Dinas Dikbud Provinsi NTT.
Sebagai sesama aktivis mahasiswa hubungan kami sangat dekat dengan duet Dua Frans. Makin lengket lantaran sekretariat kami hanya berjarak kurang dari 50 meter.
Pada masa itu GMNI Kupang mengontrak rumah di Jalan Anggur yang mereka jadikan sekretariat. Lokasinya dekat sekali dengan margasiswa PMKRI di Jalan Soeharto No.20 Kupang. Jadi, hampir saban hari kami bersama, bercengkerama atau berdiskusi aneka soal.
Urusan makan minum bersama dalam kondisi apa adanya ala mahasiswa pun sangat kerap. Cukup sering kami makan nasi kosong (istilah Kupang yang artinya nasi tanpa lauk) atau hanya mie instan.
Di rumah kontrakan itu, saya melihat dan ikut merasakan perjuangan berat duet Dua Frans merajut organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kupang yang baru tumbuh.
Kala itu belum banyak orang di NTT yang mengenal GMNI termasuk di kalangan mahasiswa. Jauh berbeda dengan PMKRI yang kehadirannya sudah puluhan tahun di beranda Flobamora.
Frans Lebu Raya dan Niko Frans bersama pengurus dan anggota GMNI kala itu sangat gigih memperkenalkan organisasi mahasiswa ekstrakampus yang terkenal dengan motto pejuang pemikir dan pemikir pejuang ini.
Frans Lebu Raya merupakan aktivis PMKRI Kupang sebelum merintis pendirian GMNI. Sepengetahuan saya, tahun 1989 Frans Lebu Raya bertemu pengurus GMNI di Jakarta di sela kegiatannya sebagai mahasiswa teladan utusan Universitas Nusa Cendana (Undana).
Frans mendapatkan mandat dan persetujuan untuk merintis organisasi ini. Maka terbentuklah caretaker Dewan Pimpinan Cabang (DPC) GMNI Cabang Kupang di penghujung tahun 1989 dengan ketua Frans Lebu Raya dan sekretaris Yohanes Kosat .
Setahun kemudian terbentuk pengurus definitif hasil konferensi cabang yang pertama di Kupang. Frans Lebu Raya menjadi ketua dan Niko Frans menjabat sekretaris DPC GMNI Cabang Kupang periode 1990-1993.
Duet ini menjalani periode perintisan. Sebagai organisasi baru, fokus kerja mereka adalah sosialisasi organisasi serta pendidikan kader mulai dari level dasar, madya dan selanjutnya.
Mereka sungguh pejuang pemikir dan pemikir pejuang di masa sulit. GMNI tak elok melupakan ini.
Tahun 1993 Frans Lebu Raya melepas jabatannya sebagai ketua DPC demi kaderisasi. Dalam forum konferensi cabang II, Nikolaus Fransiskus alias Niko Frans terpilih sebagai ketua cabang. Anak Nita ini berduet dengan putra Kedang Lembata, Viktus Murin sebagai sekretaris GMNI Kupang.
Saya dan Viktus Murin kala itu sama-sama sudah bekerja sebagai wartawan Harian Pos Kupang yang terbit sejak 1 Desember 1992.
Itulah sebabnya kami hampir selalu bersama setiap hari. Pulang kerja malam dari kantor atau dari lapangan, tempat kami berkumpul, kalau bukan di sekretariat PMKRI, ya di tetangga sebelah, markas GMNI.
Pada masa kepemimpinan duet Niko Frans-Viktus Murin, GMNI Cabang Kupang semakin berkembang. Jumlah anggota meningkat pesat. GMNI Kupang mulai diperhitungkan di tingkat regional Nusra bahkan nasional.
Sohib saya Viktus Murin terpilih sebagai pengurus pusat GMNI yaitu Sekjen Presidium GMNI periode 1999-2002.
Duet Niko-Viktus membentuk kader GMNI yang tangguh. Penerus mereka sebagai pengurus GMNI Kupang kalau tidak salah duet Yos Dasi Djawa dan Emanuel Kolfidus (1996-1999).
Sejak itu GMNI makin berkembang di NTT dan melahirkan kader andalan, sebut misalnya Raymundus Fernandes, bupati Timor Tengah Utara 2010-2015, dan 2016-2021.
Sapaan Lawo
Kembali ke duet Duo Frans, saya punya sapaan kesayangan. Kalau Frans Lebu Raya, saya bisa menyapa kaka atau sesekali abang. Beda dengan Niko Frans. Sapaan kesayangan kami berdua adalah lawo. Dia panggil saya lawo, demikian pula sebaliknya.
Mengapa lawo? Lawo adalah Bahasa Lio (Flores) yang artinya kain tenun. Lawo biasa dikenakan kaum perempuan, gadis atau ibu-ibu. Pasangannya lawo lambu (lambu = semacam baju bodo).
Diksi "lawo" mengemuka ketika Niko Frans jatuh cinta. Saya dan Viktus Murin mengenal Niko Frans sebagai tipe pria serius, tidak lincah pacaran. Hari-hari sukanya omong soal politik. Bahas masalah bangsa dan negara.
Dia sangat senang membully saya dan Viktus kalau kami berdua mulai omong mengenai perempuan di kampus atau di organisasi yang kami incar menjadi kekasih hati.
"Kamu dua ini tiada hari tanpa omong perempuan. Omong tinggi sampai mulut berbusa-busa tidak ada hasilnya," begitu antara lain komentarnya. Pedis!
Nah, saat dia jatuh hati pada seorang gadis dari Lio, anggota GMNI Cabang Kupang juga kala itu, giliran saya balas menyentil, "Aih ternyata lagi pendekatan dengan lawo. Baiklah calon eja (ipar), saya dukung seratus persen."
Dia mengulum senyum sambil sedikit berbisik mengeluarkan kata tiga huruf buat saya. Niko Frans yang lazim bersuara lantang, sontak memerah wajahnya. Malu-malu dia.
Sejak itulah diksi lawo menjadi sapaan kesayangan kami. Reu Viktus pun kadang menyapa abangnya Niko Frans dengan lawo. Singkat cerita Niko Frans akhirnya menikah dengan gadis Lio yang dikasihinya, saudariku Maria M Tensi.
Hemat saya, duet Dua Frans seolah ditakdirkan sebagai perintis. Tidak hanya di tubuh GMNI sebagai organisasi yang membentuk kader pemimpin bangsa.
Duet ini pula yang kira-kira satu dekade kemudian bersama tokoh NTT lainnya ikut merintis dan membesarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri di Nusa Tenggara Timur.
Frans Lebu Raya adalah Ketua DPD PDIP Nusa Tenggara Timur setelah Anton Haba. Frans terpilih dalam konferensi daerah di Kota Ende.
Saya hadir sebagai wartawan Pos Kupang yang meliput kegiatan ini. Setelah terpilih dalam forum yang cukup menegangkan, Frans Lebu Raya baru dilantik sekitar pukul 02.30 dinihari Wita di Gedung Baranuri Ende. Hanya segelintir orang hadir saat itu termasuk Niko Frans.
Sejarah lalu mencatat Frans Lebu Raya terpilih menjadi wakil gubernur NTT (2003-2008) dan Gubernur NTT periode 2008-2018. Niko Frans menjabat anggota DPRD Kota Kupang dan pengurus inti partai banteng tersebut. Dia pernah dua kali dicalonkan sebagai wakil wali kota Kupang. Garis tangan belum membawanya ke kursi kepala daerah.
Duet Duo Frans merupakan tokoh nasionalis yang konsisten pada garis perjuangan pro rakyat. Berintegritas tinggi. Aktivis sejati sejak mahasiswa yang teguh berjuang bagi marhaen.
Ketika bangun pagi, Senin 3 Juni 2024, datang kabar yang tak ingin saya dengar. Niko Frans, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Kupang berpulang pada 3 Juni 2024 kira-kira pukul 01.30 WIB di Rumah Sakit Islam, Jakarta.
Oh Tuhan. Mengapa begitu lekas? Terakhir dia colek saya lewat komentar di Facebook. Agak lama memang kami tak bersua muka karena saya tugas di luar NTT.
Nusa Tenggara Timur kehilangan seorang tokoh lagi. Perasaan saya dan tuan puan yang mengenal Duo Frans hari ini kiranya mirip tiga tahun silam ketika abang Frans Lebu Raya berpulang pada 19 Desember 2021 di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. dr. I.G.N.G Ngoerah, Denpasar Bali.
Selamat jalan, Lawo. Bahagia kekal di sisiNya.
Tuhan meneguhkan Weta Tensi, anak Aldo dan seluruh rumpun keluarga yang ditinggalkan (*)
Sumber: Pos Kupang