Miu ta'u mata!

Oleh Dion DB Putra

WAIARA, 29 Oktober 2005. Fajar baru menyingsing. Di kejauhan sana, puncak Gunung Egon berselimut kabut tipis putih. Egon sedang ramah. Kota Maumere tampak membentang luas di tengah siraman matahari pagi, di bawah hamparan nyiur melambai.

Persis di depan mata, Pulau Besar, Pemana dan Pulau Babi anggun berdiri. Laut utara Flores tenang membiru. Udara bersih. Semilir angin Waiara Beach menyapu lembut wajah kami. Tapi tak ada keheningan.

Gelak tawa dan canda membahana di Pantai Waiara pagi itu. Tergelak oleh beragam kisah yang meluncur dari mulut Drs. Frans Seda. Orang tua itu tak henti- hentinya mempromosikan keindahan alam bawah laut di perairan Waiara serta alam Flores umumnya.Tiga pimpinan teras kelompok KompasGramedia, St. Sularto, Wandi S Brata dan Petrus Waworuntu menyimak dengan riang.

Tanggal 29 Oktober 2005 adalah hari ketiga ziarah dua sahabat pendiri Harian Kompas, Frans Seda dan Jakob Oetama ke Flores. Dua sahabat itu, antara lain sempat mengunjungi Lekebai, kampung halaman Frans Seda, berziarah ke Patung Bunda Maria di Nilo serta berdiskusi dengan civitas akademika STFK Ledalero.

Karena suatu urusan penting, Jakob Oetama lebih dahulu berangkat ke Denpasar bersama Rikard Bagun (kini Pemimpin Redaksi Kompas), Julius Pour dan August Parengkuan hari Sabtu 29 Oktober 2005 dan bermalam di Bali. Sedangkan Frans Seda dan lainnya berziarah ke Biara Pertapaan (Trappist) Lamanabi, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Saya ikut bersama rombongan Frans Seda menuju Lamanabi yang sempat melahirkan drama menegangkan!

Sejak Jumat (28/10/2005) malam, kami sudah diingatkan Manajer Flores Sao Resort (FSR), Heribertus Ajo bahwa perjalanan ke Tanjung Bunga dengan kapal berkapasitas 8-10 orang mulai pukul 06.00 Wita. "Jangan lupa ko besok bangun pagi-pagi," katanya malam itu.

Pukul 05.00 kamar sudah digedor staf FSR. Mata sebenarnya masih terasa berat karena tidur belum genap tiga jam. Om Frans Seda? Aih, orang tua itu sudah di Pantai Waiara sejak pukul 05.40. Di sana sudah ada St. Sularto, Wandi S Brata, Petrus Waworuntu dan Heri Ajo. Kapal pun sudah siap. Tergopoh-gopohlah saya, Philip Gobang dan Heri Soba. Kami berlari-lari kecil menuju pantai. Saya bahkan orang paling akhir berkumpul karena curi waktu sejenak untuk minum kopi. Khawatir kepala pening dalam perjalanan ke Lamanabi.

Frans Seda berhasil meyakinkan St. Sularto dan Wandi S Brata bahwa perjalanan laut ke Lamanabi aman. Sedangkan Petrus Waroruntu memilih berziarah ke kota Reinha Larantuka dengan mobil. Sekitar pukul 06.45 kami meninggalkan Pantai Waiara. Kapal itu membawa delapan orang termasuk ABK. Kami dikawal speed boat berkapasitas dua penumpang. Pagi yang cerah. Perjalanan terasa nikmat.

Sudah terbayang di depan mata Tanjung Bunga-Lamanabi karena perjalanan dengan kapal mesin ganda berkekuatan 150 PK itu hanya sekitar dua jam.
Ketegangan tiba tiga puluh menit kemudian. Satu mesin kapal mendadak mati. "Solar banjir," kata jurumudi asal Lembata, Nikolaus Nara. Heri Ajo ambil-alih kemudi. Om Niko utak-atik mesin. Sepuluh menit berlalu. Mesin hidup tapi mati lagi. Gantian Heri menghadap mesin, Niko pegang kemudi. Kapal tetap melaju walau perlahan karena hanya andalkan satu mesin.

"Jalan terus. Tidak apa-apa," kata Frans Seda sambil bercerita tentang keindahan alam bawah laut Maumere, pantai pasir putih Pulau Besar serta sisi lain Pulau Babi kepada St. Sularto dan Wandi Brata. Penerima Bintang Mahaputra Adipradana dari pemerintah RI itu terkesan cuek. Philip Gobang berbisik ke telinga saya, "Orang tua ini pintar sekali alihkan perhatian, biar kita tidak memikirkan mesin kapal mati."

Heri Ajo dan Niko tetap bolak-balik mengurusi mesin itu tapi tak kunjung sukses. "Heri, coba kau kontak speed boat pengawal kita. Mana mereka? Pengawal tidak boleh jauh-jauh. Panggil mereka biar kita pakai kapal kecil itu saja," kata Frans Seda. Wah? Heri Ajo mengambil radio (HT) menghubungi dua pengawal. Mereka tidak bisa dikontak. Heri melambaikan tangan sambil memberi tanda agar kembali. Lambaian sia-sia karena speed boat itu malah semakin melaju. Dalam sekejap hilang dari pandangan mata. Celaka duabelas!

"Tidak apa-apa. Terus. Jalan terus!" kata Frans Seda seraya bangkit dari tempat duduk dan menuju kemudi. "Niko, kau urus mesin, biar saya yang bawa," katanya sambil tertahak. St. Sularto dan Wandi S Brata terkesima. Momen indah. Mantan Menteri Perhubungan RI yang kala itu berusia 79 tahun menjadi "kapten" kapal.
Waktu hampir jam sembilan pagi. Arus laut mulai menguat. Tak sadar hampir satu setengah jam berlayar. Posisi kapal telah sejajar dengan Pulau Besar dan kurang 1 mil laut di depan Pulau Babi. Sejumlah penumpang mulai keringatan dan memilih diam. Saya mendekati orang tua itu lalu berkata pelan, "Om, kita kembali saja ke Waiara."

"Aih..miu ta'u mata!" sambarnya dengan suara tinggi diakhiri tawa berderai. Om Frans Seda menanggapi permohonan saya tadi dengan bahasa daerah Lio yang artinya, ah kalian ini takut mati! Kapal terus berjalan pelan.

Sepuluh menit kemudian, Heri Ajo berusaha lagi membujuk beliau agar mengakhiri perjalanan ke Lamanabi. "Bapa, lebih baik kita turun di teluk Wair Terang saja," kata Heri. Om Frans menganggukkan kepala. Syukurlah. Kapal pun putar haluan menuju Wair Terang dengan kemudi tetap dipegang Frans Seda. "Tapi Heri, kita harus tetap ke Lamanabi hari ini," kata Frans Seda.

Mendekati Wair Terang sinyal HP muncul. Heri cepat menghubungi stafnya di Waiara. Minta segera meluncur ke Wair Terang dengan dua mobil. Perasaan kami lega. Keputusan Heri Ajo yang memahami dengan baik lintasan Waiara-Tanjung Bunga itu tepat -- mengingat setelah Pulau Babi akan sulit mencari daratan terdekat jika terjadi apa-apa dengan mesin yang satunya lagi.

Mesin kapal mati hari itu menciptakan ketegangan lain di Tanjung Bunga. Gervasius Seda dan kawan-kawannya gundah. Demi menjemput kami yang diperkirakan tiba sekitar pukul 08.00 Wita, keponakan Frans Seda itu lebih dulu meluncur ke Larantuka, Jumat (28/10/2005) malam dan pagi-pagi menuju Tanjung Bunga. Tapi mereka menanti kapal yang tak pernah datang.

Menunggu sambil menahan lapar dan dahaga lebih dari 13 jam! Menanti dalam ketidakpastian di pantai yang sepi, tanpa telepon, tanpa Handy Talkie (HT). Sempat terbersit niat menghubungi tim SAR di Larantuka bahwa kapal yang ditumpangi Frans Seda mungkin mengalami kecelakaan. Untung niat itu tidak terlaksana karena sekitar pukul 13.00 mereka mengetahui duduk perkaranya.

Kapal tiba dengan selamat di Wair Terang. Heri Ajo dan Niko Nara melompat lebih dulu dari kapal. Dan, Om Niko langsung pasang pundak. Dibantu Philip Gobang dan Heri, Frans Seda yang kala itu mengenakan celana jins biru dan baju kaus duduk manis di pundak Om Niko saat meninggalkan kapal. Tiba di darat, orang tua itu berkelakar, "Heri, jangan lupa kasih naik gajinya." Heri Ajo tersenyum. Om Niko Nara adalah salah seorang karyawan Sao Wisata yang setia. Meski terlambat dan agak melelahkan, ziarah ke Lamanabi tetap terlaksana hari itu.

Demikian sekelumit kenangan dengan Frans Seda, salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang meninggal dunia di Jakarta tanggal 31 Desember 2009 lalu. Frans Seda meninggal dunia dalam usia 83 tahun. Tokoh ini dikenal berpendirian teguh, pekerja keras, berani, jujur dan lembut hatinya. Beliau sangat serius saat berdiskusi atau memberikan pandangan-pandangannya. Tetapi dia pun bisa jenaka.

Frans Seda suka bercerita dan cerdas dalam memberikan motivasi. Ingatannya sangat kuat. Setiap kali bertemu beliau tak lupa menyapa atau berdiskusi dalam bahasa daerah. "Kau tidak usah malu pakai bahasa ibumu," katanya suatu ketika.
Sisi lain Frans Seda adalah kecintaannya terhadap makanan tradisional dari kampung halaman. Beliau suka makan are gau (ketupat), are mera (nasi dari beras merah), ulat bulu atau ulat bambu, horo ipu dan mbarase (sambal dengan bahan utama ikan kecil yang mudah diperoleh di perairan Paga-Maulo'o), singkong rebus, ae mage (kuah asam-ikan) atau kura mbo (udang dan ikan dari sungai).

"Ulat bulu itu makanan kesukaan saya sejak kecil. Rasanya enak sekali, Jakob," kata Frans Seda saat makan siang di Waiara bersama sobatnya Jakob Oetama, 27 Oktober 2005. "Apa sih khasiatnya Pak Frans?" tanya Wakil Pemimpin Umum Kompas, St. Sularto saat itu. "Oh, khasiatnya luar biasa. Itu makanan bergizi tinggi. Makanya saya sehat dan kuat sampai sekarang," kata Frans Seda.

Rasanya tidak berlebihan bila tokoh tiga zaman seperti dilukiskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dikaruniai umur yang panjang. Dia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI serta mengisi kemerdekaan bangsa bhineka ini dengan sepenuh hati. Frans Seda, seorang nasionalis sejati hingga akhir hayatnya. Selamat jalan Om Frans. Beristirahatlah dalam damai.*

Pos Kupang edisi Minggu, 3 Januari 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes