Bingu

Lima beta siram dengan air
Lima lainnya pakai air kencing
Ternyata jadi semua...!


IZINKAN beta menulis tentang seorang kawan yang gila tapi bukan sakit jiwa. Dia gila akan hal-hal baru. Gila terhadap segala sesuatu yang menantang otak dan keterampilan. Tulisan ini lahir justru terinspirasi dari kegilaannya itu.

Kawanku itu lahir dan besar di pedalaman Timor. Dia bangga sebagai anak kampung. Profesi guru. Guru pada salah satu sekolah dasar di Kupang. Hobinya menanam aneka tanaman. Dari bunga sampai pisang beranga. Sudah lama niat menulis tentang dia. Tapi dia selalu melarang dengan ancaman. "Kita putus hubungan kalau bu (bung) tulis beta pung nama di koran," katanya. Daripada putus hubungan pertemanan, kusebut saja namanya Bingu.


Mengisi libur Tahun Baru 2009, beta berkunjung ke rumahnya. Bukan kue dan minuman yang pertama disuguhkan. Dia langsung mengajak ke halaman rumah yang tidak seberapa luas. Di sana berderet rapi 10 pot dari ember dan kaleng cat bekas. Yang ditanam bukan adenium atau aglaonema, bunga yang masih "naik daun" di NTT sekarang. Bingu menanam padi. Padinya sedang berbulir. Sekitar dua pekan lagi siap panen. Tidak mengejutkan karena si Bingu memang suka mencoba. 

"Puji Tuhan bu. Setelah berkali-kali beta coba tanam dan gagal, sekarang jadi juga. Padi dalam pot ini beta tanam sejak minggu kedua Oktober 2008. Tanpa pupuk kimia. Beta pakai kompos buatan sendiri. Lima pot beta siram dengan air. Lima lainnya beta siram pakai air kencing (air seni). Ternyata jadi semua. Bu lihat, bulirnya bagus-bagus kan?" katanya sambil terbahak.

Bingu mulai coba tanam padi dalam pot sejak awal 2008 setelah membaca ulasan di Harian Kompas dan menonton siaran salah satu stasiun televisi. "Jangan tanya Kompas edisi berapa. Itu tidak penting," katanya enteng.

Dua kali usahanya gagal karena salah cara menanam dan media tanam tidak cocok. "Yang paling rumit itu pembibitan. Tidak sama dengan padi sawah. Kalau tanah, gampang didapat. Beta ambil dari mana-mana. Tanah permukaan yang subur beta kumpul sedikit demi sedikit," kata Bingu. Impian Bingu selanjutnya adalah menularkan tanam padi dalam pot atau polybag kepada orang-orang di kampungnya. "Daerah lain bisa, kenapa kita tidak?" demikian Bingu.

***
SI Bingu tidak keliru. Menanam padi dalam pot atau polybag telah dicoba banyak orang di banyak tempat. Akibat keterbatasan lahan dan sumber air, banyak petani di daerah Banten dan Jawa Barat telah mencoba cara itu dan mereka sukses. Di Kabupaten Ciamis, Bupati Engkon Komara mencanangkan gerakan menanam padi dalam pot sejak tahun 2007. Komara yang kembali memimpin Ciamis periode kedua mewajibkan setiap keluarga menanam 25 pot padi di pekarangan rumah menggunakan pupuk organik yang ramah lingkungan. 

Gerakan serupa bergulir di daerah Indramayu dan Cirebon. Untuk meyakinkan masyarakat petani, salah seorang camat di Cirebon menaman padi dalam ratusan pot di halaman kantor camat. Hasilnya menggembirakan. Para petani tertarik dan mengikuti contoh tersebut.

Menarik apa yang dilakukan Sobirin Supardiyono, pakar lingkungan lulusan Geologi ITB dan aktif di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (http://clearwaste.blogspot.com). Sudah lama Sobirin menanam padi SRI (System of Rice Intensification) model pot dengan hasil memuaskan. Dia menjadi tempat banyak orang bertanya. Tahun 2006 ketika Sobirin menimbang hasil panenannya, dalam 1 pot mencapai 1 ons atau 0,1 kg atau 100 gram padi kering panen atau gabah kering panen (GKP). 

Silakan menghitung sendiri kalau areal tanam seluas 1 hektar dengan jarak tanam 30 cm. Bukankah hasil gabah kering giling (GKG) bisa mencapai angka ton? Gabah itu akan menjadi beras organik yang sehat karena tanpa pupuk kimia. 

Tak kalah menarik hasil penelitian tim dari Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya terhadap petani yang menanam padi dalam pot atau polybag dengan pupuk organik M-Bio. Setiap satu polybag dipanen rata-rata 3 ons gabah. Bayangkan kalau satu KK petani mempunyai 100 pot padi di pekarangan? Mereka tidak perlu beli beras karena sudah dihasilkan sendiri.

Bagi beta yang buta ilmu pertanian, "kegilaan" si Bingu di Kupang yang menyiram padi "dengan air kencing" dan kisah dari Ciamis itu sungguh elok. Lebih elok ketimbang mendengar ratapan saban tahun tentang rawan pangan dan gizi buruk di beranda Flobamora. Padi pot kiranya cocok juga di bumi Nusa Tenggara Timur yang memikul tiga krisis besar; pangan, air dan energi. Dia tak butuh air mengalir sampai jauh. Di atas karang pun jadilah. Modalnya cuma ulet. Siapa berani menyangkal keuletan Flobamora? Kalau tidak ulet, mana mungkin bisa bertahan hidup di tanah berbatu-batu ini selama ribuan tahun? (dionbata@poskupang.co.id)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes