PRODUKSI pertanian dan industri pengolahan yang tidak berkembang semakin memperkuat ketergantungan masyarakat (NTT) terhadap barang-barang konsumsi yang didatangkan dari luar NTT. Dampak jangka menengah dan jangka panjang dari ketergantungan warga NTT terhadap bahan kebutuhan pokok dari luar berawal dari terciptanya kebocoran wilayah.
Kebocoran wilayah ini merupakan efek penggerusan sumber daya ekonomi, yakni mengalirnya sumber daya ekonomi dari suatu wilayah, misalnya, dari NTT ke wilayah lainnya. Dan, yang memperoleh keuntungan terbesar adalah daerah tujuan, sedangkan daerah asal mengalami penggerusan sumber daya ekonomi.
Diskusi Terbatas Kebutuhan Pokok (2)
Demikian pendapat, Drs. Frits O Fanggidae, pengamat ekonomi dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang. Menurut dia, ketergantungan yang tinggi berdampak pada semakin besarnya ketimpangan harga relatif komoditas pertanian dan industri manufaktur/pengolahan. Selain itu, harga barang konsumsi yang terus melambung berperan besar dalam memicu laju inflasi. Dan, Kota Kupang tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat inflasi tertinggi di Indonesia.
Dari kondisi itu, Frits menyebutkan ada tiga bentuk kebocoran wilayah. Pertama, nilai transaksi arus barang masuk (bahan makanan) lebih besar dibandingkan arus barang keluar. Kebocoran ini mengindikasikan kemampuan produksi bahan makanan lokal NTT tumbuh lebih lambat dibanding kebutuhan konsumsi masyarakat di daerah ini. Dampaknya pendapatan masyarakat NTT mengalir keluar daerah. Dilihat dari ekonomi makro, kondisi ini mengakibatkan rendahnya peredaran uang di NTT.
Kedua, hasil pertanian yang kita jual antar-pulau pada umumnya bahan mentah. Dampaknya, nilai tambah terbesar dinikmati oleh orang luar NTT. Kita jual pisang terus, lalu kita membeli kripik pisang dari orang luar NTT yang membeli pisang di sini.
Ini merupakan bentuk pemborosan secara terus menerus sehingga bahan mentah yang dijual tidak memberi pendapatan yang berarti bagi petani produsen. Nilai tambah justru dinikmati oleh pelaku ekonomi di luar NTT. Jadi, rendahnya pendapatan per kapita masyaraat NTT, antara lain, karena hasil pertanian yang diperdagangkan berupa bahan mentah.
Ketiga, barang konsumsi hasil olahan (industri manufaktur) yang dijual pada umumnya didatangkan dari luar NTT. Dan, harga relatif barang konsumsi hasil olahan itu naik lebih besar dibandingkan harga komoditas pertanian. Akibatnya, untuk mendapatkan satu unit barang konsumsi hasil olahan dibutuhkan unit komoditas yang lebih banyak.
Menurut Frits, kebocoran sebagai dampak ketergantungan dapat dikurangi dengan cara mendorong perkembangan produksi pertanian dan unit usaha industri pengolahan. Sedangkan kebocoran perdagangan bahan mentah, dapat dikurangi bila bahan mentah minimal dapat diolah menjadi barang setengah jadi sebelum diperdagangkan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas pertanian sekaligus mengurangi gap harga relatif komoditas pertanian dan hasil industri manufaktur.
Persoalan paling utama perekonomian NTT adalah bagaimana meningkatkan produksi dan produktivitas.
Di sini Frits lebih menekankan bagaimana memperbesar produksi bahan pokok, atau makanan supaya kita tidak tergantung pada sumber pangan asal luar NTT sehingga tidak ada kebocoran produksi lagi. Jadi, platform ekonomi NTT yang utama adalah memperbesar produksi pertanian. Dalam kaitan ini, tegas Frits, kita jangan tergoda masuk dalam jebakan analisis komoditas unggulan. Sebab, analisis ini hanya menggunakan pendekatan produksi (output) sehingga mengabaikan aspek potensi.
Frits menilai bahwa keinginan pemerintah daerah untuk mengembangkan industri skala makro dan kecil sangat kuat. Namun, keinginan itu tidak didukung rencana dan implementasi yang memadai. Menurut dia, sudah saatnya NTT memiliki blueprint tentang pengembangan industri mikro dan kecil. Blueprint ini diperlukan untuk menjamin perumusan kebijakan, program dan regulasi yang berpihak pada industri mikro dan kecil.
Salah satu solusi untuk meningkatkan produksi pertanian, yakni pemanfaatan tanah ulayat. Jika pemilik tanah tidak menggarapnya, maka mereka berhak mendapatkan sewa lahan atau bagi hasil dengan persentase yang disepakati bersama. Di sini petani yang tidak memiliki lahan bertindak sebagai penggarap. Pemerintah berperan menyediakan inout produksi dan teknologi yang diperlukan. Dengan demikian, kata Frits, program ini melibatkan tiga pihak, yaitu pemilik lahan, pengapa, dan pemerintah penyedia teknologi produksi.
Pola yang dikembangkan selama ini, para petani dipaksa menghasilkan bahan pangan tanpa didukung dengan peralatan yang memadai, pengadaan bibit, pupuk dan sarana produksi lainnya. Karena itu, program-program bidang pertanian harus ada konsep yang jelas karena selama ini kita membangun tanpa konsep. Kita hanya membangun dengan istilah-istilah. Kita akan terjebak dengan istilah-istilah. Padahal, istilah-istilah itu tidak punya dampak dalam suatu program pembangunan, dan tidak menyentuh kepentingan riil masyarakat, hanya pada tataran birokrat.
Untuk mengurangi ketergantungan bahan pangan dari luar NTT, maka kita harus perkuat organisasi petani dan mengubah program dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Ini dengan harapan agar petani mulai berproduksi. Selain itu, perlu perkuat usaha-usaha kecil (usaha rumah tangga) guna mengurangi kebocoran nilai tambah.
***
Pemimpin Redaksi (Pemred) Pos Kupang, Dion DB Putra, mengatakan, masyarakat NTT terlalu banyak bergantung pada pemerintah dengan sejumlah program. Sementara pemerintah sibuk mengurus dirinya sendiri. Kalau diminta untuk mengurus persoalan bahan-bahan kebutuhan konsumsi ini rasanya tidak terlalu besar.
Melihat fenomena ini tentu pemerintah perlu melibatkan elemen-elemen masyarakat yang punya potensi besar dalam mempengaruhi masyarakat. Di NTT, paling tidak ada dua lembaga yang bisa dilibatkan pemerintah untuk mendukung menyukseskan sejumlah program pemerintah, yakni gereja Katolik dan Protestan.
Memang secara gamblang, sesuatu program dapat dilakukan apabila program itu mempunyai tujuan jelas dan dampaknya terhadap masyarakat pun jelas. Masalah yang selama ini dihadapi adalah belum adanya keberanian pemerintah untuk membentuk pilot projek sehingga menjadi contoh sekaligus tolok ukur keberhasilan sebuah program.
Menurut Dion, jika semua program melibatkan kekuatan masyarakat tentu masyarakat sendiri merasa memiliki apa yang dia miliki, terutama potensi. Seandainya semua mengikuti irama yang belum mengedepankan kekuatan masyarakat, maka kita ibarat bermimpi dan hanya mengulangi program yang tidak efektif.
Sementara Adeleina M Erni, MT, dari Bappeda NTT, mengatakan, delapan agenda pembangunan di NTT diharapkan bisa menumbuhkembangkan ekonomi daerah ini. Dengan program spirit anggur merah, semua anggaran untuk belanja diarahkan untuk masyarakat 45 persen.
Menurut dia, penguatan kelembagaan kelompok perlu ditingkatkan. Seperti kelembaggan penyuluh pertanian mengalami kemunduran karena ada penyuluh yang sebenarnya harus berada di desa untuk mendampingi petani, tapi dialihfungsikan menjadi tenaga di kantor. Akibatnya, apa yang terjadi di masyarakat tidak ditangani. Erni berharap pada masa mendatang tenaga penyuluh lapangan ditambah agar bisa melakukan pendampingan kepada masyarakat petani.
Dikatakannya, sebetulnya sudah banyak bantuan diberikan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) selama ini berupa sarana produksi, baik bibit maupun teknologi. Tetapi, petani kita di NTT masih kurang jiwa usahanya. Petani di NTT bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak berpikir untuk menambah pemasukan keluarga sehingga usaha-usaha yang mereka lakukan bersifat sementara dan tidak berlanjut secara terus menerus. Salah satu contoh, kripik jagung yang diproduksi oleh pengusaha asal luar NTT. Ini mencerminkan bahwa petani kita tidak memiliki jiwa kewirausahaan sehingga belum bisa mengembangkan pangan lokal. (Hyeron Modo, Obby Lewanmeru dan Frans Krowin/bersambung)
Pos Kupang, 24 September 2009 halaman 1