WAINGAPU, PK--Dana sebesar Rp 2.307,08 triliun hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kupang terhadap pengelolaan keuangan propinsi dan kabupaten/kota se-NTT tahun 2007 dan 2008 belum ditindaklanjuti Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT dan pemerintah kabupaten/kota se-NTT. Temuan dana sebesar itu berlangsung dari tahun 2004 sampai akhir 2008.
Hal itu diungkapkan Ketua BPK Perwakilan Kupang, Muhammad Guntur dalam raker para bupati se-NTT dengan Gubernur NTT di Ruang Sidang Utama DPRD Sumba Timur, Sabtu (24/1/2009).
Guntur mengatakan, temuan itu merupakan hasil pemeriksaan BPK dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Dari hasil pemeriksaan BPK dalam kurun waktu tersebut, demikian Guntur, berhasil mengidentifkasi 1.267 kasus dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah dengan nilai nominal Rp 3.711,89 triliun. Dari temuan itu, jelas Guntur, BPK telah menyampaikan 2.240 saran kepada pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten.
Dari 2.240 saran BPK, kata Guntur, hanya 670 yang ditindaklanjuti dengan nilai nominal Rp 1,404,81 triliun. Sisanya 1.570 saran BPK dengan nilai nominal Rp 2,307,08 triliun belum ditindaklanjuti pemerintah daerah dan DPRD.
Temuan terbesar di Pemprop NTT sebanyak 150 kasus dengan nilai Rp 423,61 miliar. Diikuti Kabupaten Sumba Timur 87 kasus, nilai nominal Rp 294,83 miliar, Kota Kupang 85 kasus nilai nominal 156,29 miliar, Kabupaten Ende 83 kasus dengan nilai nominal 270,56 miliar, Kabupaten TTS 82 kasus nilai nominal Rp 385,08 miliar, Flores Timur 80 kasus nilai nominal Rp 345,49 miliar.
Guntur mengatakan, kalau kejaksaan atau kepolisian jeli melihat temuan BPK, banyak pejabat yang masuk penjara. Terhadap temuan tersebut, demikian Guntur, BPK sudah berulang kali menyurati pemerintah daerah. Namun hanya beberapa daerah yang menyikapi saran dan imbauan dari BPK.
Guntur mengatakan, keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan akuntable tergantung pimpinan daerah menyikapi laporan keuangan di daerah masing-masing. Dari hasil pemeriksaan BPK, jelas Guntur, setiap tahun laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah cenderung semakin tidak baik.
Karena itu, Guntur mengimbau agar pemerintah daerah merekrut tenaga lulusan akuntansi untuk membuat laporan keuangan. "Saya kira ini perlu disikapi seluruh instansi. Setiap temuan harus diusahakan untuk diselesaikan secepat mungkin. Percuma ada pemeriksaan kalau tidak ada tindak lanjut," saran Guntur.
Ia mengatakan, sesuai UU tentang pengelolaan keuangan negara, 60 hari setelah menerima hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah, temuan hasil audit itu harus ditindaklanjuti. Kenyataanya, kata Guntur, ada daerah yang bertahun-tahun tidak menindaklanjuti temuan BPK.
Guntur mengungkapkan, terkait hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan daerah, BPK RI menilai tidak ada upaya yang menyeluruh dan signifikan dari pemerintah untuk mengimplementasikan paket tiga UU di bidang Keuangan Negara tahun 2003-2004.
Hal itu, kata Guntur, karena pemerintah daerah belum berhasil membangun kelembagaan yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita reformasi di bidang keuangan negara. Yang dimaksud dengan instansai atau institusi, jelas Guntur, bukan sekadar unit organisasi maupun jenjang hirarki jabatan sebagai pejabat pemerintah daerah termasuk gubernur, bupati/ walikota maupun pimpinan serta bendahara proyek.
Lembaga juga sekaligus termasuk sistem yang meliputi aturan main dan tata cara maupun norma-norma yang mengatur perilaku serta caranya berinteraksi antar sesama yang pada gilirannya tata cara lembaga berinteraksi menentukan motivasi maupun sikap dan perilakunya.
Selain itu, kata Guntur, tidak ada perbaikan secara menyeluruh atas sistem pembukuan, sistem penerimaan daerah, dan tata kelola keuangan negara sekaligus mencerminkan lemahnya upaya preventif Pemda untuk mencegah KKN.
Pungutan Tanpa Perda
Ukuran sederhana, lanjut Guntur, banyak pungutan yang belum ada perda-nya atau perda tidak berjalan sesuai peraturan pemerintah (PP) yang menjadi landasanya. Hal ini, kata Guntur, masih dibiarkan berkala tanpa evaluasi dari pemda ataupun masukan yang harus diberikan pimpinan SKPDsebagai upaya optimalisasi pengenaan tarif.
Kalaupun ada SKPD yang kreatif menerapkan tarif baru selalu mendapat penolakan dari pimpinan SKPD sebelumnya dan belum tentu mendapat dukungan dari pimpinan daerah yang bersangkutan.
"Saya berharap setelah raker ini ada rakornis para kepala SKPD khususnya yang banyak menampung penerimaan daerah tingkat propinsi dan kabupaten/ kota untuk memikirkan teknis penerimaan daerah yang lebih optimal didukung dengan perda. Jangan lagi tahun 2009 kita buat pembusukan dengan menerapkan cara yang kurang baik dalam upaya meningkatkan penerimaan daerah," tegas Guntur.
Secara bertahap, ungkap Guntur, BPK RI akan mengalihkan fokus pemeriksaan dari audit laporan keuangan ke pemeriksaan kinerja. Selain bergantung pada kemampuan sendiri, peralihan pemeriksaan BPK tersebut, jelasnya, juga ditentukan tiga hal. Pertama, kemajuan sistem keuangan negara yang sejalan dengan ketiga UU Keuangan Negara 2003-2004. Kedua, penguatan sistem pemeriksaan internal pemerintah terutama kemampuan inspektorat jenderal, inspektorat propinsi dan kabupaten/ kota untuk melakukan audit keuangan. Ketiga, mendorong DPRD sebagai pemegang hak budget untuk mensuport pemerintah agar menindaklanjuti setiap rekomendasi BPK RI.
Guntur menjelaskan, sejumlah kebijakan publik telah diambil dengan berdasarkan rekomendasi BPK RI. Antara lain, cost recovery. Ia mengatakan BPK RI telah mengidentifikasi kelemahan cost recovery yakni; Pertama, banyaknya biaya yang tidak terkait langsung yang telah diperhitungkan dalam cost recovery karena longgarnya aturan. Kedua, tidak adanya standarisasi biaya dan benchmarking cost recovery. Ketiga, adanya transaksi afiliasi yang berpotensi merugikan negara. Keempat, permasalahan menyangkut insentive interest recovery.
Rendah Penyerapan Anggaran
Hasil pemeriksaan BPK RI juga dikirim kepada pemerintah, kata Guntur, fenomena penumpukan anggaran akhir tahun. Permasalahan rendahnya penyerapan anggaran dan menumpuknya belanja di akhir tahun mengindikasikan lemahnya manajemen penganggaran dan pelaksanaannya oleh pemerintah. Walaupun anggaran dapat dicairkan, tetapi tidak terserap ke dalam kegiatan atau menumpuk di-escrow account.
Pemeriksaan BPK RI menemukan bahwa permasalahan tersebut terjadi setiap tahun pada hampir semua entitas dengan nilai yang cukup besar. Pencairan anggaran yang menumpuk pada akhir tahun tidak efektif sehingga tujuan lebih jauh dari pelaksanaan program untuk mendorong perekonomian masyarakat tidak tercapai.
Ia mengatakan, saat ini seluruh Pemda sedang membuat LKPD untuk diperiksa BPK RI. Ia menyarankan agar sebelum LKPD diserahkan ke BPK RI dilakukan review oleh inspektorat daerah. Hal itu dilakukan untuk menjaga quality assurance LKPD sehingga dapat secara dini mendeteksi, melokalisir dan mengoreksi kelemahan LKPD.
Lemahnya pengawasan internal pemerintah, kata Guntur, karena selalu melakukan inspeksi non keuangan, kurang menaruh perhatian pada pengawasan keuangan, kinerja, maupun upaya pemberantasan korupsi di instansi/ lembaganya. Quality Assurance ini, jelas Guntur, sebagai penguatan pengawasan internal pemerintah dan untuk mewajibkan semua terperiksa (auditees) menyerahkan management representation letters (MRL) kepada BPK. MRL ini sekaligus mendorong reformasi pengawasan internal pemerintah agar dapat berfungsi sebagai pengawas keuangan pemerintah daerah dan mencegah terjadinya inefisiensi serta mendeteksi KKN, yang harus diikuti dengan perbaikan SDM, terutama bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan negara.
BPK RI, demikian Guntur, telah mengirim surat kepada seluruh pemda untuk meminta menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini pemeriksaan LKPD. Namun dari semua daerah baru enam daerah yang sudah menyerahkan rencana aksi.
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, minta para bupati/ walikota memberi perhatian serius terhadapa temuan BPK dan berbagai saran yang disampaikan BPK RI. (dea)