Juara Kampung yang Tidak Kampungan

 ENDE, kota tua bersejarah, kota di Pusat Nusa Bunga, kota pelabuhan terbesar di selatan Pulau Flores hari-hari ini tampil genit. Laksana gadis montok yang memasuki puber pertama, Ende sibuk merias diri. Bak perawan yang mulai tahu makna asmara, Ende lincah sekaligus resah menyongsong datangnya 266 kumbang dari 14 daerah Flobamora.    Perse, lapangan bopeng di pusat kota kini marak dengan umbul dan bendera, telah tumbuh rumput-rumput halus dan tak ada lagi kelikir dan pasir. Juga tak ada lagi kambing jantan dan betina bekeliaran bebas di sana seperti hari-hari silam. Lapangan Perse sudah siap menjadi arena perang peserta El Tari Memorial Cup 1999. Pesta akbar sepakbola NTT di ujung abad ke-20 di awal milenium baru.
   
Stadion Marilonga di sisi barat Kali Wolowona pun tampak anggun. Stadion (mini) satu-satunya itu terlihat lebih cakep dari penampilan yang lalu setelah sisi-sisinya yang lusuh diberi sedikit sentuhan. Ada kesan tergesa-gesa menyimak posturnya, namun baguslah buat ata (orang) Ende Lio Sare yang seperti sesamanya di bagian lain negeri ini- belum sepenuhnya pulih dari krisis multi dimensi.

    Dua lapangan siap pakai adalah syarat minimal yang mesti dipenuhi guna menggelar kejuaraan sepakbola sekelas El Tari Memorial, turnamen paling tua dan telah melegenda bagi rakyat NTT. Dan Ende setidaknya telah menyediakan sarana tersebut dengan segala keterbatasan dan kelebihannya. Kelebihan Stadion Marilonga, penonton bisa masuk tertib dan teratur, namun kurang leluasa menghirup udara segar. Menghirup udara segar selebar paru-paru ada di Lapangan Perse. Cuma bagi pemain, petugas keamanan pun panitia, awasilah penggila bola yang senang menonton, tapi kurang suka membayar tiket masuk.

***
    UNTUK apa Pengda PSSI NTT menggelar agenda dua tahunan ini? Dan untuk apa Pemda dan masyarakat Kabupaten Ende bersibuk-ria menguras otak dan tenaga menjadi penyelenggara? Bukankah sepakbola NTT tak pernah berjalan ke depan? Bukankah sepakbola Flobamora cuma senang jalan-jalan di tempat? Lolos ke PON pun begitu sulit. Tahun ini malah batal ikut Pra PON XV tahun 2000 karena alasan macam-macam, cenderung klasik. Juara El Tari Memorial Cup 1997, PSN Ngada, toh cuma bangga sebagai juara kampung sendiri, cuma riang menyimpan piala di kota dingin Bajawa selama dua tahun terakhir. Sepanjang sejarah El Tari Memorial Cup sejak 1969, tim juara belum sekalipun bisa berbicara di pentas nasional. NTT kemudian menjadi begitu terpencil, terasing dalam jagat persepakbolaan Indonesia.

    Dan bukankah Kabupaten Ende melalui Perse (Persatuan Sepakbola Ende) tak sekalipun meraih hasil terbaik di ajang kompentisi ini? Perse bukan tim bermental juara. Perse begitu mudah kandas, meskipun beberapa langkah lagi ia menggapai puncak. Cukup sering anak-anak Ende Lio lebih lihai merangkai kata-kata indah ketimbang piawai memainkan bola di kaki mereka. Tetapi lupakan semua itu, karena benang kusutnya tak sanggup dituntaskan dalam sehari! Kita salut kepada pengurus Pengda PSSI NTT yang setia menggelar agenda dua tahunan. Kita bangga pada Ende yang baru pertama kali berusaha menjadi tuan rumah yang baik dari kejuaraan ini.

    Bagi 3,5 juta jiwa rakyat NTT yang saya percaya sekitar 75 persen  merupakan penggila bola, Kejuaraan El Tari Memorial Cup tak sekadar indikator prestasi daerahnya. Kejuaraan  ini - sebagaimana digagas  "Bapak NTT" El Tari (alm), merupakan medium merekatkuatkan tali-tali emosi Flobamora, ajang mentautkan persahabatan dan persaudaraan, arena menjadikan putra-putri NTT tidak berpikir dan bertindak sebagai anak Alor, Lembata, Rote, Sabu, TImor, Flores atau Sumba. Lewat El Tari Memorial Cup mereka mesti bicara dalam langgam dan nada anak bangsa NTT melalui keterampilan kaki di lapangan hijau. Momentum ini menjadi penting karena kita (baca: NTT) baru saja mulai mengobati beragam krisis, baru berusaha merajut lagi persaudaraan yang sempat terkoyak, di antaranya, setelah insiden Minggu kelabu 8 Februari 1998 di Ende, tragedi Kamis berdarah 5 November 1998 di bumi Pada Eweta Sumba Barat, prahara Kupang di penghujung November setahun silam, perang tanding di beberapa tempat, gempuran belalang di Timur Sumba serta keletihan menjadi ayah dan ibu ratusan ribu pengungsi Lorosae.

Itu berarti, sekalipun turnamen ini cuma berujung "juara kampung NTT' karena kepopulerannya toh sebatas teritori NTT, tapi tidak boleh bermental dan berwatak kampungan! Sebanyak 266 pemain dari 14 daerah tingkat II hendaknya benar-benar main bola, bukan main tangan di wajah atau lambung lawan, main kaki di leher dan pantat, main tanduk ke jantung atau perut sahabatnya. Itu berarti juga seorang penonton cukup duduk manis, tapi boleh menatap jalang, bukan main abu atau batu-batuan. Bolehlah bela tim daerahmu habis-habisan di Ende, kota dengan 70 ribu penduduk multi ras, karena kodrat kita adalah plural. Asalkan jangan lupa diri. Kita tidak mentabuhkan SARA, cuma salah mengurus SARA, petakalah yang kita panen. Kita semua akan susah dan rasanya kita sudah sangat letih dan penat karena salah urus itu.

Dalam bahasa olahraga, mari kita junjung fair play sekalipun kita hanya bermain bola di Kampung Ende, bukan Wembley, tanah leluhur sepakbola. Sebab untuk bermain bola yang baik, kita tidak harus menjadi Ronaldo, Gabriel Omar Batistuta, Alessandro del Piero atau Roberto Baggio. Dengan nama semisalnya Robert Rega, Aleks Pera atau Gabriel Dala, sahabat saya itu pun, kita bisa bermain bola sesuai standar global. Karena rule of the game sepakbola berlaku sama di Pulau Ende, Pulau Pura dan Pulau Sisilia, di Besikama, dan Brussel, Raijua pun di Rio de Janeiro, Brasilia.

Sanggupkah El Tari Memorial Cup 1999 di Ende menghasilkan juara kampung yang tidak kampungan? Mimpi saya semalam berkata bisa, cuma kita tunggu bersama realitas sepanjang 25 November 5 Desember 1999. Selamat datang para seniman kulit bundar dari 14 kabupaten. Datanglah cepat ke kampung ine ame, weta dan eja. Semilir angin dari Puncak Gunung Ia, Meja, Kengo dan Wongge, riak manja buih ombak di Pantai Nanganesa dan Nangaba sudah menanti tak sabar kehadiran Anda, mari bertanding di Bumi Tiga Warna.  **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 20 November 1999.  Artikel ini dibuat menjelang kejuaraan sepakbola El Tari Memorial Cup di Ende tanggal 25 November  hingga  7  Desember 1999. Kejuaraan yang berlangsung sejak tahun 1969 ini tergolong paling akbar di Propinsi NTT.

Gurihnya Woku Burung Weris di Kotamobagu

Woku Burung Weris
Bagi pengemudi yang suka ngebut mungkin Jalan AKD selepas dari Kotamobagu menjadi 'sirkuit' yang pas. Namun bagi pecinta makanan, ada baiknya mengingatkan kepada pengemudi untuk berjalan perlahan.

Selain demi keselamatan, ada tempat makanan yang sayang untuk dilewatkan.
Ya, hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari Kelurahan Mongkanei, Kecamatan Kotamobagu, ada rumah makanan yang menawarkan menu utama dari burung Weris. Sejak berdiri tahun 2003, Rumah Makan New Putri Moonow, menyajikan menu makanan berbahan utama hewan berbulu warna coklat itu.

"Dari pemilik pertama sampai kepada saya, Weris tetap jadi andalan. Dua tahun lalu saya membeli tempat ini," ujar Salma Mokodompit yang mengelola rumah makan tersebut saat berbincang-bincang dengan Tribun Manado di rumah makan yang berada di Desa Kopandakan II, Kabupaten Bolmong, Selasa (10/12/2013).

Salma sebenarnya tak hanya menjual menu berbahan utama burung itu saja. Ada menu lainnya seperti sogili, udang, ayam atau beragam ikan laut. Namun menu  Weris tetap menjadi favorit bagi pengunjung rumah makan itu. "Dari 10 orang, delapan di antaranya biasanya memesan Weris," kata dia.

Pengunjung ke rumah makan tersebut tidak tetap. Namun Salma menyebutkan pemesan menu Weris antara 30 sampai dengan 50 porsi. Wakil Bupati Bolmong Yanny R Tuuk termasuk satu di antara yang menggemari menu  Weris. "Beliau sangat menyukai diwoku dan pedas," kata seorang pelayan di rumah makan itu. Salma mengaku tak pernah kesulitan mendapatkan pasokan bahan utamanya. Para pemburu burung Weris sudah tahu kemana akan menjual hasil tangkapannya.

"Setiap hari selalu ada yang datang. Pernah ada pasokan  sampai 100 ekor dalam satu hari. Sekarang yang ada di kandang sekitar 20 ekor," kata dia.

Para pemburu biasanya memikat Weris dengan umpan seperti jagung. Ada juga yang memakai jala. Burung tersebut masih banyak berkeliaran di sawah-sawah dan ladang di daerah Lolayan. Satu ekor Weris, Salma hargai Rp 10 ribu dari tangan pemburu. Setelah menjadi makanan yang siap santap, satu porsi menu ini seharga Rp 40 ribu.

Pengunjung bisa memilih digoreng saus, diwoku, atau goreng tepung untuk penyajianya. Dengan bumbu mana pun, daging kenyal burung liar itu tetap terasa nikmat. Salma menjelaskan ada perlakuan khusus bagi hewan ini setelah ditangkap. Hewan ini tak bisa lama-lama dibiarkan dalam kandang.

"Kami harus segera memotongnya, karena setelah ditangkap, Weris tak suka makan. Di sisi lain, hewan ini sangat aktif bergerak. Kalau dibiarkan, maka hewan ini pun semakin kurus dan lemas. Setelah dipotong, agar tahan lama kami masuk ke pendingin," kata Salma.

Ham Tobuon, pengelola pertama rumah makan ini mengatakan, banyak sekali pengunjung yang datang dari daerah lain untuk merasakan daging Weris. "Bukan hanya dari Bolmong, tapi juga dari Manado atau daerah lainnya. Para pejabat di sini pun banyak yang menyukainya," kata Ham. (edi sukasah)

Sumber: Tribun Manado 11 Desember 2013 halaman 1

Harian Kompas Gelar Jelajahi Sepeda Manado-Makassar

Jannes dan tim di Harian Tribun Manado 10-12-2013
MANADO - Manado dipilih menjadi lokasi awal para pesepeda yang akan menelusuri Sulawesi pada Agustus 2014 mendatang. Diperkirakan perjalanan itu memakan waktu hingga dua pekan saat rombongan tiba di Makassar, Sulawesi Selatan.

Jelajah Sepeda Manado-Makassar inilah yang sementara dimatangkan tim survei Harian Kompas yang tiba di Manado, Selasa (10/12/2013). Tim yang beranggotakan empat orang ini sempat singgah di kantor Harian Tribun Manado di Jalan AA Maramis, Kaigari II, Mapanget.

Jannes Eudes Wawa selaku ketua panitia mengungkapkan, jelajah sepeda ini merupakan kali keenam yang digelar Harian Kompas. Sebelumnya, pada tahun ini, digelar di Sumatera dengan rute Sabang hingga Padang.

Jannes menjelaskan, olahraga bersepeda mulai populer sejak 2008. Banyak kalangan menengah ke atas mulai menggandrungi olahraga yang ramah lingkungan itu. Pada awal populernya, sejumlah kegiatan funbike digelar. Namun kalangan pesepeda mulai jenuh karena rute yang kurang menantang. Mereka pun mulai bersepeda dengan menjelajahi daerah-daerah yang menantang.

Tantangan dalam bersepeda itu pula yang akan tersaji dalam rute Manado-Makassar. Khusus di Sulawesi Utara, daerah yang akan dilintasi adalah Manado, Tomohon, Minahasa, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow Timur, Kotamobagu, dan Bolaang Mongondow Selatan. Dari situ rombongan akan menuju Gorontalo dan menyeberangi Teluk Tomini untuk singgah di Poso, Sulawesi Tengah.

Kata Jannes, sekitar 50 pesepeda dari berbagai komunitas sepeda ikut dalam kegiatan tersebut. Jumlah tersebut belum termasuk rombongan pendamping yang diperkirakan berjumlah 30 orang sehingga keseluruhan berjumlah 80 orang.

Sejumlah titik lokasi akan menjadi persinggahan rombongan. Selain singgah, tim juga akan bekerja sama dengan pemerintah daerah yang dikunjungi untuk menggelar pengobatan gratis.
Kehadiran tim survei Jelajah Sepeda Manado-Makassar diterima oleh Manager Produksi Dion DB Putra, Korlip Charles Komaling, Redaktur Kota Maximus Geneva, Kordinator Iklan Danny Wurangian, Kordinator Promosi Windy Hapsarany dan Promosi Fanny Nangoi.

Dion menjelaskan, Tribun Manado akan mendukung penuh dan membantu kebutuhan untuk kegiatan tersebut agar berlangsung sukses.(erv)

Sumber: Tribun Manado

Tak Ada Pesta di Copacabana

NASIONALISME sekali lagi membuktikan kesaktiannya di lapangan bola. Tim Perancis yang underdog, pasukan “Ayam Jago” yang tidak dijagokan, ternyata dengan gagah perkasa dapat merobohkan raksasa. Dalam semangat nasionalisme warisan Napoleon Bonaparte dan roh bola milik Jules Rimet, tim multiras Perancis menaklukkan juara bertahan Brasil 3-0 di Stade de France 12 Juli 1998. Samba gagal meraih gelar kelima dari enam kali masuk final. Gagal mempertahankan gelar dan mitos cuma Brasil yang rebut Piala Dunia di Eropa.

    Brasil 98 mabuk oleh keyakinan anak Perancis bahwa sejarah biasanya terulang (I ‘Histoire se repete). Hari kelabu di Stadion Maracana Rio de Janeiro 16 Juli 1950 terulang di St. Dennis 12 Juli 1998. Empat puluh delapan tahun lalu di hadapan 200.000 pendukungnya, Brasil ditaklukkan Uruguay 2-1 di final. Padahal saat itu (sama seperti tahun 1998 di Perancis) dunia yakin Brasil akan menang. Kala itu, putaran final menggunakan sistem liga dan Brasil hanya memerlukan hasil seri untuk menjadi juara. Over optimis menjadi bumerang. Pada partai puncak Samba kalah. Kekalahan sangat menyakitkan karena berlangsung di rumah sendiri.

    Brasil 1998 emang tidak bermain di kandang sendiri. Tetapi Brasil 98 sangat yakin akan menyamai rekornya juara World Cup dua kali berturut-turut, 1958 dan 1962. Mario Zagallo adalah pelaku sejarah 1958 di Swedia dan 1962 di Chili bersama sang maestro, Pele. Tetapi takdir Mario rupanya hanya menang sebagai pemain, bukan pelatih. Sama juga seperti Pele yang salah lagi meramal nasib Brasil.

