Saatnya Perkuat Pangan Lokal

"BICARA tentang ketergantungan bahan kebutuhan pokok, tentu kita bicara soal potensi. Kita punya potensi, tetapi lebih banyak bergantung pada pangan dari luar. Kalau suatu saat produksi beras dunia habis, tidak ada pilihan lain, kecuali mulai sekarang kita perkuat pangan lokal."

Demikian Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi NTT, Drs. Petrus Langoday, salah satu narasumber dalam diskusi tentang "Ketergantungan Penduduk pada Kebutuhan Pokok dari Luar, Masalah atau Sesuatu yang Normal?". Diskusi diselenggarakan Bengkel Advokasi (bukan Asosiasi seperti tertulis dalam pengantar serial pertama tulisan ini) Pemberdayaan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) dan Perkumpulan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL) kerja sama dengan Pos Kupang, 1 September 2009.

Diskusi Terbatas Kebutuhan Pokok (3)

Saat ini, tingkat konsumsi beras masyarakat mencapai 82 persen. Konsumsi jagung 14 persen dan lain-lainnya dua persen. Pola konsumsi ini memperlihatkan betapa penduduk NTT lebih memilih mengonsumsi beras ketimbang bahan pangan lokal lainnya, seperti jagung, ubi-ubian, dan pisang.

Beras dianggap sebagai bahan makanan yang lebih bergizi, ketimbang bahan pangan lokal. Mengonsumsi beras dinilai lebih terhormat, lebih bergengsi daripada mengonsumsi jagung, ubi-ubian atau bahan pangan lokal lainnya.

Padahal, dari aspek kandungan protein, jagung lebih tinggi dari beras. Emping jagung, misalnya, kandungan protein mencapai 8,57 gram dari 100 gram bahan baku. Beras giling, kandungan proteinnya 6,8 gram/100 gram bahan baku. Marning jagung, kandungan proteinnya mencapai 7,73 gram dari 100 gram bahan baku.

Jagung bose, proteinnya 5,79 gram dari 100 gram bahan baku dan jagung titi, kandungan proteinnya mencapai 9,6 gram dari 100 gram bahan baku. Dari sisi kandungan energi (kalori), jagung lebih besar dari beras. Kandungan kalori pada 100 gram beras, 360 kalori, sementara jagung 368 kalori.

Kandungan protein dan energi pada jagung dan beras tersebut merupakan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2008. Penelitian itu merupakan kerja sama antara Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT dengan perguruan tinggi tersebut.
Pada tahun 2009 ini, dijalin lagi kerja sama antara Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan NTT (sebelumnya Badan Bimas Ketahanan Pangan-Red) dengan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Kerja sama untuk meneliti toksin pada sejumlah makanan berisiko yang biasa dikonsumsi warga di daerah tertentu saat masa paceklik.

Petrus Langoday mengemukakan, kebiasaan penduduk NTT mengonsumsi beras merupakan hal yang ironis. Pasalnya, NTT bukan penghasil beras. Sebagai perbandingan, ia membeberkan data tentang produksi dan konsumsi beras, juga produksi dan konsumsi jagung.

Pada tahun 2009, tingkat produksi beras 335.236 ton, sementara konsumsi beras mencapai 467.460 ton. Itu berarti NTT mengalami devisit beras sebanyak 132.224 ton. Tingkat produksi jagung mencapai 521.220 ton, sementara tingkat konsumsi 164.046 ton. Produksi ubi-ubian 219.486 ton dan tingkat konsumsi 136.743 ton. Data itu menunjukkan pada tahun 2009 ini, NTT mengalami surplus jagung 357.174 ton juga surplus ubi-ubian.

Saat ini, lanjut mantan Penjabat Bupati Belu ini, Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT yang dimotori Gubernur Drs. Frans Lebu Raya, giat mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Kampanye itu merupakan bagian dari upaya pemerintah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi pangan lokal.

"Kalau satu hari dalam seminggu, seluruh masyarakat NTT mengonsumsi bahan pangan lokal (pangan non beras), maka terjadi penghematan uang minimal Rp 6 miliar. Itu baru satu hari. Bayangkan kalau kita tingkatkan menjadi lebih dari satu hari. Penghematan uang tentu akan lebih besar lagi," kata Langoday.

Kalkulasi hingga mendapatkan jumlah uang yang dihemat sebesar Rp 6 miliar itu, yakni 275 gram pangan lokal/hari dikalikan dengan empat juta penduduk NTT, dikalikan lagi dengan banyaknya pangan lokal yang dikonsumsi setiap hari, dan dikalikan lagi dengan harga beras minimal Rp 5.000,00/kg.

Di satu sisi ada penghematan, di sisi lain ada penguatan ekonomi masyarakat petani. Para petani yang selama ini susah menjual jagung, susah menjual hasil pertaniannya, akan menemukan pasar baru. Paling kurang, jagung yang dihasilkannya, bisa terserap oleh pasar lokal, terserap oleh penduduk yang membeli jagung untuk dikonsumsi.

Andaikata jagung juga dibeli untuk pakan ternak, maka nilai jual jagung tentu akan menjadi lebih tinggi lagi. Jika itu yang terjadi, maka nilai keekonomian jagung bagi petani sangat besar. Faktor ikutannya, masyarakat semakin bergairah membudidayakan jagung. Karena jagung sudah menjadi komoditas yang dibutuhkan. Ujung-ujungnya, tekad Gubernur Lebu Raya menjadikan NTT sebagai propinsi jagung, bisa terwujud.

Saat ini, kata Langoday, harga jagung di pasar-pasar di Kota Kupang Rp 3.500,00/kg. Padahal, harga jagung di Surabaya, Jawa Timur, Rp 1.000,00/kg. Kalau semakin banyak warga daerah ini membeli jagung, maka hasil yang diperoleh petani juga akan lebih besar.

Kalau penduduk NTT lebih banyak membeli beras, lebih banyak mengonsumsi pangan non lokal, maka perputaran uang di tingkat petani tentu semakin berkurang. Uang justru lebih banyak berputar di kalangan pengusaha untuk memasok beras dari luar daerah, guna menjaga stok.

Dalam jangka panjang, demikian Langoday, salah satu solusi yang harus dilakukan adalah melakukan diverfisikasi pangan. Diversifikasi bukan saja tentang konsumsi pangan lokal, tapi juga bagaimana kualitas pangan, baik soal kandungan gizi, berimbang dan beragam. Selain itu, bagaimana kita mendorong partisipasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Kritikan dilontarkan Candra Dethan, seorang peserta diskusi dari Forum Academia NTT (FAN). Dia berpendapat, selama ini ketika bicara soal potensi alam NTT, khususnya potensi pertanian, kebanyakan orang masih berbicara dari sisi teori.

Padahal, yang dibutuhkan masyarakat, terutama petani di desa-desa, bukan teori. Saban hari para petani bergelut langsung dengan tanah, bergulat dengan tanaman pertanian, yang sampai sekarang masih dipersoalkan oleh pemerintah dan stakeholders lainnya.

Bila mau menjadikan NTT sebagai propinsi jagung, atau untuk memperkuat posisi pangan lokal, maka salah satu aspek yang dibutuhkan adalah penyuluh pertanian lapangan (PPL). Jumlah tenaga PPL di NTT relatif kurang dibandingkan dengan jumlah desa berikut petani di desa-desa.

Jika perbandingan itu difokuskan lagi pada luas lahan pertanian di NTT, maka akan didapatkan kesenjangan yang cukup besar. Bila satu orang PPL bertanggung jawab atas 1.591 hektar sebagaimana parameter yang ditentukan pemerintah, maka akan muncul masalah baru. Apalagi PPL yang sama harus mendampingi petani di dua desa.
DI NTT jumlah PPL yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 1.138 orang. Calon penyuluh 48 orang. Yang sedang tugas belajar 52 orang. Tenaga bantu penyuluh pertanian sebanyak 1.084 orang dan tenaga honor PPL 42 orang. Jadi, jumlah PPL seluruhnya di NTT 2.365 orang.

Chandra mengemukakan, selama ini pemerintah sering memberi bantuan kepada masyarakat untuk meningkatkan produksi pertanian. Bantuan itu kebanyakan bibit dan alat-alat pertanian. Ketika bantuan itu dimanfaatkan, hasil yang diperoleh meningkat. Muncul masalah pemasaran. Pasar tidak tersedia sehingga hasil menumpuk di tangan petani. Dampaknya kinerja petani melorot, karena over produksi hanya untuk konsumsi sendiri.

Problem lainnya, menyangkut lumbung desa. Di NTT, yang namanya lumbung desa masih kuat. "Kami pernah studi banding di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Lumbung desanya begitu banyak dan hasil pertanian melimpah. Tapi masalahnya, tidak ada transportasi dari dan ke lumbung desa. Kalau pun ada, kondisinya rusak parah. Jadi, yang terpenting saat ini, adalah bagaimana menata sistem pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Kalau dua aspek ini diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka upaya memperkuat pangan lokal itu bisa membawa hasil nyata," kata Chandra.

Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Kota (Setkot) Kupang, RY Seubelan, S.T, M.Si, mengatakan, hasil survai Bengkel APPeK pada delapan kelurahan di Kota Kupang yakni Oespa, Airnona, Bakunase, Naikoten, Oebufu, Kuanino, Manutapen dan di kawasan Walikota, menarik untuk dicermati.

Bahwa sekitar 70 persen pendapatan masyarakat Kota Kupang (NTT), digunakan untuk konsumsi bahan kebutuhan yang berasal dari luar. Masalah ini bukan semata-mata karena bahan pangan lokal kurang atau tidak cukup tersedia, tapi pola konsumsi masyarakat. Banyak bahan yang tersedia tetapi masyarakat cenderung menggunakan produk dari luar.

Contohnya, pemakaian minyak goreng. Orang NTT lebih suka menggunakan minyak bimoli dibanding minyak kelapa yang diproduksi oleh orang NTT. Lebih banyak kita mengkonsumsi makanan instan, ketimbang makanan lokal yang tersedia di daerah ini.

"Jadi, kita dukung program pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai propinsi jagung. Kita melihat produksi jagung begitu banyak, tapi tidak diimbangi dengan konsumsi. Imbauan konsumsi pangan lokal, jangan hanya untuk masyarakat, tetapi juga buat para pejabat. Kita juga berharap, konsumsi pangan lokal tidak sebatas imbauan," saran Seubelan.

Dari silang pendapat pada diskusi terbatas itu, muncul banyak harapan agar kita memperbesar dan memperkuat produksi pangan lokal. Jika produksi pangan lokal meningkat disertai usaha-usaha diversifikasi dan didukung pasar, maka diharapkan masyarakat NTT mengurangi ketergantungan konsumsi pangan dari luar daerah. (Frans Krowin, Obby Lewanmeru dan Hyeron Modo/habis)

Pos Kupang 25 September 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes