Mike Mengenal Ganja Sejak SMP

ilustrasi
Jangan sekali-kali gunakan obat terlarang". Kalimat itu lantang diucapkan Mike menyikapi maraknya penggunaan narkoba di kalangan generasi muda.

PRIA berumur 45 tahun ini ingat betul dengan masa mudanya yang terbiasa dengan narkotika. Sejak kelas satu SMP, ia sudah mengenal ganja. "Saya adalah pemakai ganja sejak masih bersekolah di salah satu SMP di Manado," katanya kepada Tribun Manado, Rabu (30/1/2013).

Waktu itu, gampang saja bagi seseorang untuk beroleh barang haram itu. Dari apotek hingga seles obat, Mike kecil memperoleh ganja. Selain ganja, barang yang ngetop waktu itu adalah Dumolit, Mogadon serta Morfin. Mike yang berasal dari keluarga berada, membayar Rp 20 ribu untuk seboks ganja dan morfin. "Sangat mudah memperoleh barang-barang itu," kata pria yang kini tinggal di Manado bagian selatan.

Ia kenal barang itu dari teman sekelasnya. Waktu itu, aturan belum seketat saat ini. Para siswa biasa memakai ganja di pinggir jalan tanpa diciduk. Kebiasaan itu berlanjut di SMA. Karena mudah didapat, ganja menyebar cepat. Di kalangan siswa terbentuk komunitas pengguna ganja. Bergaul dengan sesama pengguna, Mike sulit lepaskan diri dari kebiasaan itu. Dari seminggu dua kali menjadi setiap hari. "Hampir tiap hari saya pakai ganja, saya pakai sepulang sekolah" tuturnya.

Usai memakai, Mike merasakan rasa malas yang tiada tara. "Gejala umum dari orang yang pakai ini adalah merasa berani, sering berhalusinasi serta bisa jadi kleptomania," katanya. Meski begitu, sekolah tetap jalan dan ia tak pernah bolos.
Lulus SMA, ia lanjut kuliah. Di salah satu perguruan tinggi di luar Manado ini, Mike mendapat kawan baru. Mereka tak kenal narkoba. Mike pun terpengaruh, meski ia tak berhenti sama sekali. "Saya pakai pada waktu-waktu tertentu saja, contohnya saat week end," sebutnya.

Setamatnya dari sana, ia keluar negeri untuk kuliah lagi.Dia memilih Amerika Serikat. Masa kelam semasa SMA kembali berulang di negeri Paman Sam ini. Apalagi ia sudah kenal dengan kokain dan putauw.

Hiruk pikuk negeri adidaya ia kenal dengan baik. Namun seperti pengguna kokain lainnya, ia sering menyendiri. Dari Amerika, ia balik ke Jakarta.  Menceburkan diri dalam semarak ibu kota, ia makin terbenam dalam pengaruh narkotika. Bekerja pada siang hari, malamnya ia triping. Ekstasi menghebohkan Jakarta pada pertengahan tahun 1990-an. Mike ikut dalam kehebohan itu. "Dari kokain, saya lalu mengonsumsi ekstasi," jelasnya.

Ternyata hidup bagi para pengguna narkoba bukan hanya euforia. Seperti pengguna lainnya, Mike ingin berhenti. "Itu keinginan yang umum, biar masyarakat pun tahu," ujarnya. Lama dipendam, keinginan itu menguat di akhir 1990-an. Seminggu ia berhenti dan berhasil. Ia coba lagi untuk tidak mengonsumsi narkoba selama sebulan. Sayang banyak bobolnya.

"Penyebabnya klasik, dalam diri pengguna, ada rasa ingin mencoba lagi, apalagi bila ketemu dengan sesama pengguna," ujarnya. Tahun 1999, Mike pernah bertekad berhenti total, namun gagal. Sebulan lebih tak bisa tidur, ia lantas menyerah.
Tiga tahun kemudian, ia mencoba lagi dan berhasil. Sebelum "hari penentuan" itu, ia giat memotivasi diri. Ponselnya dimatikan, agar tidak lagi bisa berhubungan dengan sesama pengguna. Dari berbagai cara yang bisa ditempuh, Mike memilih 'pasang badan'. "Saya pilih tidak ke dokter atau tempat rehabilitasi, saya mau atasi sendiri," sebutnya. "Hari penentuan" itu baru berjalan beberapa jam, Mike sudah merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya.

Ingin makan, tapi tak bisa. Tidur pun demikian. Derita bertambah dengan adanya diare. Setiap detik adalah peperangan antara dirinya yang "tercemar" dan dirinya yang "suci". "Lima hari saya bertempur melawan diri sendiri," ujarnya.
Pada hari keenam, sakit berkurang. Hari ketujuh, ia menang. Meski menang, tapi suara-suara agar dirinya kembali mengonsumsi narkoba tak mau kalah.
Mike menguatkan diri dengan banyak berdoa dan masuk gereja. Seorang konselor rohani setia mendampinginya selama masa peralihan itu.

Dalam ruang pribadi yang hening, Mike mendengar suara Tuhan memanggil anaknya yang hilang. "Saya jadi lebih kuat untuk melawan godaan itu," bebernya. Usai sembuh, muncul keinginan Mike untuk mengajak para pengguna lainnya berhenti.  Keinginan itu kesampaian beberapa tahun kemudian. Kini, ia bergabung dalam Persaudaraan Korban Napsa Sulut (PKNS). "Kami sering sharing serta saling menguatkan satu dengan yang lain," kata Mike.

Lepas dari jerat narkotika, Mike mengaku sering lupa. "Itu akibat pengaruh jangka panjang," tuturnya. Mike yang menikah sejak tahun 2000 ini, kini bekerja sebagai wiraswasta. Jika bertemu dengan anak muda, kata pertama yang meluncur dari mulutnya adalah, "Say no to drugs".


Ketua Granat Sulut, Billy Johanis menyatakan, tekad yang kuat adalah syarat utama bagi seorang pengguna narkotika untuk berhenti. "Asal tekad kuat, maka mereka bisa lepas sewaktu-waktu," ujarnya. (arthur rompis)

Sumber: Tribun Manado edisi cetak 31 Januari 2013 hal 1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes