Michael Ballack, ditemani ketiga anaknya (afp) |
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I travelled each and every highway
And more, much more than this, I did it my way..."
Lirik lagu "My Way" dari Frank Sinatra tersebut berkumandang di Stadion Red Bull Arena, Leipzig, Rabu (5/6/2013) malam waktu setempat. Di pinggir lapangan, tampak sosok Michael Ballack (36), didampingi tiga putranya Louis, Emilio, dan Jordi, mengelilingi lapangan melambaikan tangan ke sekitar 50.000 penonton yang memadati stadion dan meneriakkan namanya.
Ballack, salah seorang pemain terbaik Jerman tersebut, kini resmi berpamitan dari sepakbola setelah menjalani pertandingan ekshibisi antara Michael Ballack and Friends melawan World Class XI bertajuk "Ciao Capitano! Ein Abend Mit Weltklasse" (Sampai Jumpa, Kapten! Sebuah Malam dengan Pemain Kelas Dunia).
Pertandingan tersebut dimenangi tim World Class XI dengan skor 4-3 dan Ballack mencetak tiga gol. Dua gol untuk tim Michael Ballack and Friends di babak pertama serta satu untuk World Class XI di babak kedua. Gol-gol lain diciptakan Didier Drogba dan Andre Schuerrle (World Class XI) dan Sidney Sam (Ballack and Friends).
Selama hampir 17 tahun berkarier, Ballack berkesempatan bermain untuk klub besar seperti Bayer Leverkusen, Bayern Muenchen, dan Chelsea. Ia juga merasakan banyak gelar domestik. Namun, di samping kejayaan, ia juga pernah diakrabi kegagalan menyakitkan.
Sebagai contoh, pada tahun 2002, saat masih memperkuat Bayer Leverkusen, ia gagal mengawinkan tiga gelar; Bundesliga, Liga Champions, dan DFB Pokal. Padahal, sebelumnya ketiga gelar itu seolah sudah di depan mata.
Pada tahun yang sama, gol sundulannya ke gawang Korea Selatan mengantarkan Jerman ke babak final Piala Dunia 2002 melawan Brasil. Tragisnya, ia justru tak bisa membela Der Panzer di partai final akibat akumulasi kartu kuning. Di final, Jerman akhirnya dikalahkan Brasil yang tampil sebagai juara. Rentetan ketidakberuntungan ini seolah mengikuti Ballack dalam karier internasionalnya.
Di Piala Dunia 2006, Jerman terhenti di babak semifinal lewat dua gol telat Italia. Tahun 2008, Ballack kembali mengulangi nasib runner-up bersama Chelsea di Premier League, League Cup, dan Liga Champions serta bersama tim nasional Jerman di babak final Piala Eropa.
Sebuah tekel fatal Kevin-Prince Boateng di final Piala FA membuat Ballack cedera serius. Bahkan, cedera ini pula yang menggagalkan kesempatan Ballack bermain di Piala Dunia ketiganya tahun 2010. Setelah itu, kariernya perlahan-lahan mati saat ia memutuskan kembali ke Bayer Leverkusen akibat cedera yang terus berlanjut. Hingga akhir kariernya, Ballack tak pernah merasakan bermain di babak final Piala Dunia, pun tak pernah mengangkat trofi Liga Champions dan Piala Eropa.
Bahkan, ia tak punya kesempatan masuk ke "klub 100" tim nasional Jerman setelah Joachim Loew menutup pintu untuk Ballack kembali pada bulan Juni 2011 dengan caps 98. Bagi publik Jerman, Ballack adalah sosok unvollendeter (tak lengkap).
"Cahaya di masa kegelapan"
Soal gelar, Ballack mungkin tak sehebat yang diraih Gert Mueller, Franz Beckenbauer, atau Lothar Mattaeus. Namun, Ballack tetaplah legenda sepak bola Jerman. Bahkan, tak ada yang menampik bahwa Ballack bukanlah pemain sembarangan. Di tim nasional Jerman, sosoknya hadir kala Die Mannschaft tak punya banyak alternatif pemain berbakat seperti sekarang.
Mengutip perkataan Udo Muras di situs Die Welt, Ballack tak ubahnya "cahaya yang bersinar di masa kegelapan". Ballack hadir dan bersinar untuk timnas Jerman saat mereka terpuruk pasca-Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Toh, pemain yang identik dengan nomor punggung 13 ini selalu mengerahkan penampilan terbaiknya untuk tim serta menjadi sosok yang menyemangati rekan-rekannya di lapangan maupun di ruang ganti.
Hanya, kesialan mungkin juga ikut bersama kariernya hingga ia sering gagal di kompetisi internasional. Namun, itu tak membuatnya ciut, tetapi memacunya untuk menjadi pemain yang lebih baik.
Dalam sepak bola, masih ada hal yang lebih penting dibandingkan sebuah trofi, seperti dedikasi dan pengabdian pada tim. Selain itu, Ballack juga punya karakter kuat dan jiwa kepemimpinan yang tinggi. Mantan pelatihnya di Chelsea, Jose Mourinho, punya pujian khusus.
"Ia pemain yang fantastis, baik untuk Chelsea maupun Jerman," kata Mourinho yang menjadi pelatih tim World Class XI. "Saya mendoakan yang terbaik untuknya dengan sepenuh hati," lanjut Mourinho.
Pertandingan di Leipzig semalam menjadi momen terakhir Ballack untuk berpamitan kepada dunia sepakbola yang membesarkan namanya. Atau, seperti yang diucapkannya seusai pertandingan, kepada para penggemar yang sudah menjadikan sepak bola menjadi sesuatu yang istimewa untuknya.
"Sepakbola selalu spesial dan itu karena kalian (para penonton). Kami di sini hanya pemain. Tapi tanpa kalian, tak akan ada semangat dan tak ada emosi," kata Ballack.
Ia sempat kesulitan mencari kata-kata yang tepat serta berusaha meredam air matanya saat menatap para rekan-rekan setim dan penonton yang meneriakkan namanya. Ia pun menutup kalimat pamitannya.
"Aku sangat bersyukur atas perjalanan karierku. Aku ucapkan terima kasih untuk keluargaku, juga putraku, dan semua yang memiliki peran dalam karierku selama ini. Kuharap kita semua menjalani malam yang hebat. Terima kasih!" kata Ballack.
Seperti lirik lagu "My Way" milik Sinatra, Micha-begitu panggilan kesayangan Ballack-telah menyingkap gorden terakhir menuju belakang panggung sepak bola yang pernah membesarkan namanya. Ia telah tuntas melewati karier sebagai pemain sepak bola dan harus menggantung sepatunya.
Ciao, Micha. Ciao, Capitano!
Sumber: Kompas.Com