    Menyimak duel 2x45 menit di  St. Dennis, anak asuh Aime Jacquet sangat pantas memposisikan dirinya sebagai negara ketujuh yang memenangkan Piala Dunia setelah Uruguay (1930, 1950), Italia (1934,1938, 1982), Brasil  (1958, 1962, 1970, 1994), Jerman (1954, 1974, 1990), Argentina (1978, 1986), Inggris (1966) dan Perancis (1998). Babak final yang disaksikan sekitar 80.000 penonton itu merupakan penampilan terbaik Perancis selama France 98. Di luar dugaan, Perancis bermain sangat rileks, atraktif dan sangat menyerang dalam format 4-3-2-1. Didier Deschamps dkk seolah-olah tidak sedang berperang pada partai paling menentukan yang biasanya sarat dengan beban psikologis.

Kondisi batin ini berlawanan dengan tim Samba. Sejak kick-off dibunyikan wasit asal Maroko, Said Relqola, Brasil tidak pernah mampu keluar dari tekanan mentalnya. Bahkan sejak menit ke-68 ketika Perancis hanya merumput dengan sepuluh orang menyusul kartu kuning kedua untuk Desailly yang mengganjal Cafu. Dengan kata lain, kekalahan Brasil pertama-tama karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.

    Frustrasi hebat menyebabkan organisasi permainan tim Zagallo amburadul. Kuartet blok tengah, Dunga, Sampaio, Leonardo dan Rivaldo laksana macan ompong. Ronaldo yang kurang fit hanya sekali mendapat bola matang di kotak penalti tetapi tembakannya jatuh tepat dalam pelukan si botak Barthez yang makin piawai. Bebeto persis boneka bengong dan goyang Samba hilang dalam sentuhan satu dua gelandang Perancis, Zidane, Djorkaeff, Petit dan Kerembeu. Dua gol dari kepala gundul Zidane hasil umpan sepak pojok dan satu gol Petit menegaskan lagi bahwa sejak zaman Garincha, Brasil tak pernah bagus dalam pertahanan akhir. Mohon maaf Samba, Anda harus lengser dengan kekalahan terburuk selama 68 tahun keikutsertaanmu di Piala Dunia. Menangislah sepuas hatimu putra-putri Amazone!

    Dan, Aime ternyata tidak salah mencoret sang “Raja” Eric Cantona dan pemain tertampan di negerinya, David Ginola. Tanpa Contona, Perancis menjadi juara dunia meskipun para algojonya tetap mandul sampai akhir pesta yang menampatkan Michel Platini sebagai satu-satunya manusia paling bahagia pada 12 Juli ’98. Pemain belakang mencetak gol pun kini jadi model ciptaan Jacquet. Jacquet secara tidak langsung sedang mengolok Brasil yang cuma memiliki penembak terbaik, bukan palang pintu yang solid.

***

    SEPANJANG hari Minggu (12/7/1998), hujan tak henti-hentinya mengguyur Rio de Janeiro, Ibu kota Brasilia. Hujan itu berlangsung sejak Minggu pagi, demikian laporan AFP. Hujan seakan berkata tentang nasib malang, memberikan tanda-tanda akan datangnya bencana. Minggu malam (12/7/1998) atau Senin dini hari waktu Indonesia, dunia menyaksikan kejatuhan Samba, tangisan  Zagallo dan mata Ronaldo yang merah serta Dunga yang mengakhiri karir dengan duka.

Hujan di Rio belum berhenti sampai hari ini. Air bening itu mengalir deras melewati sungai Rio Paraiba, terus ke timur menuju muara Sao Joao da Bara di bibir Samudera Atlantik. Brasil hari ini laksana sebuah negeri yang telah mati. Di mana-mana hanya ada kesunyian dengan tangisan pilu yang tertahan.

Pesta sejuta warga yang disiapkan pemerintah Kota Rio di pantai indah Copacabana batal sudah. Di Copacabana  tak ada goyang Samba yang diperlihatkan para gadis pirang dengan buah dada montok tanpa bra, tak ada lagi lirikan manja mata elang perawan Latin dalam busana minim menggairahkan. Selamat jalan Samba. Sampai jumpa 2002! **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi  Selasa, 14 Juli 1998. Artikel ini dibuat  setelah Perancis mengalahkan Brasil di babak grandfinal Piala Dunia 1998 dengan skor 3-0.

Ketika Dunia Cuma Mendukung Brasil

 “BRASIL akan menang  melawan Perancis di grandfinal malam ini". Laksana koor paling kompak yang pernah saya dengar, kalimat itu meluncur begitu lugas dari bibir rekan-rekan di Redaksi Pos Kupang yang hampir 99 persen adalah penggemar berat tim Samba. "Mustahil kalau Brasil kalah," kata Tony Kleden. "Dari dulu saya cuma percaya Brasil," ujar Ana Djukana yang rela begadang setiap kali Brasil-nya tampil di France 98.

    "Tidak ada juara baru. Brasil akan juara kelima kalinya," demikian Vico Patty, si kartunis. Yulius Lopo yang perhatiannya pada sepakbola biasa-biasa saja ternyata juga pengagum Brasil. Sama seperti dua pendekar desk olahraga, Eugenius Moa dan Kanis Jehola. Pokoknya hampir semua rekan dan rekanita karyawan Pos Kupang yang sempat saya temui selama tiga hari terakhir, umumnya yakin benar bahwa Brasil akan mempertahankan gelarnya. Pendapat lain justru diungkapkan Fery Jahang dan Thomas Todo Tokan. Padahal sehari-hari dua sobat ini biasanya cuek berat pada sepakbola. Tapi mereka justru memilih Perancis sebagai pemenangnya. Jika diadakan voting, jelas Fery dan Thomas kalah telak.

    Rekan Fery dan Thomas dan mungkin Anda yang menjagokan Perancis di St. Dennis, Senin dini hari Wita (13/7/1998), memang harus berjiwa besar jika suaramu nyaris hilang dalam gemuruh dukungan yang maha luas bagi tim Samba. Saya ingin melukiskan lagi bahwa psikologi dunia hari ini seolah-olah hanya mendukung Brasil. Dunia tidak yakin Perancis akan mengukir sejarah sebagai negara ketujuh yang memenangkan World Cup. Dapat dimengerti karena Brasil telah menjadi idola anak bangsa di bawah kolong langit.

    Jogo bonito putra-putri Amazone telah membuat banyak insan jatuh hati padanya. Prestasi juara empat kali dari lima kali masuk final serta komitmen yang luar biasa pada sepakbola indah sekaligus menyerang, memahat nama Samba begitu anggun di kalbu anak-anak dunia. Brasil adalah primadona. Dan psikologi primadona biasanya tanpa cacat. Untuk mereka yang kita idolakan, hanya boleh sisi baik yang tampil. Yang tega menistakan,jangan coba-coba mendekat.

***

    TIM Brasil 1998 memang sangat siap meraih juara kelima sekaligus mempertahankan mitos cuma Brasil, tim Amerika yang juara di Eropa seperti tahun 1958 di Swedia. Meski sempat takluk 1-2 melawan Norwegia di penyisihan grup A dan gawang Taffarel kebobolan tujuh kali sejak 10 Juni 1998, pasukan Zagallo cukup sempurna dan satu kelas di atas Perancis. Kematangan dan kekompakan tim, keterampilan individu pemain serta mental juara juga lebih teruji. Sepertinya hanya nasib yang dapat mengalahkan Samba 98.

    Namun, bola itu bundar dan perang di St. Dennis belum berakhir, sehingga sangat tidak adil jika mengabaikan sama sekali kekuatan Perancis. Ibarat pepatah, "Tak ada gading yang tak retak", Brasil 98 juga memiliki keterbatasan. Kebobolan tujuh gol adalah cermin betapa rapuhnya pertahanan Samba. Bandingkan dengan gawang Fabien Barthez yang cuma kemasukan dua gol sampai babak semifinal. Kebiasaan Cafu dan Roberto Carlos yang ikut menyerang lewat sayap mengandung titik lemah. Lewat posisi inilah, Brasil akan diobrak-abrik gelandang  berdaya jelajah tinggi seperti Zidane, Djorkaeff dan Petit.  Striker tim Les Bleus seperti Henry dan Trezeguet juga bisa lebih bebas karena hanya menghadapi dua pilar, Aldair dan Junior Baiano yang disiplin menjaga wilayahnya.

    Persoalan Perancis yang akan memilih formasi 4-3-2-1 hanyalah kemandulan lini depan yang masih memusingkan Aime Jacquet sampai hari ini. Jika kecolongan gol terlebih dahulu, sulit bagi Perancis membalas karena pemain Brasil umumnya sama bagus saat menyerang maupun bertahan. Tetapi jangan lupa, tim "Ayam Jantan" punya gelandang dan pemain belakang yang piawai mencetak gol. Gol emas Laurent Blanc ke gawang Paraguay dan dua gol fantastis Lilian Thuram yang mengubur ambisi Kroasia merupakan masukan bagi Zagalo untuk mengawasi aksi penyusunan mendadak dari belakang. Boleh jadi, Henry dan Trezeguet sekadar pengganggu Aldair, Cafu, Baiano dan Carlos. Pada waktunya Djorkaeff dan Zidane berperan menjadi algojo. Atau Petit, Lizararu dan Thuram yang memiliki tendangan voli cukup baik dari second line.

    Tanpa Blanc yang terhukum kartu merah, lini belakang Perancis akan sedikit goyah meski ada Franck Lebouef. Desailly, Thuram dan Lizararu harus ekstra membendung laju Ronaldo, Bebeto, Rivaldo, Leonardo, Denilson dan Sampaio yang makin kompak kerja samanya. Tapi kelemahan lain Brasil yang akan main dalam pola 4-4-2 adalah kurang ngotot jika sudah unggul. Ini berbahaya karena tuan rumah yang underdog itu akan menyerang total untuk membalas.

    Dukungan penonton pasti ikut menaikkan moral Perancis, meski yang mereka hadapi juara bertahan. Dalam suasana bahagia karena pertama kalinya masuk final, nasionalisme yang pernah ditanamkan Napoleon Bonaparte akan membakar hati pemain Perancis bermain sekuat mungkin demi kejayaan bangsa. Dan sejarah telah memberi bukti, dalam nyala api nasionalisme, sebuah tim underdog dapat menumbangkan raksasa. Jadi, berhati-hatilah Brasil. Bukan muskil dan mohon maaf jika Anda terpaksa lengser dari tampuk kekuasaan tertinggi.

Pertemuan kedelapan antara tim Amerika vs Eropa malam nanti belum tentu untuk kemenangan Samba. Seluruh anak Eropa, meski mungkin cuma diam-diam dalam hatinya, mendambakan Perancis menegakkan kehormatan benua mereka. Siapa tahu Perancis keluar sebagai juara baru dan akan menjadi berita paling heboh di ujung France 98. Jika Brasil yang menang, dunia toh hanya sekadar berkata: "Ah, itu kan sudah kami duga sebelumnya". **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 12 Juli 1998. Artikel ini dibuat menjelang pertandingan final Piala Dunia 1998 antara tuan rumah Perancis melawan juara bertahan, Brasil tanggal 12 Juni 1998.

Si Hitam memang Manis

Lilian Thuram (ap)
HIDUP tak selamanya berjalan lurus, benar dan adil. Cukup sering kehidupan justru menampilkan ketidakadilan. Ketidakadilan itu terasa makin mengerikan karena dalam banyak sisi, manusialah pelaku utamanya. Warna kulit bisa dikedepankan sebagai misal dalam soal ini. Yang berkulit putih merasa diri seolah-olah paling tinggi harkat dan martabatnya ketimbang kulit kuning, sawo matang apalagi si hitam legam. Abad ke-20 dunia akan mengenang Nelson Mandela, putra Afrika Selatan yang rela mengorbankan dirinya demi melawan struktur sosial yang tidak adil itu!

Sejak berabad-abad yang lalu, perbudakan di Eropa dan Amerika menjadi masa paling kelam dalam sejarah dunia karena warna kulit telah menistakan manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi martabatnya. Harga manusia  terutama yang berkulit gelap di masa itu tidak lebih baik daripada seekor binatang.

Masa kelam itu memang sudah lewat lama sekali, tetapi benih-benih rasialis harus diakui masih ada sampai detik ini dalam konteks dan formula yang berbeda. Dunia sepakbola  yang amat mengagungkan fairness ternyata tidak luput dari persoalan itu. "Hei, hitam kau!" Demikian teriakan sinis kapten tim Bulgaria, Hristo Stoichkov kepada pemain Perancis, Marcel Desailly pada Piala Eropa 1996 di Inggris.

Hati lembut Desailly, si anak Perancis keturunan Ghana Afrika ini sangat sakit meskipun setelah menyadari kesalahannya, Stoichkov langsung minta maaf. Desailly sulit mengerti karena di saat dunia begitu mengagungkan hak asasi manusia, di saat bangsa-bangsa Eropa yang mengklaim diri sebagai pelopor persamaan derajat, masih ada yang membedakan manusia atas dasar hitam dan putih, sawo matang atau kuning.

Desailly ternyata tidak sendirian menerima dampratan seperti ini. Gelandang kawakan Inggris, Paul Ince pernah merasakan perlakuan tidak adil saat ia bermain di klub Inter Milan, Italia. Orang Italia  yang konon sangat religius itu memandangnya dengan sebelah mata. Padahal nenek moyang Ince sudah lebih dari empat generasi menjadi warga negara Inggris. Dan, kepiawaian Ince sebagai pemain bola mestinya diakui secara obyektif.

Di tim Belanda, masalah rasial juga sempat mengemuka dua tahun silam. Para pemain kulit hitam seperti Patrick Kluivert, Clarence Seedorf, Edgar Davids, Winston Bogarde dan Michael Reiziger merasa perlakuan kurang adil dari Pelatih Guus Hiddink. Anak-anak hitam ini merasa Hiddink mempertimbangkan warna kulit ketika mengambil keputusan menurunkan seorang pemain dalam suatu pertandingan. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat sepakbola sejati yang menempatkan talenta dan kemampuan anak manusia di atas segala-galanya, bukan soal warna kulitnya apa.

    Melihat persoalan ini, Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) terpaksa turun tangan. Sejak usai Euro 96  (Piala Eropa 1996) program kerja utama UEFA salah satunya ialah perang terhadap rasialisme dalam sepakbola. Kampanye anti rasialisme tak henti-hentinya dikumandangkan dalam setiap kejuaraan resmi antarnegara maupun kompetisi liga dalam negeri. Hasilnya sudah mulai tampak selama France 98.

Betapa banyak anak kulit berwarna yang justru menjadi pemain kunci kesebelasan negaranya masing-masing. Kecuali Belanda yang punya pemain bintang seperti Kluivert, Davids, Reiziger dan Seedorf dan Inggris yang memiliki Paul Ince, Ian Wright dan Sol Campbell, tuan rumah Perancis justru lebih fanatik mendukung kampanye luhur tersebut.

***

DUA gol Lilian Thuram ke gawang Kroasia, Kamis dini hari wita (9/7/1998), lebih tepat dilukiskan sebagai buah paling manis dari taman dunia persaudaraan dan kasih tanpa perbedaan warna kulit. Si hitam Thuram adalah anak imigran Afrika kelahiran 1 Januari 1972. Di masa silam, status sosial nenek moyangnya tidak lebih dari hamba sahaja, budak belian kaum bangsawan Perancis. Tetapi kehormatan Perancis yang untuk pertama kalinya lolos ke final Piala Dunia setelah menunggu 60 tahun - justru lahir dari kaki cucu kaum marjinal hina dina.

Sang penguasa langit dan bumi sedang memperlihatkan kebijaksanaanNya bahwa warna kulit bukan syarat tinggi rendahnya martabat manusia. Itulah yang dengan gigih diperjuangkan Nelson Mandela, yang rela mendekam di penjara selama dua dasawarsa lebih untuk membuktikan kepada dunia bahwa perbedaan wanrna kulit itu sebuah keniscayaan.  Putih, kuning, sawo matang, hitam legam, rambut keriting, pirang atau mata biru adalah  warna-warni agar dunia tampak lebih manis. Bukankah akan sangat membosankan jika warna bumi semata-mata putih?

Lolosnya Perancis ke final untuk bertemu Brasil pada 13 Juli 1998 memang hasil kerja sama tim racikan Aime Jacquet yang apik. Tapi kalau bukan karena tembakan Thuram dua kali ke gawanag Drazen Ladic,  "Ayam Jago" harus puas menikmati duka sebagai semifinalis keempat kali. Kepahlawanan Thuran bertambah bobotnya karena dalam tim tugas utamanya bukan algojo kotak penalti. Tugas itu milik Guivarc'h, Djorkaeff, Trezeguet dan Henry. Fungsi Thuram cuma mengawal pertahanan bersama Blanc, Desailly dan Lizararu. Namun, dari posisi terbelakang itulah Thuram menyaksikan ketakberdayaan rekan-rekannya menembus solidnya pertahanan pasukan Kroasia.

Dengan keberanian yang luar biasa, Thuram naik pada saat yang tepat, berkelit dengan cerdik di antara tembok lawan lalu menembak bola dengan cermat. Jaring Ladic pun terkoyak! Gol Suker yang sempat membahagiakan Kroasia dalam sekejap berubah jadi neraka. Jangan heran bila nama Thuram  akan tercetak dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsa Perancis. Tak peduli apapun  hasil final melawan Brasil.

Thuram telah menjadi simbol kemenangan kaum hitam. Simbol keagungan martabat manusia yang satu dan sama. Dan karena itu patut dihormati. Jika sang maestro bola, Edson Arantes do Nascimento alias Pele telah mendapat gelar "mutiara hitam" Brasilia, bukankah baik adanya bila Thuram pantas mendapat sapaan kecil ini: "Si hitam itu memang manis". Pele, Mandela, Thuram. Yang hitam, yang menginspirasi umat manusia.*

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Jumat, 10 Juli 1998. Artikel ini dibuat setelah Perancis menyingkirkan Kroasia 2-1 di babak semifinal Piala Dunia 1998 berkat gol pemain kulit hitam, Lilian Thuram

Unggul karena Sama-Sama Takut

GRANDFINAL kejuaraan sepakbola Piala Dunia ke-16 memang belum tiba waktunya, tetapi Brasil dan Belanda telah memperlihatkan real final yang sesungguhnya di Stade Velodrome Marseille, 7 Juli 1998 atau Rabu dinihari Wita (8/7/1998).

Selama dua jam penonton sangat terhibur oleh aksi menawan kedua tim memperagakan kemampuan terbaik.
Hiburan itu terasa lebih bobotnya karena diselingi ketegangan yang luar biasa sejak Wasit Ali Mohamed Bujsaim (Uni Emirat Arab) meniup kick off hingga tembakan Ronald de Boer ditepis Claudio Taffarel untuk kemenangan Samba 4-2 (1-1) dalam adu penalti.
   
Rasanya belum pernah ada pertandingan sedramatis itu selama France 98 bergulir 10 Juni lalu. Sukses Argentina mengalahkan Inggris 6-5 dan kemenangan Perancis 4-3 atas Italia lewat adu penalti, juga sempat menimbulkan rasa tegang. Tetapi kadarnya tidak sebanding pertemuan Belanda vs Brasil yang hampir pasti menyedot penonton dan pemirsa terbesar selama event ini.   

    Drama itu perlu digarisbawahi karena untuk pertama kalinya tim super sekelas Brasil dan Belanda memasuki lapangan dengan perasaan takut. Keduanya sama-sama takut kecolongan. Brasil takut terhadap nama besar Belanda, demikian pula sebaliknya. Tetapi justru dalam suasana sama-sama takut itulah secara moral Brasil lebih unggul. Perasaan takut terekspresi jelas selama 120 menit. Tidak seperti menghadapi lawan-lawan mereka sebelumnya, Brasil dan Belanda malam itu tidak asal menyerang.

    Total football Belanda yang lazimnya menggempur dengan kekuatan penuh lewat aksi pemain tiga lini (belakang, tengah, depan) saat menghadapi Samba selalu menyisakan dua pemain di jantung pertahanan sendiri, Jaap Stam dan Frank de Boer. Di kubu Brasil, Aldair dan Junior Baiano tidak sekalipun berani naik sampai area penalti Oranye sewaktu Ronaldo cs berusaha mengepung lawan.

    Masuk akal bila strategi itu diambil Mario Zagallo dan Guus Hiddink. Kedua pelatih sama-sama memahami bahwa peluang yang harus dimanfaatkan hanyalah serangan balik, ketika pertahanan musuh agak longgar. Jika serangan bersifat konvesional, melalui lini tengah atau menusuk dari sayap, tidak mudah menembus lawan. Sebab kharakter Samba dan Oranye mirip sekali. Para pemainnya memiliki insting yang sama kuat untuk menyerang maupun bertahan. Sistem zona marking (pertahanan wilayah) dan man to man marking (penjagaan satu lawan satu) pun sama baiknya. Selama babak pertama dengan skor 0-0 itu, tampak nyata Brasil dan Belanda bermain agak lamban. Kesan lamban itu sebetulnya merupakan taktik pelatih yang tidak mau terpancing duluan untuk menyerang total lalu kecolongan.

    Terjadinya gol Ronaldo, pemain terbaik dunia 1996 dan 1997 pada detik ke-30 babak kedua, merupakan hasil serangan cepat dan memanfaatkan kelengahan pemain belakang Belanda, Stam, Frank de Boer dan Philip Cocu yang belum siap. Sesaat setelah wasit meniup peluit dimulai babak kedua, Rivaldo yang bergerak dari sayap kiri melihat adanya celah ini. Dia langsung memberikan umpan lambung jarak jauh kepada Ronaldo yang berdiri bebas hanya beberapa meter di luar kotak 16. Di sinilah Ronaldo memperlihatkan daya dobrak serta kekuatan larinya sambil mengocek bola dengan prima. Cocu yang berusaha menghadang kalah cepat karena Ronaldo lebih gesit memasukkan bola ke gawang lewat selangkangan Edwin van Der Sar.

    Setelah unggul 1-0 itu, Brasil tidak mau memforsir serangan karena cemas akan serangan balik Belanda. Meskipun tidak murni defensif, setelah gol Ronaldo itu para pemain Brasil memfokuskan perhatian dengan membendung laju Dennis Bergkamp dkk di lapangan tengah. Pertarungan blok tengah sangat seru dan menegangkan karena Belanda ingin menyamakan kedudukan. Didukung empat gelandang - terutama Edgar Davids yang bermain sangat baik - Belanda berkali-kali menggedor gawang Brasil. Namun kurang tenangnya Kluivert membuat banyak peluang gagal menghasilkan gol.

    Umpan akurat Ronald de Boer menit ke-52, gagal disambar Kluivert, 13 menit kemudian Kluivert juga gagal memanfaatkan umpan Bergkamp, meski dia tinggal berhadapan dengan Taffarel. Saat Belanda keasyikan menyerang, melalui counter attack Ronaldo dua kali mengancam gawang Belanda. Pada menit ke-63 tendangannya berhasil diblok Van der Sar dan kedua pada menit ke-75 ketika sontekannya cuma meluncur tipis di sisi kanan gawang Edwin.

    Menit ke-65 dan 71, Kluivert gagal lagi menanduk bola dengan tepat ke gawang Taffarel. Masuknya Pierre van Hooijdonk menit ke-75 menggantikan Boudewijn Zenden membuat konsentrasi Aldair, Baiano, Roberto Carlos dan Ze Carlos (Ze menempati posisi Cafu yang tidak main karena akumulasi dua kartu kuning) terpecah. Aldair dkk bingung mau menjaga Hooijdonk atau Kluivert di area terlarang. Terbukti saat pertandingan tinggal empat menit, Kluivert yang berdiri agak bebas sukses menanduk bola ke gawang Taffarel memanfaatkan umpan akurat Ronald de Boer dari sayap kiri Brasil. Skor 1-1 itu mengharuskan pertandingan diperpanjang 30 menit dengan sistem gol emas, tetapi kehati-hatian kedua tim yang sama-sama takut kecolongan menyebabkan tidak satupun gol yang lahir dan Brasil secara moral sudah menang pada titik ini.

    Sejarah Piala Dunia sejak 1930 telah membuktikan Brasil jarang gagal dalam adu penalti. Negara yang menempatkan sepakbola sebagai "agama" kedua itu selalu memiliki eksekutor terbaik di kotak penalti. Latihan rutin membuat anak Brasilia biasa saja sekalipun beban psikologis sangat berat pada pertandingan penting. Apa yang dilakukan Ronaldo, Rivaldo, Emerson dan Dunga ke gawang Van Der Sar amat sempurna. Sebaliknya Philip Cocu dan Ronald de Boer terkesan gugup sehingga tembakannya dengan enteng diblok Taffarel.

    Mohon maaf Belanda. Untuk kesekian kalinya. Anda harus pulang dengan tangan hampa meski di France 98 penampilanmu sangat berkesan. Dan, Samba selangkah lagi akan meraih juara kelima kalinya, mempertebal mitos hanya Brasil yang bisa juara di bumi Eropa sekaligus mempertahankan gelar. Luar biasa! **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi  Kamis, 9 Juli 1998. Artikel ini dibuat setelah pertandingan semifinal Piala Dunia 1998 antara Belanda melawan Brasil.

Menghapus Air Mata Jules

INGGRIS boleh menepuk dada sebagai tanah air sepakbola, tetapi dunia tak mungkin melupakan Jules Rimet, anak Perancis yang bekerja amat keras untuk menata organisasi Federasi Sepakbiola Internasional (FIFA) sejak awal berdirinya hingga menjadikan cabang olahraga sepakbola berkembang pesat sampai hari ini. Hampir seumur hidupnya Jules Rimet membaktikan diri untuk sepakbola, sehingga namanya sempat diabadikan menjadi tropi resmi Piala dunia selama tahun 1946-1970.     Tahun 1970 bertepatan dengan sukses Brasil memenangkan Piala Dunia untuk ketiga kalinya, Piala Jules Rimet menjadi milik tim Samba selamanya. Maka pada Piala dunia 1974, saat FIFA dipimpin Joao Havelange, piala resmi berubah menjadi Piala Dunia FIFA hingga saat ini.

    Di bawah kepemimpinan Jules Rimet (1930-1950), kejuaraan sepakbola Piala Dunia berjalan baik. Bahkan dialah tokoh utama yang sukses menggelar Piala Dunia pertama tahun 1930 di Uruguay, meskipun masih bersifat invitasi (undangan). Reputasi Jules Rimet memimpin FIFA hanya dinodai Perang Dunia II yang membatalkan putaran final Piala Dunia 1942 dan 1946. Usai perang, Jules Rimet menata kembali FIFA dan menggelar kejuaraan Piala Dunia tahun 1950. Dan pada tahun 1954, jabatan presiden FIFA diserahkan Jules Rimet kepada Rodolphe W. Seeldrayers dari Belgia.

***

    SETIAP kali mengenang  nama Jules Rimet, hati anak-anak Perancis selalu merasa teriris karena karya besar dan idealisme beliau belum terealisir sampai detik ini. Pada suatu kesempatan di tahun 1932, Jules Rimet mengutarakan kerinduannya agar Perancis memenangkan Piala Dunia. Kerinduan ini hampir terwujud saat Perancis menjadi tuan rumah Piala Dunia 1938. Jules Rimet begitu bangga ketika atim "Ayam Jantan" mengawali babak penyisihan dengan sukses dan melaju ke putaran perdelapanfinal.

    Di babak ini Perancis mengalahkan Belgia 3-1. Namun di perempatfinal, tuan rumah takluk 1-3 dari juara bertahan Italia yang akhirnya menjuarai Piala Dunia 1938 dengan mengalahkan Hungaria di final. Jules Rimet menangis karena cita-citanya tak kesampaian. Pada Piala Dunia Brasil tahun 1950, Perancis malah tidak lolos kualifikasi. Jules Rimet sangat terpukul. Dia yang begitu total menyerahkan hidupnya demi FIFA dan bola, tidak pernah menyaksikan tim Perancis menjadi juara dunia.

    Jika Jules Rimet masih ada, maka dialah makhluk paling sedih di bumi karena sampai FIFA memasuki usia ke-68 tahun, Perancis nyatanya belum pernah juara. Masuk grandfinal pun belum sama sekali. Roh Jules Rimet seolah-olah sekadar peletak dasar organisasi FIFA yang kokoh, bukan untuk kejayaan tim Perancis. Sejauh in prestasi terbaik negeri mode itu hanya sampai semifinal Piala Dunia 1958, 1982 dan 1986. Tahun 1958, Perancis dikalahkan Brasil 5-2. Tiga gol Brasil saat itu dicetak sang maestro, Pele. Di semifinal Piala Dunia 1982, Perancis dikalahkan Jerman 5-4 lewat adu penalti setelah bermain seri 3-3. Dan tahun 1986 pada masa keemasan Michel Platini, Alain Giresse, Luis Fernadez dan Jean Tigana, Perancis lagi-lagi dicukur Jerman 2-0.

    Tahun 1998 merupakan keempat kalinya Perancis masuk semifinal, suatu prestasi besar di depan publik sendiri. Artinya tinggal  selangkah lagi "Ayam Jantan" dapat mewujudkan mimpi Jules Rimet. Ibarat mendaki gunung Himalaya di bumi Hindustan, tinggal dua etape lagi Perancis dapat mengibarkan bendera di puncak tertinggi dunia. Memang bukan pekerjaan mudah bagi Didier Deshamps dkk karena mendekati puncak, jalan yang dilewati biasanya kian curam, terjal dan berisiko tinggi. Salah melangkah, berakibat fatal dan bisa dijemput maut secara tiba-tiba. Kroasia sudah menunjukkan taringnya tidak sekadar tim "Kuda Hitam" dari Balkan, tetapi salah satu tim terbaik France 98.

    Sukses mengubur Rumania 1-0 dan juara dunia tiga kali, Jerman 3-0, adalah bukti kuat betapa kejamnya pasukan Miroslav Blazevic. Mereka tak pandang bulu dan tak gentar menghadapi nama besar lawan meskipun baru pertama terjun di Piala Dunia. Dengan semangat "demi kejayaan bangsa" yang baru pulih dari perang yang memisahkan mereka dari Yugoslavia, tim Kroasia  adalah petualang sejati. Zvonimir Boban cs akan bermain tanpa beban. Jika sampai kalah sekalipun, anak-anak Kroasia tidak akan merasa kehilangan dan malu. Dunia toh akan berkata, "Bisa dimengerti karena mereka masih muda. Jam terbang belum sebanding tim Perancis".

    Rabu malam 8 Juli 1998 di St. Dennis, Kroasia akan tampil menyerang dalam pola 3-5-2. Dengan lima gelandang (Zvonimir Soldo, Asanovic, Zvonimir Boban (kapten), Stanic dan Jurcic), kekuatan Kroasia ada di sini. Akan berat bagi trio Perancis Didier Deshamps (kapten), Djorkaeff dan Zidane. Pelatih Aime Jacquet boleh jadi mengubah formasi 4-2-3-1 menjadi 4-4-2 untuk mengimbangi lawan dengan memainkan Petit agak di tengah. Pilar belakang Lizarazu, Blanc, Desaily dan Thuram juga harus bekerja keras dan disiplin menahan laju Davor Suker dan Goran Vlaovic. Di lini depan, Jacquet tak akan berpaling dari Henry dan Trezeguet/Duggary. Masalahnya, sejauh ini tombak Perancis tergolong mandul dan dua kali harus bermain 120 menit - melawan Paraguay dan Italia.

    Namun, Perancis patut diunggulkan karena moral tim dan mutu pemainnya lebih baik di tiap lini. Dukungan penonton juga merupakan nilai lebih. Jika tampil seperti sebelumnya, Perancis akan ke final sekaligus menebus rindu Jules Rimet sejak 60 tahun silam. Tapi pada tempat pertama, "Ayam Jago" harus mengaahkan dirinya terlebih dahulu. Perancis hendaknya tidak "berkokok" sebelum peluit akhir, ternoda sindrom demam panggung atau merasa rendah diri karena trauma tiga kali gagal sebagai semifinalis. **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 8 Juli 1998. Artikel ini ditulis menjelang pertandingan semifinal Piala Dunia 1998 antara tuan rumah Perancis melawan Kroasia. Perancis maju ke final setelah mengalahkan Kroasia 2-1.

Biarkan Dewi Bola Memilih

SEANDAINYA kita boleh memilih, Jerman tidak harus kalah telak dari Kroasia. Kroasia memang layak menang untuk menghadapi tuan rumah Perancis karena permainan memikatnya, tetapi tidak perlu sampai 3-0 yang menistakan seluruh kebesaran Jerman selama 40 tahun. Seandainya wasit asal Norwegia, Rune Pederson lebih bijak, mestinya bukan kartu merah untuk Christian Woerns pada menit ke-40 karena mengganjal Davor Suker dari samping - bukan dari belakang.

    Kehilangan Woerns, stopper terbaik Bundesliga adalah awal kehancuran tahta Jerman di France 98. Bersamaan dengan perginya Woerns, Jerman yang menekan lawan selama 39 menit dengan hasil tiga peluang manis untuk Bierhoff dan Klinsmann - tiba-tiba tak berdaya digempur musuh, mengalami sesak napas, pingsan lalu terbunuh. Dan, keterlaluan bila Kroasia sampai gagal menghadapi sepuluh pemain. Apalagi Berti Vogts tampak letih memasuki tahun kedelapan mengasuh tim nasional. Masa emas Vogts sudah lewat dua tahun lalu saat Jerman merenggut Euro 1996 di Inggris.

    Jerman 1998 jauh dari kesan bagus apalagi istimewa. Sejak duel perdana melawan AS pada 16 Juni 1998, tanda-tanda keruntuhan sudah terlihat. Akhirnya saat paling menyakitkan itu tiba juga di Lyon, Minggu dini hari Wita (5/7/1998). Viva Kroasia! Kejutanmu telah menjadikan Piala Dunia 1998 makin gurih dan juara baru mungkin akan lahir di tanah Perancis. Dewi bola telah memilihmu menikmati kehormatan sebagai semifinalis 9 Juli 1998.

    Malam ini 7 Juli 1998 waktu Perancis atau Rabu dini hari (8/7/1998) mulai pukul 03.00 Wita (disiarkan semua stasiun TV), Belanda menghadapi tim Samba Brasil di Stade Velodrome, Marseille. Jika kita boleh memilih, mestinya kedua tim tidak perlu bertemu secepat ini. Sekali-kali, dunia ingin juga merealisasikan mimpinya tentang pertemuan Belanda-Brasil di puncak mahameru: Final World Cup. Alangkah nikmatnya menonton aksi memikat kedua pendekar sepakbola menyerang itu pada titik akhir yang menentukan siapa terbaik.

    Apa boleh buat, dewi bola toh sudah mengeluarkan fatwa yang tak dapat ditarik lagi. Dia telah bersikap, menonton real final World Cup 98 sebelum 13 Juli 1998 dan karena itu biarkan sang dewi memilih siapa yang terbaik. Dewi bola seolah-olah riang melihat anak bumi makan buah simalakama. Memilih Brasil atau Belanda adalah sulit karena keduanya memberi porsi cinta yang mirip, sama-sama dipuja dan dikasihi! Bumi akan terbelah dua dan banjir air mata akan mengalir ke seluruh pelosok negeri karena ada yang hilang sebelum France 98 berakhir.

    Tetapi sudahlah, lupakan pertemuan dini Belanda-Brasil. Kita toh mestinya bersyukur karena dua seniman rumput itu akhirnya bertemu untuk menghibur sejenak penghuni jagat yang lelah mencium mesiu perang, kelaparan, keterasingan, ketiadaan harapan hidup, kejamnya penguasa tiran serta luka-luka sosial lainnya. Belanda-Brasil bakal menyajikan partai terbaik. Keduanya tak mungkin mengkhianati jatidiri, komitmen serta idealismenya akan romantisme bola. Bahwa sepakbola bukan sekadar memasukkan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan dan menang. Belanda-Brasil sama menjunjung tinggi filosofi ini: Sepakbola harus ikut melahirkan keindahan, tempat satu-satunya manusia dapat menemukan kedamaian.

    Bermain dalam formasi standar 4-4-2, pertemuan ketiga Brasil-Belanda di ajang Piala Dunia setelah 1974 dan 1994 (skor menang 1-1) akan manis dinikmati karena keduanya akan menyerang sejak kick off. Kualitas tim maupun keterampilan individu hampir sama. Tidak seperti Jerman yang anti peremajaan pemain, tim Brasil-Belanda 98 merupakan gabungan pemain senior dan bintang muda berbakat. Soliditas tim pun sama bagus di tiap lini. Jika Brasil punya Ronaldo (22), Belanda memiliki Dennis Bergkamp (29).

    Ronaldo dan Bergkamp otomatis menjadi target man Mario Zagallo dan Guus Hiddink di depan. Karena akan menjadi pusat perhatian palang pintu lawan, Ronaldo dan Bergkamp akan memilih peran sebagai pengatur, baik dengan cara bergerak tanpa bola atau memberi ruang bagi rekannya menyusup ke penalti lawan. Di tim Belanda, saat menyerang akan kelihatan seperti ada empat striker yakni dua bek sayap, Reiziger (kanan) dan mungkin Winston Bogarde atau Ooijer (kiri) serta striker murni Bergkamp-Kluivert/Overmars. 

    Hukuman kartu merah Athur Numan dan cederanya Bogarde jadi masalah bagi Hiddink menentukan siapa bek kiri. Inilah titik rawan yang menguntungkan Brasil. Ooijer belum teruji karena selama ini tidak merumput. Jika ada Bogarde, Hiddink takkan risau memainkan totaal voetball. Tabir pertahanan Belanda (tidak pakai pola libero) tetap dipercayakan kepada Stam dan kapten Frank de Boer.

    Kunci as kedua tim adalah lini tengah. Pilihan Zagallo tak lari jauh dari Sampaio, Dunga (kapten), Leonardo, Denilsona tau Emerson. Mereka akan bertarung melawan kuartet Belanda, Davids, Ronald de Boer, Cocu, Jonk/Seedorf. Hiddink mungkin menugaskan Davids khusus mematikan Dunga, dirigen serangan Samba. Duel ini imbang dan amat menentukan peluang bagi para bombernya. Di blok belakang Brasil, Aldair adalah pilar akhir dibantu stopper Junior Baiano, bek kiri Roberto Carlos dan bek kanan Cafu. Sama seperti Oranye, saat menyerang Cafu dan Carlos akan naik membantu Ronaldo dan Bebeto dengan umpan-umpan terukur dari sayap. Reiziger mungkin dapat mengimbangi Carlos, tetapi tanpa Numan di kiri, Stam dan Frank akan repot menahan laju Cafu, Edgar Davids kiranya bekerja lebih keras sebagai palang pertama Cafu. Akan lebih bagus bagi Hiddink bila Seedorf turun bersama Davids ketimbang Jonk.

    Kedua tim sama rawan di pertahanan jika sedang asyik menyerang. Tinggal siapa yang jeli memanfaatkan peluang counter attack atau menembak langsung dari lini kedua: Bergkamp atau Ronaldo, Jonk/Davids/de Boer atau Rivaldo/Baiano/Leonardo? Uji lari, memindahkan bola dengan cepat dan tepat dari kiri ke kanan, ke depan dan belakang serta penempatan posisi pemain kedua tim sama baik. Bila Guus dan Mario tidak melacurkan diri dengan main defensif, akan lahir  lebih dari satu gol dan pertandingan tidak mesti 120 menit. Apalagi adu penalti, jika tidak karena terpaksa, bukan pilihan utama Belanda dan Brasil. Goodluck! ***
 **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Selasa, 7 Juli 1998. Artikel ini ditulis menjelang “big match” antara Belanda melawan Brasil di babak semifinal Piala Dunia 1998. Brasil menang 4-2 lewat adu penalti setelah kedua tim bermain imbang 1-1 selama 120 menit.

Italia Dirancang untuk Kalah

MUNGKIN tidak tepat benar, tetapi sebagian besar bolamania Indonesia tampaknya lebih menjagokan Italia dalam partai perempatfinal melawan Perancis, Jumat malam (3/7/1998). Fakta di St. Dennis justru berkata sebaliknya, Italia mengulangi tragedi 1994, kalah 3-4 dalam drama adu penalti. Dalam catatan sebelumnya, saya pernah mengatakan bahwa tujuh pemain kunci tim Perancis 1998 yang selama ini bermain di Liga Seri A Italia tidak awam dengan kharakter Azzurri asuhan Cesare Maldini. Lawan yang mereka hadapi toh tidak lebih dari rekan main bersama di klub atau anggota seri A lainnya yang sudah diketahui titik kuat dan kelemahannya.

    Namun, secara obyektif harus diakui Perancis pantas meraih kemenangan itu meskipun Pelatih Aime Jacquet terkesan minder pada babak pertama dengan hanya menurunkan seorang striker yang tidak efektif, Stephane Guivarc'h. Kekurangan Perancis yang secara moral kuat berkat dukungan penonton dan bermain di kandang sendiri, juga tidak adanya insting membunuh dalam diri Djorkaeff maupun Zidane.

    Padahal Italia bemain jauh di bawah kemampuan terbaiknya - untuk tidak mengatakan amat buruk. Italia seakan merancang permainan itu untuk kalah. Musababnya pertama-tama ada dalam diri Cesare Maldini. Salah satu pendekar catenaccio ini ternyata inkonsistensi dengan prinsipnya menggabungkan sistem pertahanan grendel dengan mengatur harmonisasi serangan untuk membuka pertahanan lawan lewat 5-3-2. Dalam prinsip ini, idealnya tim Maldini memang tidak akan terburu-buru keluar sarang. Pertahanan harus diamankan dulu dengan lima pemain dan pada saatnya baru menekan jantung musuh mengandalkan tiga gelandang (Luigi Di Biaggio, Dinno Baggio dan Morriero) serta bantuan dua wing back yang ditempati Paolo Maldini (kiri) dan Gianluca Pesotto (kanan).

    Apa yang diragakan Paolo Maldini cs di St. Dennis justru sebaliknya. Selama 120 menit Italia  hanya bermain defensif dengan enam pemain belakang sekaligus (6-3-1), mirip Norwegia saat menaklukkan Brasil 2-1 di penyisihan grup A. Fakta-fakta berikut membuktikan hal itu. Selama babak pertama, Italia tidak sekalipun mendapatkan corner kick (sepak pojok). Sedangkan Perancis memperoleh kesempatan empat kali yang mencerminkan adanya serangan yang dirancang apik. Babak kedua Perancis menyerang lebih gigih dengan skor sepak pojok 6:1 untuk Perancis. Dan pada masa perpanjangan waktu 2x15 menit skornya 2:1, juga bagi Perancis.

    Italia memang sempat berubah penampilannya dengan serangan yang cukup hidup sejak Roberto Baggio masuk pada menit ke-67 menggantikan Alessandro del Piero. Harus dikatakan keputusan Cesare menurunkan Baggio sangat terlambat karena bersamaan dengan keputusan Jacquet menginstruksikan anak asuhnya menyerang total di babak kedua dengan memasukkan duet striker Thiery Henry dan David Trezeguet, menggantikan Guivarc'h dan Christian Karembeu.

    Mestinya Cesare jeli melihat komposisi 'aneh' Jacquet pada babak pertama yang cuma memainkan satu ujung tombak dalam formasi 4-5-1. Komposisi itu mencerminkan Perancis tiak akan memforsir tekanan karena khawatir counter attack Italia lewat Christian Vieri dan Del Piero. DI babak ini seharusnya Italia tidak defensif murni. Sekali-kali harus keluar menyerang leawt sentuhan satu dua dari kaki ke kaki memanfaatkan trio gelandang dan dua wing back. Di posisi belakang toh masih ada Costacurta, Bergomi dan Canavarro untuk menghadang laju Djorkaeff dan Zidane.

    Sampai menit ke-66, serangan Italia sempat dilakukan beberapa kali, tetapi selalu menggunakan bola-bola panjang diagonal untuk Vieri di kanan dan Del Piero di sisi kiri kotak penalti Perancis. Bola panjang bisa dimengerti karena Italia kalah bersaing di blok tengah yang memang milik Perancis di bawah koordinasi kapten Deschamps. Sayangnya, bola panjang bukan tipe Azzurri dan jelas mubazir karena di pilar belakang tim "Ayam Jantan" ada Laurent Blanc, Marcel Desailly dan Lilian Thuram yang lebih jangkung dan selalu unggul dalam duel udara. Jadilah Vieri dan Del Piero sebagai striker ompong dan tidak sekalipun mendapat peluang manis.

    Del Piero bermain sangat buruk, malah nekad kasar terhadap rekan Juventusnya -- Didier Deschamps sehingga Wasit Hugh Dallas harus menghadiahkan kartu kuning pada babak pertama. Terbukti betul bahwa Del Piero boleh amat bagus di tim Juventus, tetapi tidak untuk tim nasional Italia. Del Piero juga bukan tandem yang baik bagi Vieri. Ketika Vieri masih bermain di Juventus sebelum pindah ke Atletico Madrid musim lalu, pelatih Marcello Lippi jarang menurunkan bersama Del Piero karena keduanya tidak cocok. Yang paham karakter Vieri sebagai striker murni cuma Roberto Baggio yang di negerinya dianggap santo itu.

    Kalau Cesare memainkan Roberto Baggio (bintang yang tidak sekadar mampu menendang bola, tetapi merupakan pemikir bagi tim) lebih awal - ceritanya bisa lain.  Kelihatan sekali semangat Vieri terpompa dan matanya berbinar-binar saat Bagio masuk. Selama 23 menit babak kedua, empat kali umpan tarik Baggio kepada Vieri mengancam gawang Fabien Barthez. Bagio bahkan hampir mencetak golden goal pada menit ke-5 masa perpanjangan waktu. Tendangan first time-nya cuma melenceng beberapa sentimeter di pojok gawang kanan Barthez. Tapi strategi Perancis juga cerdik. Saat Baggio masuk, empat pemain bertahan disiplin menjaga wilayahnya. Blanc, Desailly, Lizarazu dan Thuram yang pada babak pertama berani naik membantu serangan, enggan keluar sarang. Bagaimanapun mereka tahu kepiawaian Baggio dalam melihat titik lemah lawan.

    Dan, Roberto Baggio membuktikan ia memang bintang besar dengan sukses penaltinya -- suatu kesempatan ia menghapus dosa di USA 1994. Italia 1998 boleh kalah, tetapi kekaguman pada Roberto tak akan sirna. Baggio akan tetap anggun mengisi ruang hati penggemarnya. Italia kalah semata-mata karena Cesare terlalu percaya catenaccio-nya, sementara semua orang tahu Italia tak pernah mujur dalam drama adu penalti di dua event Piala Dunia sebelumnya. Good bye Squadra Azzurra, selamat menikmati air mata. **


Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 5 Juli 1998. Artikel ini ditulis menanggapi hasil pertandingan Italia melawan Perancis di babak perempatfinal Piala Dunia 1998.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes