Ketuma


Bangsat!

Dialah yang paling indah
terekam dalam memori...



BANGSAT! Perkenankan beta berbagi tentang kata yang hampir pasti tidak menyenangkan hati tuan dan puan. Bangsat! Beta tidak sedang mendamprat siapa-siapa. Ini kata bersejarah buat beta. Ada kenangan personal. Sarat makna. Terekam indah dalam memori sampai detik ini.


Pertama "kudapat bangsat" bukan dari orangtua. Bukan juga para guru. Terima kasih untuk ayah dan ibu untuk peringatan berulang bahwa kata itu tabu untuk seorang anak. Terima kasih buat guru-guruku sejak SD di kampung hingga perguruan tinggi di kota KASIH. Mereka tidak sekalipun mendampratku dengan kata-kata itu. Terima kasih para sahabat yang anti kata bangsat dalam bergaul.


Pertama kudapat "kata bangsat" ketika menjadi wartawan muda penuh semangat di awal 1990-an. Seorang pejabat Flobamora begitu marah karena ketidakberesan di unit kerjanya kupublikasikan. Sambil menatapku dengan "muka merah menyala" dan kumis bergetar, dia menghardik, "Bangsat lu wartawan!" 

Dia kemudian merobek-robek koran. "Lu memang bangsat!" katanya sekali lagi lalu memasuki ruang kerjanya. Meninggalkan beta yang termangu menanggung risiko profesi. "Jangan terbawa emosi. Terimalah dengan akal sehat." Begitu yang selalu diingatkan guru jurnalistikku, Valens Goa Doy, Julius Siyaranamual, Damyan Godho, Marcel Weter Gobang serta para senior lainnya. 

Dampratan pejabat itu ternyata membawa hikmah. Pulang ke kantor langsung kubuka Kamus Umum Bahasa Indonesia -- menuruti pesan klasik Valens Goa, Julius, Damyan, "Baca kamus itu mutlak bagi wartawan! 

Dan, beta terpingkal-pingkal menyadari ketidaktahuan sekian lama. Ternyata bangsat tak sekadar kata. Bangsat adalah bagian dari keseharianku sejak bocah. Dia nama hewan. Kutu busuk alias bangsat alias kepinding. Wajar jika orang berteriak "bangsat" mengingat perilaku hewan ini memang menjengkelkan. Bikin marah. Kutu pengisap darah segar. Bisa dimengerti kalau dinamai kutu busuk karena baunya sungguh busuk. Ciri makhluk ini meninggalkan bau menyengat kalau tersentuh tangan manusia saat dia menggigit.

***
LAHIR dan menghabiskan masa kecil di kampung yang udik, hari-hariku akrab dengan bangsat alias kutu busuk. Masih berlanjut saat mahasiswa. Maklumlah, mahasiswa yang hidup di kos zaman itu malas menjemur tikar, kasur, bantal dan kursi. Kasur, tikal atau batal yang kotor dan lembab adalah hunian ternyaman bagi si bangsat. 

Selain bangsat atau kutu busuk alias kepinding, masa kecil di kampung juga akrab dengan ketuma dan kutu kepala. Kaum ibu dan para gadis duduk di beranda rumah mencari kutu kepala atau ketuma adalah pemandangan lazim di kampung. Agar kutu tak riang menghuni kepala, mesti rajin mencari dan membinasakannya. Juga rutin menjemur pakaian karena ketuma doyan hidup dalam lipatan pakaian, terutama celana. Mengapa ketuma hidup makmur? Di zaman susah dulu koleksi pakaian terbatas. Orang kampung memakai baju dan celana yang itu-itu saja. Ditambah malas cuci pakaian dan mandi, berbiaklah kawanan ketuma dan kutu kepala.

Tuan dan puan yang hidup di zaman ini -- terutama di perkotaan -- barangkali jarang bahkan belum pernah melihat rupa makhluk kecil bernama bangsat, ketuma dan kutu kepala. Kendati demikian, semoga melalui buku literatur -- mengetahui wujud "kejahatan" ketiga jenis kutu tersebut bagi manusia. Ketiganya sama-sama menjengkelkan karena mengisap darah manusia. Kutu busuk, ketuma dan kutu kepala membuat tidur tak nyaman.

Seandainya ada yang mau membuat riset hari-hari ini, beta dapat memberi gambaran bahwa populasi bangsat, ketuma dan kutu kepala telah menurun drastis. Masa keemasan bangsat dkk telah berlalu. Kehidupan mereka tidak cuma terusik, tapi tergilas oleh kemajuan produk sabun dan komestika. Juga makin entengnya kita mendapatkan pakaian serta kebiasaan rutin mandi. Aroma sabun, shampo dan beragam merk wangi-wangian kosmetika menjauhkan bangsat, ketuma dan kutu kepala dari manusia. Bahkan membinasakannya!

Yang tersisa adalah warisan. Warisan mental dan cara kerja bangsat dkk. Mentalitas pengisap darah, isap keringat orang lain, memeras, tak peduli dengan penderitaan sesama. Bangsat! Bukankah kata itu riuh bergaung di beranda Flobamora ketika seseorang marah? 

Tahun 2009. Tahun kerbau tanah. NTT dapat DIPA Rp 12,2 triliun. Flobamora mendapat "kado" tahun baru berupa gizi buruk dan diare yang menelan korban jiwa. Perlukah memandang kawanan ketuma, kutu busuk dan kutu kepala? Bukan beta yang memutuskan! (dionbata@poskupang.co.id)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes