Lebaran Telah Tiba

TAK terasa puasa selama sebulan penuh segera berakhir. Tibalah sudah Idul Fitri, hari yang fitri atau secara harafiah berarti hari yang suci. Menyambut momentum yang indah ini kita mengucapkan selamat kepada umat Muslim di mana saja Anda berada teristimewa pembaca setia harian ini. Selamat Lebaran. Mohon maaf lahir dan batin.

Di negeri ini, Idul Fitri merupakan perayaan yang unik. Hari raya Idul Fitri atau lebih populer dengan istilah lebaran bukan hanya perayaan umat Muslim semata. Hampir seluruh elemen bangsa merayakannya dalam cara yang khas. Sudah seharusnya demikian mengingat spirit Lebaran sesungguhnya merajut kembali persaudaraan dan solidaritas sosial. Jika selama bulan Ramadhan kita menyaksiksan banyak pihak menyelenggarakan acara buka puasa bersama, maka acara tersebut terkandung maksud mulia yakni mempererat tali silaturahmi, merekatkuatkan persahabatan.

Selama bulan puasa kita juga melihat solidaritas sosial yang kental dalam berbagai rupa. Orang menjadi lebih mudah tergugah untuk memperhatikan sesama yang kurang beruntung. Misalnya lewat sumbangan materi bagi kaum fakir miskin. Bagi kalangan dunia usaha, bulan Ramadhan mereka jadikan moment untuk memperlihatkan tanggung jawab sosialnya. Perusahaan tidak semata mengejar profit, tetapi memberi sumbangan nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Bazar murah yang digelar selama bulan Ramadhan hendaknya dimengerti dalam konteks itu.

Makna Lebaran, dengan demikian, tidak hanya berdimensi religius tapi juga berdimensi ekonomi dan sosial budaya. Sebagai bangsa yang majemuk sudah sepatutnya kita mensyukuri tradisi tersebut. Bahwa melalui bulan Ramadhan semangat kebhinekaan terjaga. Lewat kehadiran bulan puasa setiap tahun semangat persatuan dan kesatuan kita sebagai anak bangsa Indonesia kembali disegarkan.

Keunikan lainnya dalam perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah tradisi mudik. Sejak pekan lalu kita melihat jutaan orang pulang ke kampung halamannya untuk sejenak bertemu dengan orang tua, sanak keluarga dan handai taulan. Ini merupakan tradisi masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Tradisi yang telah menjadi identitas Indonesia setiap Lebaran tiba.

Setelah setahun sibuk mencari nafkah untuk kehidupan masing-masing di tempat yang berbeda bahkan berjauhan, mudik Lebaran merupakan kesempatkan untuk bersua kembali dengan keluarga, dengan orang-orang yang dicintai. Mudik lalu menjelma sebagai jembatan sosial yang menihilkan batas ruang sosial antara kota dan desa, antara si kaya dan si miskin. Maka mudik atau pulang kampung niscaya menebarkan energi positif yang menjadi modal untuk menata kehidupan selanjutnya.

Dampak ekonomi dari tradisi mudik sangat dashyat. Yang paling nyata adalah melonjaknya permintaan akan jasa transportasi. Hampir semua perusahaan transportasi harus menambah jumlah armada mulai dari perusahaan bus, kereta api, kapal laut dan pesawat terbang. Harga tiket pun melonjak drastis karena tingginya permintaan. Artinya, Lebaran juga membawa rejeki. Uang ratusan miliar berputar pada waktu bersamaan. Belum lagi jika ditambah dengan kebutuhan lain seperti baju baru, bensin, solar, makanan dan minuman, pulsa HP dan lainnya.

Beberapa tahun belakangan ini dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang cuti bersama, Lebaran menjadi masa libur panjang bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu hampir sepekan. Kesempatan itu dimanfaatkan keluarga untuk kumpul atau melakukan perjalanan wisata bersama. Masyarakat Indonesia meninggalkan rutinitas pekerjaannya. Inilah waktu untuk bersantai sejenak. Waktu yang tepat untuk sedikit mengendurkan keletihan. Ada saat bekerja, ada waktu untuk berlibur. Sekali lagi kita mengucapkan selamat merayakan Idul Fitri. Selamat berlibur. Semoga Lebaran 2011 membangkitkan semangat hidup baru. *

Pos Kupang, 29 Agustus 2011 hal 4

Bangun Sarana Transportasi Setengah Hati

ilustrasi saja
KALAU Anda iseng mau merasakan kondisi jalan berlubang, tidak perlu jauh-jauh bepergian dari pusat Kota Kupang sebagai barometer pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pergilah sebentar ke pinggiran ibukota Propinsi NTT tersebut.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan kondisi jalan dengan rupa buruk. Kalau ingin melanjutkan penelusuran, jalan-jalanlah ke pelosok wilayah Amarasi, Kupang Tengah atau Kupang Barat. Sebaiknya siap fisik dan mental untuk menikmati jalan berlubang yang membuat kendaraan Anda bergoyang-goyang.

Petualangan akan lebih asyik jika kita ke bumi Lembata yang hari ini, 27 Juli 2011 menggelar pesta pemilu kada putaran final untuk memilih bupati dan wakil bupati periode 2011-2016. Masih di dalam Kota Lewoleba saja pemandangan jalan buruk segera menyambut kedatangan kita.

Masuk lebih jauh ke pedalaman Lembata, suasana makin memilukan dan menyayat hari. Jarak 60 kilometer bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga sampai empat jam dengan syarat kondisi kendaraan bagus. Jika mesin kendaraan sudah mulai batuk-batuk maka waktu tempuh akan lebih lama lagi. Sepuluh tahun usia otonomi Lembata yang disebut kemajuan itu sulit ditemukan buktinya.

Begitulah sekilas gambaran tentang bagaimana Nusa Tenggara Timur memposisikan pembangunan sarana transportasi untuk meretas isolasi sekaligus menggairahkan perekonomian masyarakat. Pembangunan sarana transportasi tidak bermutu terjadi di hampir seluruh wilayah propinsi ini. Bukan cuma di Kabupaten Kupang atau Lembata. Hampir saban hari masyarakat merintih dan mengeluh tentang jalan buruk. Hampir setiap waktu selalu terdengar ratapan tentang ongkos transportasi yang mahal atau kesulitan petani memasarkan hasil komoditi mereka karena kendala transportasi.

Keluhan masyarakat itu seolah angin lalu. Sangat jarang terlihat aksi konkret pemerintah dan mitranya di lembaga DPRD memberikan respons yang memadai. Pengawasan wakil rakyat terhadap pembagunan sarana jalan sangat lemah. DPRD lazimnya hanya bereaksi sesaat jika ada pengaduan atau laporan dari masyarakat. Tindak lanjutnya kerapkali mengambang. Dugaan penyimpangan atau penyelewenangan dalam pembangunan sarana transportasi menguap begitu saja.
Penegakan hukum masih jauh dari harapan. Wakil rakyat di Nusa Tenggara Timur belum sungguh-sungguh memainkan peranannya sebagai mata dan telinga masyarakat. Janji pasangan bupati-wakil bupati pada saat pemilu kada untuk memprioritaskan pembangunan sarana transportasi sekadar pernak-pernik kampanye untuk meraih dukungan suara. Setelah meraih kekuasaan mereka lebih sering bepergian ke mana-mana bahkan sampai ke manca negara ketimbang masuk keluar kampung memberi solusi bagi masyarakat.

Itu cerita tentang sarana transportasi darat. Pembangunan sarana transportasi laut pun setali tiga uang. Sebagai Propinsi Kepulauan, Nusa Tenggara Timur idealnya telah memiliki sistem transportasi laut yang sungguh memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat. Kenyataannya tidak demikian. Sistem transportasi laut di wilayah ini masih dibangun secara parsial dan tambal-sulam.
Sebagai contoh, mari kita cermati wilayah utara Pulau Flores dan selatan Pulau Timor. Selama puluhan tahun, wilayah yang kaya dengan hasil pertanian, perkebunan dan kelautan tersebut terabaikan. Sama sekali tak tersentuh sistem transportasi laut yang baik. Di utara Flores, misalnya, Pelabuhan Marapokot di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Pelabuhan Reo di Kabupaten Manggarai dan Pelabuhan Lorens Say di Sikka seolah terpisah satu sama lain.
Ketiga pelabuhan itu tidak dilayani kapal secara rutin yang mampu mendorong tumbuhnya perekonomian antardaerah. Sudah berulangkali dianjurkan agar pemerintah membuka matanya ke utara, memberi perhatian secara maksimal ke sana namun anjuran itu seperti suara orang di padang. Tidak didengar dan direspons dengan kebijakan konkret yaitu menyiapkan sarana angkutan kapal yang murah dan nyaman bagi masyarakat.

Wilayah selatan Pulau Timor kondisinya lebih parah lagi. Sejauh ini hampir tidak ada pelabuhan yang layak di pesisir selatan. Dengan transportasi darat yang buruk bahkan sebagian besar wilayah selatan Timor masih terisolir, kekayaan alam di kawasan tersebut sekadar menjadi data potensi yang tidak memberi dampak langsung kepada masyarakat.


Di tengah gencarnya Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur memperjuangkan pengakuan formal negara ini terhadap NTT sebagai propinsi kepulauan, perjuangan itu mestinya didukung dengan keseriusan menyiapkan master plan pembangunan sarana transportasi yang baik. Pengakuan sebagai propinsi kepulauan yang tentu akn diikuti dengan dukungan dana lumayan besar dari pemerintah pusat tidak akan bermanfaat apa-apa bagi masyarakat Flobamora manakala sistem transportasi dibangun dengan semangat tambal sulam seperti sekarang. *

Pos Kupang, 27 Juli 2011 hal 4

Epen

“Nona e….bobo siang sudah ka. Kalau nona tidak bobo, malam nanti kau tidak bisa belajar karena mengantuk!” kata seorang bapak kepada putrinya yang tahun ini kelas VI SD. “Epen!” jawab sang putri berambut keriwil itu sambil berlari menuju lapangan di samping rumah.

Di sana sudah menunggu teman sebayanya dengan sepeda masing-masing. Usai makan siang gadis kecil itu memilih mengayuh sepeda bersama rekan-rekannya ketimbang bobo siang seperti anjuran sang ayah.

Epen! Emang penting? Bahasa “gaul” generasi anak dan remaja 2011. Apakah bobo siang memang penting, begitu yang dikatakan sang anak kepada ayahnya. Anak zaman ini memang kadang bikin kesal orangtua. Kalau dulu zaman saya kecil kena rotan di pantat, sapu lidi di betis atau berlutut sambil pegang telinga itu biasa. Sekarang jangan coba-coba, bro. Kalau tuan berani pakai rotan, si kecil sontak berkata, “Bapa e…ini KDRT!” Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bibir terkunci. Mati kutu! Ha-ha-ha… Jadi pendekatan, bimbingan atau pembinaan terhadap anak zaman ini sudah berbeda sama sekali.

Epen? Emang penting rupanya bukan hanya sikap spontan para bocah. Epen justru dipraktikkan dengan telanjang oleh para orangtua yang sudah berkumis bahkan beruban. Di Kota Kupang barusan terjadi lagi duel seru di gedung wakil rakyat yang terhormat. Kehabisan kata-kata saat berdebat memperebutkan kursi ketua DPRD, mereka mau bakuhabok saja. Adu otot. Apakah tidak merasa malu? Mereka pasti menjawab, “Epen!”

Di Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU), elite politik sibuk memperebutkan kursi bupati-wakil bupati. Tiada hari tanpa demo. Tiada hari tanpa menghujat dan memaki-maki. Sementara krisis pangan dan air mendera ratusan ribu jiwa penduduk. Korban gizi buruk terus berjatuhan. Epen! Demikianlah yang ada dalam otak dan hati mereka.

Para pemimpin daerah di Flores pun mengucapkan “epen” dengan lantang kendati anjing rabies terus menggila dan merenggut nyawa manusia setiap saat. Bupati dan DPRD di Flores sudah gonta-ganti sejak rabies mewabah medio 1990-an, namun prahara anjing gila tidak pernah tuntas bahkan semakin menjadi-jadi. Tentu soalnya bukan karena otak mereka bodoh. Mereka umumnya pintar dan ahli. Termasuk ahli mencuri… Mau bukti? Tengoklah bui, ada beberapa mantan petinggi daerah di sana!

Tuan dan puan kita hidup di negeri epen. Yang penting dibikin tidak penting. Yang tidak penting justru ditahtakan sedemikian rupa seolah-olah sangat penting….

Rogo

ilustrasi
HARI Selasa 6 September 2011. Saya baru saja selesai rapat perencanaan pagi dengan Aris Ninu dan Feliks Janggu, kru FloresStar dan Pos Kupang biro Maumere. Jarum jam menunjukkan pukul 09.05 Wita. Terdengar langkah kaki memasuki ruang tamu kantor kami.

Saya melirik dan langsung bangun dari tempat duduk menyambut tamu pagi itu. Dia merupakan salah seorang pelanggan setia Pos Kupang, Drs. Daniel Woda Palle. Sapaan awalku kepadanya (mungkin karena kebiasaan bila bertemu beliau) spontan terlontar dalam bahasa ibu, Lio.

“Saya mau bayar langganan koran bulan ini. Mana kwitansi,” katanya sambil menebarkan senyum. Begitulah Daniel Woda Palle. Pelanggan yang selalu membayar sendiri biaya bulanan. Dan, beliau selalu membayar di muka, berbeda dengan sistem yang berlaku umum, pelanggan bayar pada akhir bulan. Dia mengusung prinsip bayar dulu baru baca, bukan baca dulu baru bayar.

Pernah teman-teman kami mengatakan akan ke rumah beliau saja untuk mengambil biaya langganan, tetapi beliau menolak dengan alasan sebagai pelanggan sudah semestinya dia yang datang ke kantor kami untuk membayar. Sungguh sebuah keteladanan yang luar biasa. Sulit dicari tokoh semacam ini.

Sejak pensiun dari pengabdiannya sebagai pamong praja sejati, Daniel Woda Palle memilih tinggal di Maumere. Dia sungguh menikmati masa pensiunnya dengan santai. Dia masih rajin berolahraga dan meneruskan hobinya bercengkerama dengan pantai, gelombang laut dan udara perairan yang jernih. Anda mungkin tidak percaya kalau bertemu beliau yang masih sangat bugar di usianya yang sudah senja. Tidak banyak mantan pejabat tinggi daerah yang seperti Dan Palle. Di saat begitu banyak pensiunan terkena post power syndrome bahkan makin rakus menguber jabatan dan kedudukan hingga jatuh sakit, Dan Palle memilih pensiun dengan damai.

Putra-putri Flobamora pastilah mengenal sosok ini. Dia sesepuh masyarakat Sikka dan Nusa Tenggara Timur. Jabatan publik yang pernah diembannya antara lain, Bupati Sikka selama dua periode dan terakhir Ketua DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di bidang politik, Dan Palle pernah menjadi ketua DPD I Partai Golkar NTT.

Ah sudahlah, saya kok ngelantur. Figur populer ini tidak perlu diperkenalkan lebih jauh. Hehehe…. Saya kembali ke fokus cerita. Selasa pagi itu dalam pertemuan singkat dengan Dan Palle saya mendapat hadiah dua filosofi Orang Lio. Pertama, filosofi rogo dan kedua mengapa dalam khasanah bahasa daerah Lio tidak ada kata terima kasih.

Rogo atau rogo renda adalah bahasa Lio yang secara harafiah artinya meracik atau meramu menu makanan dan minuman. Setiap kita pasti mendambakan masakan ibunda kita masing-masing. Masakan ibu pasti beda cita rasanya dibandingkan dengan masakan istri, saudari atau makanan di restoran atau warteg. Mungkin bahan dasar makanan dan minuman itu sama, menu yang dibuat pun sama, tetapi cita rasanya di lidah pasti berbeda. Beda koki beda pula rasanya bukan?

Nah, dalam konteks ini, kata Dan Palle, orang sering bertanya kepadanya. Mengapa sampai seumur dia sekarang, petuah, pernyataan atau nasihat-nasihatnya selalu baru, bermakna mendalam dan orang senang mendengarnya? “Itu karena rogo tadi, Dion,” katanya. Ketika membedah suatu perkara, misalnya, Daniel Woda Palle meramu dengan seluruh pengetahuan, pengalaman dan kebijaksanaannya. Dengan demikian apa yang dia ucapkan, apa yang dia sampaikan punya “cita rasa” berbeda. “Aih benar juga orang tua ini,” gumamku pagi itu.

Hal kedua, mengapa tidak ada kata terima kasih dalam bahasa Lio. “Itu karena orang Lio tidak menyatakan terima kasih dengan kata-kata. Tetapi lewat perbuatannya!” demikian Daniel Woda Palle. Saya masih ingin berdiskusi lebih jauh dengan beliau pagi itu. Tapi rupanya beliau buru-buru meninggalkan Kantor Pos Kupang di Jl. Gelora No. 2 Maumere karena ada suatu urusan yang sudah terjadwal.

“Cukup sudah Dion. Hari ini kau dapat dua pesan dari saya,” kata Dan Palle sambil beranjak menuju mobil yang sudah menunggunya di pintu masuk kantor kami. Saya mengantar beliau. Melambaikan tangan….Ketika mobil bergerak meninggalkan Jalan Gelora, entah ke mana pagi itu. Senyum tetap mengembang di wajah Daniel…

Berwisata Penuh Sensasi ke Komodo

Komodo
TAK dapat dimungkiri, Pulau Komodo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, adalah salah satu pulau terunik di dunia. Oleh karena itu, bagi Anda yang ingin berwisata mengisi liburan Lebaran, tentu tak rugi kalau Anda mengagendakan berkunjung ke pulau ini.

Apalagi sejak Taman Nasional Z Komodo menjadi salah satu finalis Tujuh Keajaiban Alam Baru (New 7 Wonders of Nature) yang pemenangnya akan diumumkan pada 11 November 2011, Pulau Komodo menjadi perhatian dunia.

Makin banyak pula wisatawan asing yang berwisata ke pulau yang terletak di antara Pulau Sumbawa dan Flores itu, termasuk mereka yang datang dengan kapal-kapal pesiar. Kunjungan wisatawan ke Komodo dalam tiga tahun terakhir meningkat 300 persen, dari sekitar 16.000 orang menjadi 50.000 orang.

Tahun 1986, TN Komodo ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai cagar biosfer dan warisan alam dunia.

Dengan berwisata ke Pulau Komodo, sebenarnya kita tak hanya melulu dapat menyaksikan komodo (Varanus komodoensis), reptil purba turunan dinosaurus. Namun, kita juga dapat merasakan sensasi alam yang indah dan unik, yang tak akan terlupakan, di antaranya perbukitan dengan padang sabana nan luas, juga keindahan pantai beserta taman bawah lautnya.

Kita bahkan dapat menyaksikan komodo yang jumlahnya mencapai 2.753 ekor tidak hanya di Pulau Komodo, tetapi juga di Pulau Rinca. Di dalam kawasan TN Komodo, naga atau kadal raksasa itu juga terdapat di Pulau Nusa Kode dan Gili Motang. Adapun di luar kawasan, komodo terdapat pula di Manggarai Timur, Pulau Flores. Di dunia, komodo hanya terdapat di lima tempat ini.

Rate menuju Pulau Komodo tak terlalu sulit. Yang lebih mudah ditempuh dari Denpasar, Bali, dengan pesawat menuju Labuan Bajo, kota di ujung barat Flores.

Dari Labuan Bajo, kita dapat menggunakan jasa dari hotel tempat kita menginap ataupun biro pariwisata untak mengantar ke Komodo. Selain itu, kita juga dapat menyewa kapal motor kayo milik penduduk. Kita bisa mencarinya di dermaga Labuan Bajo.

Rata-rata kapal motor penduduk dapat menampung 10 orang. Waktu tempuh Labuan Bajo-Komodo sekitar empat jam. Sebaiknya, untak meringankan biaya, Anda berangkat berkelompok sebab biaya sewa kapal berkisar Rp 2 juta pergi-pulang. Biaya tersebut sudah termasuk makan dan minum karena kita mesti menginap. Biasanya wisatawan ke Komodo menginap selama dua hari satu malam.

Namun, perlu diketahui, biaya kelas itu hanya untak kapal tanpa kamar. Artinya, wisatawan akan tiduran di dek kapal. Ini tentu saja salah satu sensasi tersendiri bagi wisatawan, menikmati suasana tidur di dalam kapal, di perairan pulau yang notabene habitat asli komodo.

Akan tetapi, Anda juga tak perlu khawatir. Penduduk di Labuan Bajo ada yang menyewakan kapal dengan fasilitas kamar tidur meski biayanya lebih mahal, yakni di atas Rp 2 juta.

Berwisata ke Palau Komodo, biasanya wisatawan ditawari satu paket. Dalam perjalanan kembali ke Labuan Bajo, wisatawan umumnya akan diantar oleh pemandu ke Pantai Merah (Pink Beach), pantai dengan pasir herwarna putih kemerahan. Di sini, wisatawan juga bisa berenang atau menyelam (diving).

Terumbu karang di perairan TN Komodo yang mempunyai 132.572 hektar lautan itu memang sangat memukau dan termasuk salah satu yang terindah di dunia. Di perairan ini terdapat lebih dari 1.000 jenis ikan, 260 jenis karang, dan 70 jenis bunga karang (sponge).

Kepala Tata Usaha Balai TN Komodo Hera Rudiharto mengatakan, sampai saat ini, di Pulau Rinca dan Komodo belum ada tempat penginapan bagi wisatawan.

"Ada beberapa kamar, tapi lebih dikhususkan untuk para ranger yang bertugas di sana, termasuk yang akan mengawal wisatawan selama berkeliling di lokasi. Namun, kalau pengunjung ingin menginap di situ pun diperbolehkan," kata Heru.

Sebenarnya ada alternatif jika Anda ingin ke Palau Komodo tanpa harus menginap, yakni menggunakan speedboat. Namun, biaya sewanya lebih mahal, sekitar Rp 4 juta, dengan waktu tempuh Labuan Bajo-Komodo cuma 1,5 jam.

Koordinator Sekretariat Bersama Pemuda dan Masyarakat Manggarai Barat Ferry Adu menuturkan, di wilayah perairan Labuan Bajo terdapat sejumlah pulau dengan panorama pantai indah yang dilengkapi resor dan bungalo.

"Wisatawan bisa menginap di Pulau Bidadari, Pulau Kanawa, Pulau Sebayur, atau Pulau Seraya. Namun, sebaiknya kalau ada rencana menginap satu minggu sebelumnya supaya memesan kamar sebab di tiap pulau jumlah kamar terbatas, yakni 10-15 kamar saja," kata Ferry.

Sekali lagi, berwisata ke Komodo penuh dengan sensasi. Di sana, Anda juga dapat melihat proses kerajinan kain tenun ikat tradisional atau pembuatan patung mini komodo yang dipahat dari kayo.

Sementara itu, bagi Anda yang akan kembali ke Jawa atau Denpasar, tak ada salahnya berangkat melalui kota Ende atau Sikka, kabupaten di bagian tengah Flores. Pasalnya, ada banyak tujuan wisata yang tak kalah menarik menuju daerah ini, di antaranya Danau Ranamese di Manggarai Timur, danau tiga warna Kelimutu Ende, serta taman laut Teluk Maumere di Sikka.

Yang kelas, berlibur ke Flores tidak untuk berwisata belanja di mal seperti kota-kota besar di Jawa. Pasalnya, daerah ini begitu kaya dengan obyek wisata budaya, bahari, dan alam.

Yang tak kalah menantang, jalur darat dari Labuan Bajo sampai ujung timur Flores begitu khas. Medannya naik-turun bukit dan gunung; melewati lembah, jurang, dan tebing terjal; juga berkelok-kelok bagaikan ular yang sedang berjalan meliuk-liuk. Sebab, Flores juga dikenal dengan Pulau Nusa Nipa atau pulau ular. Wow....

Penulis: Samuel Oktora, wartawan Kompas
Sumber: Kompas.Com 5 September 2011

Bebas Rabies atau Bebas Anjing?

Oleh Paul Budi Kleden, Dosen STFK Ledalero-Maumere

Anjing Rabies
RABIES kembali menjadi berita. Beberapa waktu lalu koran FloresStar memberitakan bahwa seorang perempuan dari kabupaten Ende, dipulang paksa ke rumah oleh keluarga karena RSUD TC Hillers sudah mengatakan terus terang bahwa pihaknya tidak berdaya lagi menangani pasien tersebut.

Dia didiagnosis menderita penyakit rabies stadium terakhir. Tanggal 20 Agustus, diberitakan bahwa dua orang warga yang sedang menonton karnaval di Maumere dalam rangka perayaan hari kemerdekaan, digigit anjing. Boleh jadi anjing tersebut sudah terinfeksi virus rabies.

Menanggapi kasus-kasus Bupati Sikka mempertimbangkan secara serius untuk menertibkan semua anjing. Tanggal 29 Agustus, kembali FloresStar mempublikasikan keputusan menetapkan mengumumkan kecamatan Nita sebagai kecamatan yang berada dalam kondisi luar biasa (KLB) karena ancaman rabies. Jumlah gigitan yang meningkat dengan satu kasus kematian menjadi alasan untuk keputusan ini.


Menurut dr. Asep Purnama, dokter yang memiliki kepedulian besar terhadap masalah rabies, menulis dalam opininya di harian ini tanggal 11 Juli bahwa sejak 1997 sampai sekarang sudah lebih dari 200 orang tercatat meninggal karena terinfeksi virus rabies. Ya, rabies mulai tercatat di Flores pada tahun 1997 dengan munculnya beberapa kasus di Flores Timur. Dari Flores Timur virus ini menyebar ke seluruh pulau Flores dan pulau-pulau sekitar Flores seperti Lembata, Solor dan Adonara.

Sejak saat itu, rabies bagai kapal selam torpedo yang untuk beberapa waktu hilanh di bawah permukaan, namun menyimpan kekuatan dahsyat untuk menghancurkan dan setiap saat dapat muncul ke permukaan. Ada yang mengumpamakannya dengan teroris, yang tiba-tiba muncul di saat dan tempat yang tidak diduga.

Seperti para teroris, kita tidak mempunyai sarana yang ampuh untuk mendeteksi secara dini, mana anjing yang membawa rabies dan mana yang tidak. Sebagaimana ada teroris yang bertampang baby face dan terkesan lembut dan halus, namun menyimpan dalam dirinya potensi kekerasan yang mengguncangkan, demikian pun anjing yang kelihatan sangat bersahabat, yang tidak rewel dan membuat banyak keonaran, dapat saja terinfeksi rabies menyebarkannya saat menyerang tuannya.


Menghadapi masalah rabies saat itu, ditetapkan langkah eliminasi total seturut prinsip: membebaskan wilayah dari rabies sama harus berarti membebaskan wilayah dari anjing. Kendati anjing bukan satu-satunya hewan penyebar virus rabies (masih ada kucing dan kelelawar), namun untuk kasus di Flores binatang yang paling sering menyebarluaskan rabies adalah anjing. Pertanyaannya, apakah tepat mengambil langkah eliminasi total sebagai pemecahan atas masalah rabies?


Kasus Flores Timur pada akhir dasa-warsa 90-an menunjukkan dan mengingat-kan, bahwa eliminasi bukanlah pilihan yang tepat. Posisi anjing yang sangat penting dalam masyarakat di Flores tidak memungkinkan eliminasi total. Anjing adalah binatang piaraan yang dijadikan penjaga rumah dan kebun serta konco dalam berburu. Para petani memang sa-ngat memerlukan anjing untuk melindungi tanamannya dari ancaman kera dan babi hutan. Ketika para petani menjaga kebun, anjing adalah temannya yang setia.


Karena alasan ini, maka orang sulit melepaskan anjing. Kalau pun dipaksa untuk dieliminasi, tidak sedikit petani menyembunyikaannya di hutan atau membiarkannya pergi mencari jalannya sendiri. Justru dengan cara seperti ini, anjing menjadi semakin tidak terkontrol. Ketika anjing tidak lagi terkontrol, maka penyebarluasan virus rabies menjadi semakin sulit dilokalisir.


Memperhatikan hal ini, maka jalan keluar yang dianjurkan Dr. Asep perlu mendapat tanggapan serius. Langkah pertama adalah membudayakan masyarakat untuk menjadi pemilik dan pemelihara ternak yang bertanggungjawab. Pemilik yang baik adalah pemelihara yang bertanggung jawab. Klaim kepemilikan tanpa pemeliharaan adalah absurd. Konkretnya, warga diwajibkan dan dibiasakan untuk tidak membiarkan anjing berkeliaran tanpa kendali. Penertiban kepemilikan ini merupakan satu bentuk tanggungjawab terhadap anjing dan terhadap sesama.


Hal seperti bukan tidak mungkin untuk dibiasakan. Di beberapa wilayah, kita sudah berhasil menunjukkan diri sebagai pemilik dan pemelihara babi. Sampai beberapa waktu lalu, di kota Maumere, misalnya, sejumlah pemilik babi membiarkan hewannya berkeliaran di tengah kota. Namun, terjadi pergeseran kesadaran yang dimungkinkan oleh peraturan dan penyadaran yang terus menerus.

Bukan mustahil, hal yang sama pun terjadi dengan pemeliharaan anjing. Melalui peraturan daerah yang didukung oleh penyadaran yang terus menerus dan menyeluruh, kita membudayakan pemeliharaan anjing yang bertanggungjawab. Anjing harus dijaga dan dijamin oleh pemiliknya bahwa dia tidak membahayakan orang lain.
Termasuk dalam kesadaran itu adalah memvaksinkan anjing. Anjing yang sangat jinak pun tidak secara otomatis terlindung dari bahaya rabies.

Maka, anjing-anjing piaraan di rumah pun perlu divaksinasi. Untuk anjing yang digunakan sebagai penjaga kebun, vaksinasi adalah jalan paling tepat. Secara berkala orang harus membiarkan anjingnya divaksin. Dan perlu ada bukti dari vaksinasi tersebut. Prioritas utama adalah memvaksinkan semua anjing.
Konsekuensinya, eliminasi hanya perlu untuk anjing-anjing yang berkeliaran tanpa tanda resmi bahwa anjing tersebut telah divaksinasi.

Kita tidak harus mencanangkan eliminasi total, sebab hal ini justru berarti melakukan kesalahan yang sama. Untuk menjamin vaksinasi dan eliminasi bagi yang tersisa, dibutuhkan payung hokum yang jelas. Peraturan daerah perlu didesak agar dibuat di kabupaten-kabupaten khususnya di Flores yang masih belum bebas rabies.
Upaya pemnberantasan rabies yang telah menghantui warga Flores selama lebih dari sepuluh tahun perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.

Yang terutama adalah desakan kepada pemerintah untuk mengeluarkan perda atau peraturan sementara berkekuatan hukum setingkat untuk mencanangkan vaksinasi sebagai program. Ini adalah bukti rasa hormat kita kepada kehidupan. Kalau kita mengutuk aksi para teroris dan berupaya mencegahnya dengan berbagai cara, maka sepatutnya pula kita memberikan toleransi nol kepada para pemilik anjing yang tidak mau mengvaksinkan anjingnya.

Juga, apabila kita berjuang membela terpidana mati dari hukuman mati dan berdemonstrasi menolak aborsi, maka perlindungan warga terhadap bahaya virus rabies yang mematikan pun perlu didukung. Caranya bukan dengan eliminasi total, tetapi dengan membudayakan pemeliharaan hewan secara bertanggung jawab dan vaksinasi. Flores dan pulau-pulau harus bebas rabies, namun tidak mesti bebas anjing. *

Sumber: Pos Kupang, 3 September 2011 hal 4

Mengenang Even Midin

DUA belas Agustus 2011. Hari masih pagi. Kira-kira pukul 08.40 sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Pesan dari Ros, manajer PSDM SKH Pos Kupang. Om Dion, Even telah pergi le. Kami di rumah sakit umum Kupang sekarang... Menyusul SMS berikutnya dari beberapa teman antara lain Gerardus Manyella.

Sungguh kesedihan saya yang saat itu berada di rumah orangtua di Onekore, Ende bertambah. Saya masih dalam suasana duka. Tanggal 3 Agustus 2011 ibu saya, Theresia Masi Bata dipanggil Tuhan setelah terbaring sakit kurang lebih lima bulan. Saya tahu Even memang sakit dan sempat keluar masuk rumah sakit tetapi saya tidak menduga bahwa dia akan pergi selekas itu menghadap Sang Pencipta, empunya kehidupan.

Saya memberi tahu istri saya di Kupang tentang kabar duka ini. Bersama beberapa teman dia bergegas ke rumah sakit dan ikut mengantar jenazah Even sampai ke rumah duka di kawasan Sikumana. Saat itu saya ingin menulis tentang almarhum semasa hidup, namun saya tak sanggup. Perasaan saya tak karuan, mengharu biru hingga tak sanggup mengetikkan kata-kata di atas tuts laptop meski saya sudah berusaha.

Keesokan harinya saya coba mencari Pos Kupang, berharap ada teman yang menulis in memoriam tentang Eventius Midin, begitu nama lengkap kawan ini. Tapi tidak saya temukan tulisan mengantar Even, mantan Manajer Keuangan dan Manajer Umum Pos Kupang, kecuali sebaris iklan turut berduka cita dari keluarga besar Pos Kupang. Ya, mungkin teman-temanku di Kupang terlalu sibuk sehingga tak sempat menulis in memoriam atau memang dianggap tidak penting lagi. Bagi saya, ini tradisi yang hilang dari Pos Kupang. Sejak dulu selalu ada tulisan mengantar seorang rekan yang berpulang….

Sebelum Even, teman kami yang lebih dulu berpulang adalah Emanuel Kudu, tenaga pracetak (layout). Setiap tiap kali saya melewati Ekoleta, Detusoko-Ende, saya selalu ingat Eman Kudu. Dia dibaringkan di rumah keluarganya di sisi jalan utama Ende-Maumere. Pada saat duka semacam ini saya juga ingat teman-teman Pos Kupang yang telah menghadap Tuhan, termasuk salah seorang pendiri harian ini, Om Valens Goa Doy dan orang yang ikut mendidik jurnalis tangguh Pos Kupang, Julius R Siyaranamual.

Pertemuan saya terakhir dengan Even tanggal 1 Juli 2011. Hari itu hari yang sangat berarti bagi saya dan sejumlah teman termasuk Even. Hari itu, dalam rapat dengan seluruh manajer dan awak Redaksi Pos Kupang, Pemimpin Umum Pos Kupang, Damyan Godho mengumumkan perombakan struktur, mekanisme kerja dan personel di lingkungan PT Timor Media Grafika (TMG) yang menaungi Pos Kupang.
 

Saya ditugaskan ke Maumere, Flores sebagai editor Harian FloresStar, Tony Kleden (sebelumnya Redpel) ditugaskan sebagai reporter di Sumba Barat Daya, Dami Ola (Redpel) menjadi news editor desk Hukum Pos Kupang. Benny Dasman menjadi Manajer Liputan dan Marsel Ali jadi Sekretaris Redaksi. Sejumlah redaktur menjadi reporter seperti Martin Lau, Gerardus Manyella, Ferry Ndoen dan Alfred Dama. “Perombakan ini demi perubahan. Setelah tiga bulan akan dievaluasi,” begitu kata Om Damyan saat itu.

Even sendiri sudah lebih dulu menerima SK dari Pemimpin Umum pada tanggal 30 Juni 2011 sore. Dia tidak lagi dipercayakan sebagai Manajer Umum, tugas barunya adalah mengurus Koperasi Karyawan PT Timor Media Grafika bersama Ety Turut (mantan Manajer PSDM dan Kepala Sekretariat Redaksi).

Dalam rapat tanggal 1 Juli 2011 itu, Even terlihat masih bugar dan sempat meneguhkan saya dan teman-teman lain untuk menjalani tugas baru dengan semangat untuk kemajuan Pos Kupang. Manajer pertama di lingkungan Pos Kupang yang menerima SK baru dari Pemimpin Umum adalah Fery Jahang (Manajer Iklan). Tugas baru Ferry Jahang adalah menangani sirkulasi Harian FloresStar di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Rapat tanggal 1 Juli 2011 tidak dihadiri Ferry karena dia sudah berangkat menuju tempat tugas yang baru.

Sampai saya meninggalkan Kupang menuju Maumere 7 Juli 2011, saya tidak pernah berjumpa lagi dengan Even karena dia jatuh sakit. Dua atau tiga hari setelah berada di Maumere saya dapat kabar dia masuk Rumah Sakit Mamami. Opname. Perutnya membengkak, wajah pucat. Dia sempat keluar dari Rumah Sakit dan melanjutkan pengobatan di rumah.

Even…. maafkan saya karena selama kamu sakit saya tidak sempat membezukmu. Semoga Even maklum, karena saat itu saya berada di Maumere. Saya tidak tahu apakah teman-teman Pos Kupang yang ada di Kupang saat itu sempat melihat dan menghiburmu? Saya ingat Even kerap mengingatkan agar perusahaan tidak hanya memandang karyawan-karyawati di saat suka dan sehat serta produktif bagi perusahaan. Mestinya pada saat sakit dan luka, perusahaan memberi perhatian sepadan. Toh sebagai manusia, kita tidak selamanya sehat dan kuat. Tidak selalu segar bugar sepanjang masa.

Kabar terakhir yang saya terima tentang kepergiaan Even pada 12 Agustus 2011 sungguh menyayat kalbu. Sontak saya ingat anak-anaknya yang masih kecil. Saya ingat wajah mereka yang masih butuh seorang ayah. Bagaimana masa depan anak-anak itu? Saya berharap isterinya tabah dan kuat. Percaya pada Tuhan. Percaya kepada penyelenggaraan ilahi.

Siapakah Even? Bagi saya dia salah seorang pendekar Pos Kupang yang bekerja spartan dan tidak banyak menuntut. Sepanjang kariernya belasan tahun di harian ini, hampir tidak ada masalah yang disumbangkannya bagi perusahaan. Dia memberi yang terbaik sesuai kemampuannya. Dia menjabat Manajer Keuangan dalam waktu yang lama. Kemudian dimutasi ke Manajer Umum sebelum akhirnya mungkin menurut penilaian pimpinan tenaganya cukup sekadar mengurus koperasi, meski itu bukan link langsung dengan struktur organisasi perusahaaan. Bahwa kuat kesan dia kaku dalam hal “uang” bisa dimaklumi. Di mana-mana “orang keuangan” selalu begitu bukan? Dan memang idealnya demikian. Dan dia, bukan tipe "manusia pro eselonering" seperti kebanyakan orang yang takut dan cemas bahkan stress ketika tidak lagi masuk dalam struktur. Dia menerima penugasan dari pimpinan dengan senyum.

Apa keutamaan Even Midin bagi Pos Kupang? Dia berpikir dan bekerja untuk banyak orang. Sampai akhir hayatnya Even masih tercatat sebagai Ketua Koperasi Karyawan Pos Kupang, jabatan yang diembannya dua kali. Koperasi itu sempat dipimpin Mariana Dohu, namun kembali lagi ke tangan Even dua tahun lalu. Dan, dia sukses mengelola koperasi ini. Hampir semua anggota termasuk saya merasakan manfaat koperasi tersebut.

Even juga punya jiwa bisnis. Dia mendorong isterinya membuka usaha kios yang cukup menopang pendapatan keluarga. Dia pun menjual pulsa elektronik. Saya tahu banyak teman-teman di kantor yang akhirnya mau mengikuti jejaknya, misalnya membuka usaha kios untuk menopang hidup keluarga atau jual pulsa sekadar untuk tambah-tambah belanja dapur, suatu langkah yang sangat mulia ketimbang memeras atau mencuri dengan menjual lembaga Pos Kupang, misalnya.

Selain koperasi karyawan Pos Kupang, Even Midin yang mengelola UB (Usaha Bersama) PEKA, yang anggotanya karyawan-karyawati Pos Kupang bersama suami, isteri dan anak. Sudah banyak anggota PEKA yang tertolong dari UB tersebut, misalnya dana untuk bangun rumah, beli tanah atau biaya pendidikan anak-anak. UB PEKA sedang diperjuangkan Even menjadi koperasi. Mudah-mudahan diteruskan oleh pengurus yang lain agar Even di alam sana tidak kecewa.

Even Midin adalah tipe pekerja keras dan jujur. Juga menjalin persahabatan tulus dengan siapa saja. Dia juga rendah hati. Dia bukan tipe manusia penjilat atau pengkhianat yang tega “menjual” teman-teman sendiri demi menggolkan tujuan pribadi. Karena keutamaan itu, saya bangga padanya. Beberapa kali saya memang memarahi dia untuk hal-hal yang saya anggap keliru. Dia bisa menerima dengan baik setelah sadar akan kekeliruannya.

Even….maafkan saya kalau catatan kecil ini keliru dan terutama atas kesalahan saya terhadapmu semasa hidup. Saya merindukan kebersamaan kita. Saya mendoakan keluargamu, anak dan isterimu.

Kau tahu Even, sekarang saya tidak bisa lagi kirim SMS ke nomor HP-mu yang isinya kau sudah tahu betul. “Aji, tolong tembak pulsa Simpati 20 ribu ke no saya. Bayar nanti e...”

Dari kota debu Maumere, saya mengirimimu seutas doa. Doakanlah kami, teman-temanmu yang masih berziarah di bumi fana ini.

Beristirahatlah dalam damai, sahabatku…

Dion DB Putra

Dari kota tsunami Maumere-Flores...

Uskup Kherubim: Sikapnya Halus Tapi Bor Dalam

Uskup Kherubim
MAUMERE, FS - Sikapnya halus tapi bor dalam. Begitulah Uskup Emeritus Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu, SVD menggambarkan sosok Uskup Gerulfus Kherubim Pareira, SVD yang merayakan pancawindu imamat dan perak uskup di Gereja Katedral Maumere, Senin (22/8/2011) pagi.

Misa akbar perayaan itu dihadiri tujuh uskup, ribuan umat Katolik dari berbagai wilayah Keuskupan Maumere serta undangan lainnya. “Sikapnya tenang. Omongannya halus tapi bor dalam. Bor terus,” kata Uskup Anton Pain Ratu yang disambut tawa ribuan umat yang hadir dalam misa akbar perayaan itu.

Uskup Pain Ratu juga menyebut Uskup Kherubim sebagai tokoh pemersatu. Uskup Kherubim patut mendapatkan julukan itu atas jasa-jasa beliau dalam karya kegembalaannya di Keuskupan Weetabula, Sumba selama 22 tahun.

“Selama 22 tahun Uskup Kherubim berhasil meruntuhkan tembok-tembok pemisah antara sesama murid Kristus lewat dialog yang tulus sesuai doa Yesus Kristus agar mereka semua menjadi satu. Itu realisasi motto sang yubilaris sendiri yaitu Ut Omnes Unum Sint, Supaya Semua Orang Bersatu. Umat di Sumba menangis saat Uskup Kherubim pindah ke Maumere karena mereka kehilangan tokoh pemersatu. Sedangkan umat di Maumere menari-nari kegirangan menyambut tokoh pemersatu pulang ke kampung halamannya,” kata Uskup Anton Pain Ratu.

Uskup Kherubim yang bulan September 2011 akan genap berusia 70 tahun, kata Uskup Anton Pain Ratu, tetaplah seorang tokoh pemersatu bagi umat Katolik di Keuskupan Maumere yang terdiri dari lima etnis. “Saya yakin itu. Hari ini kita menyaksikan kekuatan tekad sang yubilaris. Yubilaris sendiri pasti akan tetap menjadi tokoh pemersatu untuk umatnya,” ujarnya.Uskup Anton Pain Ratu juga mengagumi kepribadian Uskup Kherubim. Dengan ketenangannya, beliau bisa mendekati umat dari setiap kalangan, menjadi bapak yang mau mendengarkan umat dan menjadi sahabat bagi teman-temannya.

Tentang keutamaan Uskup Kherubim sebagai tokoh pemersatu diungkapkan Uskup Weetabula, Mgr. Edmund Woga, CSsR saat memberikan sambutan mewakili Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Uskup Edmund menekankan jasa Uskup Kherubim sebagai peletak dasar yang kokoh untuk Keuskupan Weetabula. Uskup Edmund mengungkapkan betapa Uskup Kherubim telah menanamkan landasan iman yang kokoh bagi umat di Sumba.

“Ibaratnya, beliau yang menanam dan saya yang memetik hasilnya,” demikian Uskup Edmund melukiskan karya Uskup Kherubim selama 22 tahun di Sumba. Dan, Uskup Edmund yakin yubilaris akan meletakkan dasar yang kokoh juga di Keuskupan Maumere sebagai keuskupan yang baru di Indonesia.

Mitra Pemerintah
Dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten Setda Propinsi NTT, Eddy Ismail, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu raya mengucapkan proficiat kepada Uskup Kherubim yang merayakan pancawindu imamat dan perak uskup.

Pemerintah, kata Lebu Raya, berterima kasih atas sumbangan gereja selama bertahun-tahun dalam mendukung program pemerintah mensejahterakan masyarakat NTT. “Gereja merupakan mitra utama pemerintah di daerah ini,” kata Lebu Raya.

Menurut gubernur, beberapa program pemerintah menjadikan NTT sebagai Propinsi Jagung, Propinsi Koperasi, Propinsi Cendana dan Propinsi Ternak bisa tercapai jika ada kerja sama dengan semua elemen masyarakat terutama pemimpin gereja.

Sementara Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Semara Duran Antonius, dalam kata sambutannya menekankan beberapa hal yakni supaya karya Gereja ke depan tidak hanya seputar altar atau dalam lingkungan sendiri tapi melihat persoalan masyarakat di sekitarnya.

Salah satu masalah aktual yang disoroti Semara yakni pentingnya menjaga keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dirjen Bimas Katolik mengajak para pemimpin Gereja senantiasa menumbuhkan semangat mempertahankan keutuhan NKRI dalam pelayanan mereka setiap hari. (kk)

FloresStar, Selasa 23 Agustus 2011 halaman 1

Pisang

“KAU punya orang itu bodoh sekali, ngero! Mereka jual pisang lalu beli molen. Kenapa tidak bikin molen untuk makan sendiri atau jualan macam saya, kan keuntungannya berlipat ganda.” Itu kata-kata seorang kawan asal Jawa Tengah. Sebagai putra Jawa yang sudah belasan tahun menetap di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), gaya bicaranya Ende banget. Langsung tembak ke sasaran. Tidak berputar-putar lagi.

Beta tersentak. Sungguh merasa kena tembak yang bikin kuping memerah. Setiap hari kawanku itu jual gorengan tahu, pisang goreng, pisang molen dan lainnya di pinggir jalan dekat pertokoan yang ramai dipadati pengunjung.


“Saya jual mulai jam empat sore sampai delapan malam. Kadang sebelum jam delapan malam, sudah habis. Kau bayangkan, kerja tidak sampai empat jam tapi hasilnya pasti. Bisnis makanan itu untungnya seratus persen.” Melihat beta tidak segera merespons kata-katanya, dia melanjutkan penjelasan. “Ndoe, kalau kau tidak percaya, coba kau tanya di orang-orang yang kerja macam saya ini ka,” katanya sambil terbahak.

Tentu saja beta percaya dengan kata-katanya. Toh dia hidup dari usaha itu dan sangat menikmati pekerjaannya. Di Kota Ende, penjual gorengan macam dia ada di banyak tempat. Dan, umumnya raut wajah mereka merupakan ata mai (baca: pendatang) dari luar pulau. Kondisi serupa agaknya sama persis di daerah lain Nusa Tenggara Timur. Belum banyak anak kampung Flobamora yang serius menekuni pekerjaan sebagai penjual gorengan, tahu, tempe, kripik pisang, singkong dan lainnya. Kalau penjual pisang atau ubikayu gelondongan, banyak.... sekali dan pasti orang kita. He-he-he...


Bagi masyarakat Pulau Flores, Adonara, Solor dan Lembata, pisang telah menjadi komoditi primadona dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir selain hasil perkebunan dan pertanian lainnya semisal kopi, vanili, kemiri, jambu mete, kakao, kelapa dan sebagainya. Sekarang ini kalau tuan dan puan masuk ke wilayah itu akan mudah berpapasan dengan dump truk yang mengangkut ribuan ton pisang. Pisang dari Pulau Flores dan sekitarnya biasanya keluar lewat dua pintu utama, yakni Pelabuhan L Say, Maumere di Kabupaten Sikka dan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.


Tujuan akhir perjalanan pisang Flores adalah Bali dan Surabaya, Jawa Timur. Apakah di sana namanya dikenal dengan pisang Flores? Oh jangan salah, kawan. Pisang asal Flores, tetapi kesohor sebagai pisang Bali. Sedih betul nasib pisang Flores... belum menjadi brand dagang. Maklumlah. Kehebatan petani Flores baru sebatas menjual pisang gelondongan. Apalagi masuk ke Pulau Dewata Bali yang namanya lebih populer ketimbang Indonesia.


Meskipun pisang menjadi komoditi yang menghasilkan duit, namum pola tanamnya masih bersifat tradisional. Tanaman tersebut ditanam secara sporadis di kebun milik petani. Belum ada usaha pisang secara besar-besaran di lokasi tertentu. Maka wajar jika sebanyak-banyaknya pisang dari Flores dan sekitarnya, belum bisa masuk pasaran ekspor. Produksi pisang Flores masih terbatas untuk kebutuhan lokal dan regional.


Tahun 2007 yang lalu di Ende pernah digalakkan tanaman pisang beranga yang terkenal enak itu.
Pemerintah setempat lewat Dinas Pertanian membudidayakan pisang beranga Kelimutu pada kawasan percontohan di dua desa seluas 10 ha yaitu Desa Wolokota, Kecamatan Ndona dan Desa Ndito, Kecamatan Detusoko. Peroncontohan itu diperluas lagi di 29 desa pesisir yang tersebar di sembilan kecamatan di Kabupaten Ende. Kesembilan kecamatan untuk perluasan lahan budi daya dimaksud adalah Ndona, Ndori, Lio Timur, Kotabaru, Wewaria, Maurole, Maukaro, Nangapanda, dan Kecamatan Ende. Sudah menjadi pengetahuan banyak orang kalau pisang Beranga Kelimutu asal Ende merupakan varietas unggulan nasional. Pisang jenis ini sangat diminati masyarakat setempat, karena buahnya memiliki keunggulan spesifik antara lain rasa manis yang khas tidak asam, dan aromanya wangi ketika dimakan. Pokoknya ingat Ende, ingat pisang beranga!


Bagaimana kelanjutan dan hasil dari program pengembangan pisang beranga itu sekarang, belum diumumkan lagi pemerintah Kabupaten Ende. Mudah-mudahan hasilnya memuaskan. Jangan sampai bahkan pemerintah sudah lupa dengan program yang sangat bagus tersebut. Mestinya setelah lima tahun, pisang beranga Kelimutu asal Ende sudah masuk pasar ekspor. Begitu idealnya.


Omong-omong soal pisang, orang Flores pasti bangga bukan main mendengar pujian dari Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Eka Pangestu. “Saya beli pisangnya. Pisangnya enak dan manis,” begitu kata Ibu Menteri saat berdialog dengan penjual pisang di Pasar Wairloka, Maumere, Kabupaten Sikka hari Sabtu, 2 Juli 2011. Di hadapan para pedagang dan Bupati Sikka, Drs.Sosimus Mitang, Menteri Pedagangan mencicipi sebuah pisang masak. Para penjual pisang kagum menikmati spontantitas Ibu Mari. Pejabat tinggi negara makan pisang di tengah pasar merupakan momen yang manis dan langka bagi mereka.


Maklumlah. Jarang nian orang kita kalau sudah jadi pejabat mau masuk ke pasar-pasar. Takut baju dan celana mereka kotor berlepotan lumpur atau sepatu yang disemir licin bisa lecet lusuh. Mereka baru mau masuk ke pasar-pasar lagi dan sontak ramah dengan orang-orang kecil pada detik-detik menjelang pemilu demi mempertahankan kursi kekuasaan. Pasar adalah tempat menebar pesona jika mereka ada maunya. Bukan cuma pejabat kelas teri di daerah. Bahkan calon presiden di negeri ini pun memanfaatkan pasar untuk tebar pesona dan mengail dukungan suara.

Pasar adalah tempat di mana orang berkumpul. Orang dari segala lapisan. Pasar adalah isi perut. Pasar merupakan sumber napas kehidupan meski banyak orang yang punya kewenangan kerap menomorduakan pasar. (dionbata@yahoo.com)

Yang tak terpublikasikan Pos Kupang. Senin, 4 Juli 2011. Akhir perjalanan BETA?

Mgr. Kherubim Pareira: Berniat Mundur Saat Diakon

Uskup Edmund Woga (kiri) salami Uskup Kherubim
TAHUN 2011 ini sangat istimewa bagi Uskup Maumere, Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD. Ada tiga moment spesial baginya yaitu 50 hidup membiara, 40 tahun sebagai imam dan 25 tahun menjadi gembala umat dalam jabatan sebagai uskup.

Uskup Kherubim masuk novisiat Societas Verbi Divini (SVD) tahun 1961 sehingga tahun ini genap 50 tahun hidup membiara. Hari Senin tanggal 22 Agustus 2011, Uskup Kherubim merayakan panca windu imamatnya. Beliau ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 22 Agustus 1971 di Lela, Kabupaten Sikka.

Pada tahun ini juga Uskup Kherubim merayakan pesta peraknya sebagai uskup. Kherubim diangkat Paus Yohanes Paulus II sebagai Uskup Wetebula, Sumba tanggal 25 April 1986. Pada tanggal 19 Januari 2008, Mgr. Kherubim diangkat Paus Benediktus XVI sebagai Uskup Maumere.

Ziarah panjang itu bisa bertahan hanya karena penyelenggaraan Tuhan semata. “Ini semua karena penyelenggaraan Tuhan. Kalau mengandalkan diri sendiri, saya tidak bertahan. Tuhan yang menguatkanku,” demikian Mgr. Kherubim Pareira. Banyak yang tidak tahu kalau beliau pernah menghadapi cobaan berat untuk hidup selibat.

Setelah ditahbiskan menjadi diakon, Uskup Gerulfus Kherubim mengakui pernah mengajukan pengunduran diri. Namun, berkat dorongan pembinanya, beliau bisa bertahan dan benar-benar merasa matang ketika diangkat menjadi Uskup Weetebula tahun 1986.

Hidup selibat, kata Uskup Kherubim, tidaklah mudah. Terutama karena hidup yang dijalani itu diyakini banyak orang menyalahi kodrat manusia. “Selibat itu berat. Kalau kaul kemiskinan, kita terlahir dari keluarga yang biasa hidup sederhana. Kaul ketaatan, kita sudah diajarkan disiplin itu di seminari. Tapi kemurnian selibat, itulah yang paling berat,” ungkap Uskup Kherubim.
Lalu apa rahasianya? Uskup Kherubim menyebut tentang doa. Doa, kata Uskup Kherubim, merupakan sumber kekuatan untuk tetap bertahan dalam panggilan imamat.

“Dalam setiap persoalan, doa selalu mengembalikan kita pada jalan yang benar. Dalam doa, Tuhan selalu memberikan penerang untuk bisa memecahkan persoalan yang kita hadapi setiap hari,” katanya.
Spesialis Psikologi Pendidikan dan Pedagogik dari Universitas Kepausan Salesian Roma (1973- 1974) dan alumnus Universitas Kepausan Antonianum Roma (1974-1976) ini menambahkan, motto imamat: Tuhanlah Kekuatanku, Madahku dan Keselamatanku (Mzm. 118: 14) selalu menjadi lilin penerang jalannya. “Motto ini tetap jadi jiwa panggilan hidup saya,” ujarnya.

Ketika diangkat sebagai uskup di Sumba, Mgr. Kherubim memilih motto: Ut Omnes Unum Sint atau Supaya Semua Orang Bersatu (Yoh 17:21). Motto ini lahir dari kenyataan masyarakat Sumba yang beraneka ragam, baik dari segi budaya maupun agama. Uskup pertama di Pulau Sumba itu mengaku, kesulitan pada awal karya misi di Sumba yakni kuranngnya tenaga imam pribumi. Kekurangan imam ini membuat imam-imam bekerja ekstra. Satu orang imam bahkan harus melayani tiga paroki dalam bentangan wilayah yang sangat luas.

Kehadiran putera kelima pasangan Yulius Aloysius Pareira dan Ibu Elisabeth da Iku Pareira sungguh membawa perubahan bagi keberadaan seminari Sinar Buana Sumba. Uskup Kherubim mendorong lahirnya banyak calon imam pribumi. Selain itu, beliau mengirimkan calon-calon imam pribumi studi di Seminari Ritapiret, Maumere.

Usaha awal perjalanan misi di Sumba, kata Uskup Gerulfus Kherubim, yakni menguatkan kapasitas pelayan. Sebab pada waktu itu, jumlah imam projo hanya dua orang. Sedangkan paroki berjumlah 13 buah, dengan jumlah umat Katolik 42. 000 jiwa. Imam-imam redemtoris belum bisa mememehuni kebutuhan pelayanan bagi para umat
yang jumlahnya begitu banyak hingga ke Sumbawa Besar. Untuk memenuhi pelayanan di paroki, Uskup Kherubim mendapat dukungan imam-imam Serikat Sabda Allah (SVD).

Jumlah umat di Keuskupan Weetabula selepas Uskup Kherubim pada tahun 2008 sebanyak 153.000 jiwa. Perkembangan itu sejalan dengan suburnya panggilan imamat di sana yang semakin hari semakin bertambah. Uskup Gerulfus juga telah mengundang banyak tarekat religius wanita dan laki-laki, yakni ADM, CSSR, CIJ, SVD, SDB, OCD, PRR, Alma dan berbagai tarekat yang lainnya untuk berkarya di Sumba. Kehadiran beberapa tarekat religius telah mendukung pelayanan imam-imam redemtoris yang sudah lebih awal berkarya di Sumba.

Sebagai seorang guru, Uskup Kherubim mengenang sejumlah orang penting hasil didikannya puluhan tahun lalu seperti Benny K Harman (anggota DPR RI), Joni Plate (pengusaha sukses di Jakarta),Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng, Pr, Uskup Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr, Romo Sipri Hormat di Ritapiret, Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula. Didikan ketat di seminar Kisol, kata Uskup Kherubim, telah membentuk lulusannya sebagai manusia yang mandiri dan sukses dalam berbagai lapangan hidup.

Moment pancawindu imamatnya tahun ini, kata Mgr. Kherubim, merupakan kesempatan bersyukur karena bisa melalui beratnya pelayanan sebagai uskup dan imam. Beliau juga bersyukur dan berterima kasih terhadap orang-orang yang menyertai perjalanannya sebagai imam dan uskup selama puluhan tahun. (feliks janggu)


Data Diri
N am a : Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD
Tempat/ Tanggal Lahir : Lela, 26 September 1941
Pendidikan Terakhir : Licientiat Filsafat dengan Spesialisasi Pedagogik
Pekerjaan: Uskup Weetebula (1986-2008), Uskup Maumere (2008-sekarang)

Data Keluarga
Nama Ayah : Yulius Aloysius Pareira ( meninggal tahun 1963 )
Pekerjaan Terakhir : Penilik Sekolah Dasar Wilayah II Flotim
Nama Ibu : Elisabeth da Iku Parera ( meninggal tahun 1999)
Pekerjaan Terakhir : Ibu Rumah Tangga
Saudara Kandung : Ada 15 bersaudara dari Bapak dan Ibu yang sama. Tiga orang meninggal waktu masih bayi (2 perempuan dan 1 laki-laki), 12 orang hidup sampai dewasa/berkeluarga : 7
orang laki-laki ( 1 meninggla thn 2004) dan 5 orang perempuan (1 orang meninggal
tahun 2002). Uskup Kherubim anak ke 6 dari 15 bersaudara atau anak ke 5 dari 12 bersaudara.

Data Pendidikan
SD : Kelas 1 : ALS di Maumere, 1947-1948
Kelas 1-2 : ALS (Algemene Largere School) di Ende, 1948-1950
Kelas 3-5 : SR (SD) K Lela I : 1950-1953
Kelas 6 : SR Larantuka I : 1953-1954
SMP : SMP Seminari San Dominggo Hokeng, 1954-1957
SMA : SMA Seminari St. Yohanes Berchmans Mataloko, 1957-1961
Novisiat SVD Ledarero, Maumere : 1961-1963
Kaul I : di Ledarero tanggal 20 Agustus 1963
Studi Filsafat di Seminari Tinggi St. Paulus Ledarero, 1963-1965.
TOP ( Tahun Orientasi Pastoral )di Seminari Pius XII Kisol, 1965-1967
Studi Theologi di Seminari Tinggi Ledarero, 1967-1971

KAUL KEKAL : Di Ledalero 8 Desember 1970
Ditahbiskan Imam 22 Agustus 1971 di Lela
Melanjutkan studi di Roma pada Universitas Kepausan Salesian 1973-1974,
Universitas Kepausan Antonianum, 1974-1976. Dalam bidang Psikologi pendidikan
dan Pedagogik

Pekerjaan/Tugas
Pengajar dan pendidik di SMP Seminari Menengah Pius XII Kisol, 1972-1973
Pengajar dan Pendidik si SMA Seminari Pius XII Kisol, 1977-1981
Dosen pada APK Ruteng ( Akademi Pendidik Katekis) 1981-1986

Jabatan
Pembantu Prefek SMP Seminari Pius XII Kisol, 1972-1973
Prefek SMA Seminari Pius XII Kisol, 1977-1978
Rektor dan Direktur Seminari Menengah Pius XII Kisol, 1978-1981
Wakil Provinsial SVD Ruteng, 1978-1982
Direktur APK Ruteng, 1981-1982
Provinsial SVD Ruteng, 1982-1986
Uskup Weetebula : diangkat menjadi Uskup oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1986, ditahbiskan 25 April 1986.
Uskup Maumere : Diangkat Oleh Paus Benediktus XVI, 19 Januari 2008

Jabatan di KWI ( Konferensi Wali Gereja Indonesia)
a. Anggota Dewan Moneter KWI, 1988-sekarang
b. Bendahara KWI/ Ketua Dewan Moneter KWI, 1994-2000
c. Bendahara KWI/ Ketua Dewan Moneter KWI 2006-

Motto Imamat : Tuhanlah kekuatanku, madahku dan keselamatanku (Mzm. 118:14).
Motto Uskup : Ut Omnes Unum Sint = Supaya Semua Orang Bersatu (Yoh . 17:21)

Harian FloresStar Minggu, 21 Agustus 2011 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes