Aula 301

Birahi kita adalah birahi mencabik-cabik.
Nafsu kita adalah nafsu
merajut benang kusut masai.


BETA berada di tengah hingar-bingar Aula B 301 siang itu, Jumat 25 September 2009. Panas Kupang yang terik dan sepinya angin sepoi dari laut utara Timor tidak mengurangi suasana yang demikian rileks. Jam mengantuk luruh dalam gelak tawa membahana. Tak henti-hentinya. Gelak kena tikaman. Tawa kena hantam yang pas amat. Tikaman sang profesor memompa nafsu pengharapan. Menggairahkan birahi aksi. Mengobok-obok nalar agar tak lupa berpikir. Tentang Nusa Tenggara Timur yang lebih baik. Tentang satu sikap dasar: Berhenti mengutuk NTT ini miskin!!!

Izinkan beta menyebut salah seorang bintang yang akhir pekan lalu menghangatkan beranda Flobamora. Namanya Prof. Dr. FG Winarno. Rektor Univesitas Atmajaya Jakarta. Dia hadir di aula 301 kampus Univesitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang kala itu sebagai salah seorang pembicara kunci bersama Rektor Universitas Parahyangan Bandung, Dr. Cecilia Lauw.


Mereka memberi pencerahan, peneguhan sekaligus rangsangan cerdas bagi kepemimpinan baru Unwira di bawah komando rektor P Yulius Yasinto, SVD, M.A, M.Sc. Memompakan spirit baru kepada Unwira yang sekian lama berpenampilan terlalu biasa untuk namanya yang pernah harum mewangi karena tak letih menghidupi Pertiwi dengan putra-putri terbaik.

Profesor Winarno bicara tentang mimpi. Mimpi kecil dan mimpi besar. Martabat manusia tergantung dari apa yang dia impikan. Jika mimpimu kecil, kamu akan jadi kecil, tiada berarti. Besarkanlah mimpimu, maka kamu akan menjadi besar. Begitu kata-kata profesor yang usianya "sudah" 72 tahun tetapi penampilan ragawi masih sekitar 50-an tahun. "Bahkan usia biologis saya baru 27 tahun," tuturnya enteng yang membuat aula 301 kembali tergelak.

Mengapa NTT yang demikian kaya sumber alam dan sumber daya manusia tetap miskin? Waw! Pertanyaan Winarno sungguh menohok. Bikin gatal otak, bikin batin tersentak. Ohh! NTT mestinya punya mimpi besar, tinggi, luas dan selebar mungkin agar tidak lagi melahirkan anak kurang gizi alias generasi yang bodoh tak tertolong. NTT mestinya punya mimpi besar agar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lekas terdongkrak dari dasar klasemen manusia Indonesia.

NTT seyogianya bermimpi tinggi, memiliki kelompok wirausaha yang kian besar jumlah. Idealnya dua persen dari total penduduk Flobamora. Sekarang berapa persen? Aih, bisa dihitung dengan jari, kawan! Sudah waktunya NTT keluar dari stigma Propinsi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dunia di luar sana sangat menjanjikan tetapi belum diolah dengan serius sehingga pengangguran sarjana di sini kian gemuk dari hari ke hari. Idolakan PNS semata, mana mungkin?

Universitas-universitas di NTT mesti punya mimpi besar masuk 10 terbaik nasional dalam limabelas tahun ke depan. Bila perlu nomor wahid hingga diincar mahasiswa dari seluruh penjuru negeri bahkan mancanegara. Punya dosen-dosen ternama yang karyanya tembus jurnal internasional bukan barisan GBHN (Guru Besar Hanya Nama). Sudah saatnya perguruan tinggi di NTT tidak mengandalkan SPP semata tetapi mempunyai unit usaha mandiri yang bonafit sebagai sumber utama pendanaan. Agar gaji dosen dan karyawan dikeluarkan dari daftar persoalan klasik. Dosen sejahtera, karyawan bahagia, kampus sungguh rumah yang sehat.

NTT pun mesti bermimpi menjadi contoh penyelenggaraan pemerintahan bersih, kuat dan efektif mengurus kepentingan rakyat. Bukan pemerintahan yang lema leo, endawenga atau noe mo mati (baca: lemah). Bukan bupati/walikota yang gagal masuk 10 besar kepala daerah terbaik Indonesia, tapi paling rajin berkeliling dunia, lebih kerap pelesir ke luar daerah. Bukan ke kampung dan desa. Begitu kira-kira.

***
APAKAH Flobamora tidak punya mimpi besar sejak 1958? Jangan salah bung! Mimpi besar mengantung tinggi di langit Flobamora sejak zaman Lalamentik, El Tari, Ben Mboi, Hendrik Fernandez, Herman Musakabe, Piet A Tallo hingga Frans Lebu Raya sekarang. Jadi, senggolan Prof Winarno hari Jumat itu cocok betul. Senafas, sehati-sesuara dengan pandangan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, Ph.D, pakar ekonomi dari Unwira, Dr. Thomas Ola Langodai serta pembicara lain yang berdiskusi tentang peternakan.

Di beranda Flobamora, mimpi besar telah dicanangkan duet Fren (Frans Lebu Raya dan Esthon L Foenay) yang terpilih dengan suara signifikan dalam pilkada 2008. Fren meletakkan mimpi besar NTT menjadi propinsi ternak, propinsi koperasi, propinsi jagung, propinsi kepulauan serta mengembalikan kejayaan wangi cendana.

Orang mungkin berkata, mimpi besar itu tak akan mencapai kenyataan. Memang iya kalau ukurannya sekadar masa kepemimpinan kepala daerah yang mengenal batas. Di mana-mana mimpi besar butuh kesinambungan aksi. Prinsipnya: Lanjutkan! Siapa pun pemimpinnya kelak. Fren telah meletakkan tekad visioner: Tahun 2025 NTT mestinya sudah lebih baik dari sekarang. NTT yang lebih sejahtera, bermartabat dan beradab dibandingkan kemarin dan ini hari.

Tekad visioner itu tentu butuh aksi konkret. Butuh jejak pertama. Tak bisa tidak, semua stake holders mestinya mau urun rembuk, ikut menjadi pemain aktif sesuai talenta, kompetensi dan tanggung jawab masing-masing. Tidak sekadar bernyanyi di sisi ring, menonton laga sambil menghujat, sambil menggulai kambing hitam. Di beranda ini terlalu banyak penonton yang piawai analisis. Sedikit jumlah yang mau tikam kepala di lapangan, mau bercanda dengan lumpur, bergelut dengan peluh, menjamahi ilalang, menggauli karang dan ranting-ranting savana serta bercumbu dengan cicit pipit di pucuk mayang gelagah yang makin langka kerontang.

NTT tetap begini saja hingga usia setengah abad, boleh jadi karena perguruan tingginya terbang terlalu tinggi sampai lupa menjejak bumi, ibunya kehidupan. LSM terlalu semangat bawa resep dari negeri antah berantah yang belum tentu cocok dengan kebutuhan lokal. Diagnosis resep di Washington DC, prakteknya di Watuneso, Flores. Mana mungkin ko? Bangga sekali sebut diri agent of change, eh ternyata agen mengubah kesejahteraan diri sendiri dan keluarga besar. Hehehe..

Mungkin juga karena di sini terlalu banyak panji. Semua orang kibarkan panji sendiri-sendiri. Divide et impera sungguh tak pernah mati. Seperti kata Winarno, politik pecah-belah warisan Kompeni Belanda selama tiga setengah abad, jangan-jangan telah menjadi DNA anak Flobamora. Birahi kita adalah birahi mencabik-cabik. Nafsu kita adalah nafsu merajut benang kusut masai. Mental kerja kita adalah mental Asal Bapak Senang (ABS), kerja asal-asalan, kerja tidak tuntas.

Beta salah bertutur? Bisa ya, bisa juga tidak salah. Yang pasti alam tak pernah salah. Yang salah urus di bumi cuma manusia. Ada yang tidak beres dengan diri kita hingga nasib begini-begini saja. Nafsu besar, tenaga kurang. Mimpi besar tapi tidur lebih lama ketimbang kerja. Mimpinya cuma lahan basah sesaat.

Tuan dan puan punya mimpi kan? Mimpi apa ya? Hati-hati mimpi jelita dan rupawan karena bisa sakit kepala bahkan celana basah belepotan. Ah, beta akhiri sudah daripada mimpi ini semakin tak karuan. Hahaha... (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 28 September 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes