Jefry menunjuk kubur orangtuanya di kamar tidurnya |
BAGI masyarakat Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara kuburan menjadi monumen kenangan, erat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Tak heran bila masyarakat Sitaro mendirikan kubur keluarga di pekarangan, bahkan banyak warga justru membangunnya di dalam rumah.
Bila dilihat sekilas ruangan ukuran 4 x 2 meter persegi itu terlihat seperti kamar tidur pada umumnya. Berisi kasur, lemari, meja, sound sistem bahkan laptop.
Namun, siapa sangka ruangan yang menjadi kamar tidur Jefry Toli (52) warga Kelurahan Paniki, Siau Barat itu juga merupakan tempat pemakaman kedua orangtua kandungnya. Kira-kira tepat setengah jengkal di bawah lantai tegel kamar itu, dua lubang sedalam dua meter sengaja dibangun untuk tempat peristirahatan terakhir jenazah Jafet Toli dan Paulina Rasubala. Jadi kamar tidur Jefry juga merupakan kuburan orangtuanya.
Untuk monumen peringatan perisitrahatan ayah ibunya, Jefry pun meletakkan dua buah nisan di dinding kamar tidurnya. Nisan itu tertulis nama sang bunda yang berpulang 9 April 1998 menyusul ayahnya 19 Januari 2004. Tepat depan kamar tidurnya itu, bahkan ia membuka usaha air mineral isi ulang. Di samping kamarnya ada warung yang menjual kebutuhan sehari-hari.
Apa motivasi hingga Jefry berbuat demikian? Menurut dia, memakamkan kerabat keluarga dekat dengan tempat tinggal sudah merupakan adat istiadat masyarakat Siau. Bahkan bukan hanya ia sendiri yang memakamkan jenazah dalam rumah, banyak warga Siau melakukan hal serupa.
"Kalau tanya ke saya kenapa, saya merasa bahwa kebaikan dari orangtua sangat berlebih. Apa yang bisa saya balas? Saya merasa belum sempat bahagiakan, orangtua sudah meninggal. Bagaimana caranya saya harus istimewakan tempat peristirahatan mereka, sehingga diputuskan bangun di dalam rumah," kata tokoh masyarakat Kelurahan Paniki itu.
Lagi pula, kata Jefry, saat masih hidupp orangtuanya sudah berpesan untuk dimakamkan berdampingan dekat dengan rumah. Sejak lama, Jefry meletakkan kasur untuk alas ia tidur, tepat di atas kuburan oran tuanya, namun tak sekalipun ia merasa terusik atau takut. Baginya orang yang telah mati raganya tak lagi berdaya, sementara jiwanya kembali ke Sang Khalik. "Sudah lama saya tidur di kamar itu, belum pernah mimpi atau orang bilang penampakan. Saya juga tidak takut," katanya.
Salah satu model kubur di pekarangan rumah warga Siau |
Dari pantauan Tribun Manado selama perjalanan di Siau, hampir tak ditemui tempat pemakaman umum. Rata-rata tiap rumah punya kubur di pekarangan, ada juga yang meletakkan makam di teras rumah. Namun sebagian besar warga memilih pekarangan sebagai tempat favorit. Seperti dilakukan Djamaludin Djumaati, warga Desa Paniki lainnya. Ia menempatkan bangunan makam anaknya David Richard Djumaati di samping kanan pekarangan rumah.
Bangunan tegel warna merah muda itu nampak masih baru, David meninggal 25 Februari 2013. Pemuda itu merupakan korban kekerasan kakak kelas di sekolah pelayaran Akademi Maritim Djadajat, Jakarta. Bangunannya sudah hampir selesai, ia tinggal meletakkan batu nisan tertera nama almarhum David. Kini makam David menjadi monumen memori bagi keluarga. Kata Djamaludin ia membangun makam anaknya di samping rumah karena sudah menjadi kebiasan masyarakat Siau sejak dulu. Keuntungan lainnya, lokasi hanya di pekarangan hingga makam bisa dirawat dengan baik. "Makam kalau sudah jauh biasanya kebersihannya sulit dijaga, kalau dekat bisa dibersihkan tiap hari," ucapnya.
Tempat Santai Keluarga
Tradisi masyarakat Sitaro memakamkan jenazah keluarga di pekarangan rumah sudah berlangsung turun-temurun. Seiring waktu berjalan, tradisi itu tetap terjaga, namun bangunan makam tak lepas dari sentuhan modernisasi bahkan sudah memperhatikan estetika. Tak jarang makam justru menjadi tempat bersantai keluarga.
Hari Rabu (12/6/2013) siang itu, keluarga Bogar di Kelurahan Paniki, Siau Barat dirundung duka. James Teddy Bogar (60) salah satu anggota keluarga berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Siau, jenazah James akan dikebumikan di pekarangan belakang rumah. Setidaknya tepat di depan pekarangan rumah sederhana itu sudah ada tiga bangunan makam berjejer milik kerabat keluarga. Seperti kubur lazimnya, bangunannya terbuat dari beton berlapis tegel putih, lengkap dengan nisan dengan arca berbentuk salib.
Konsep bentuk makam semacam itu memang banyak ditemui di daerah Siau. Menurut Welhem Kahempe (63), tokoh masyarakat desa Paniki, konsep makam seperti itu sudah bertranformasi dari bentuk zaman dulu, sewaktu Siau masih berbentuk kerajaan.
Kata Welhem, dulu kala bentuk makam masyarakat Siau khususnya para bangsawan menggunakan konsep yang disebut kubur palajawa yakni sebuah bangunan kubur berbentuk empat persegi. Ia mengatakan, bila masyarakat Minahasa punya kubur waruga, di Siau disebut palajawa.
Kubur palajawa bisa disebut kuburan massal. Sebuah bangunan palajawa bahkan kata Welhem pernah ada memakamkan 45 jenazah anggota keluarga. Lokasinya tetap berada di pekarangan rumah."Jadi itu kubur keluarga besar, bila ada anggota yang meninggal diletakkan dalam palawija lengkap dengan peti. Di kemudian hari ada lagi yang meninggal tulang belulang anggota yang di dalam digeser, diletakkan lagi yang baru. Terus seperti itu," kata dia.
Sekarang, lanjut Welhem, konsep makam seperti itu sudah tidak digunakan lagi. Hanya sisa-sisa kubur palajawa masih terlihat meski sudah dimakan waktu. Tak bisa dipungkiri kesan angker tetap melekat.
Bentuk Minimalis
Pemerintah daerah Siau sejak lama mendorong masyarakat untuk menggunakan tempat pemakaman umum (TPU), namun hanya sebagian kecil memanfaatkan fasilitas TPU. Kalaupun memilih lokasi jauh dari pekarangan, warga menyiapkan tanah pribadi untuk lokasi khusus pemakaman anggota keluarga. Ketimbang melawan arus tradisi, pemerintah menganjurkan kalau ingin bangun makam di pekarangan dibuatlah dengan memperhatikan estetika.
Transformasi bangunan kubur pun dibuat lebih fleksibel. Menurut Angky Manumpahi, warga Siau, selain untuk monumen peringatan, kubur di Siau berfungsi sebagai tempat bersantai keluarga.
Bahkan kata Angky, ada bangunan kubur keluarganya dibuat dengan desain modern minimalis. "Ada kubur keluarga saya dibuat minimalis, selain enak dilihat tidak berkesan angker, bisa juga jadi tempat bersantai penghuni rumah," kata dia.
Seperti amatan Tribun di makam salah satu warga paniki. Makam tersebut dibangun di teras samping rumah. Seperti umumnya, makam lengkap dengan nisan, ditambahkan pula lukisan bertema rohani. Suasana cukup nyaman, karena dilapisi tegel putih bersih hingga memungkinkan untuk bersantai bahkan untuk berbaring.
Bagi khalayak umumnya, kata Angky, memang hal semacam itu tidak lazim, namun bagi masyarakat Siau hal itu sudah tradisi yang sulit lepas. Maknanya, kata dia, kehidupan dan kematian itu merupakan bagian utuh dalam perjalanan hidup manusia. Kematian sedari awal memang sudah ditentukan oleh Sang Khalik "Kita semua tetap akan menuju ke sana (kematian)," ujarnya. (riyo noor)
Sumber: Tribun Manado edisi cetak 15-16 Juni 2013 hal 1