Gurihnya Bisnis Tambang Emas di Minahasa Utara

ilustrasi
TANAH bergelimpangan emas memang cukup menjanjikan bagi petambang meraup penghasilan tinggi. Sejak dibuka tahun 1998, tambang rakyat di Desa Tatelu, Minahasa Utara  masih terus beroperasi hingga sekarang. Diperkirakan ribuan petambang mengadu nasib, meski nyawa taruhan.

Suara mesin tromol terdengar menderu, ketika Tribun Manado menjejakkan kaki di tambang rakyat di Desa Tatelu, Senin (4/3/2013). Meski baru pekan lalu, dua petambang terjebak di lubang dan nasibnya belum diketahui, aktivitas penambangan dan pengolahan emas masih terus berlangsung

Tribun pun mengunjungi salah satu tempat pengolahan emas, setidaknya ada puluhan lagi tempat sejenis di lokasi itu. Emas diolah menggunakan mesin tromol, atau mesin penggilingan batu yang mengandung emas. Mesin itu digerakkan dengan diesel. Itu masih satu set dengan mesin penumbuk untuk menghancurkan batu rep. Batu rep, merupakan sebutan petambang untuk batu yang mengandung emas. Batu rep inilah yang diambil dari lubang tambang.

Proses awal memisahkan emas dari material lain dengan menghancurkan batu rep menggunakan mesin penumbuk. Dari situ, batu rep halus dimasukkan ke tromol untuk digiling bersama takaran air perak. Biasanya untuk satu mesin tromol diisi 1 ons air perak. Kira-kira tiga jam lamanya batu rep digiling hingga halus. Proses itu diulang beberapa kali, hingga merkuri dirasa cukup menangkap emas.

Menurut Denny Kasehung, pemilik tempat pengolahan emas, air merkuri atau air perak menjadi kunci memisahkan emas dari material lainnya. Sesudah itu, hasil gilingan diremas menggunakan kain. Dari situ hasilnya bisa kelihatan.Sedangkan sisa ampas hasil olahan dibuang ke bak penampung. Setidaknya proses itu belum berakhir, ampas sisa olahan bisa diolah kembali menggunakan sianida.

Senin sore itu, Denny mengaku sudah memperoleh emas seberat 1,5 gram. Emas mentah kadar 70 persen itu  dibandrol Rp 350 ribu. Pada saat yang sama, ia masih menunggu hasil olahan yang ia tafsir bakal menghasilkan 2 gram emas.

Gambaran emas pun berbeda dari gambaran masyarakat awam pada umumnya. Dari amatan Tribun, emas yang diperlihatkan Denny, malah berwarna perak. Teksturnya pun terasa rapuh saat disentuh, mirip kertas timah pembungkus rokok. Menurut Denny, hal itu karena emas tersebut belum diolah lebih lanjut. Kalau diolah akan memunculkan gambaran emas pada umumnya. "Gambaran emas kan biasanya sudah jadi perhiasan. Itu sudah diolah dibakar hingga berwarna emas," kata Denny.

Emas inilah yang dijual Denny. Sehari ia mengolah, Denny mengaku bisa memperoleh uang Rp 1 juta, bahkan sampai puluhan juta  bila batu rep yang dihasilkan banyak mengandung emas. Ia mengibaratkan, menambang emas hasilnya cepat. "Biasanya penambang masuk lubang malam, bawa batu rep pagi hari. Pagi itu diolah, siang hari sudah ada hasil. Uangnya juga cepat," ungkapnya.

Denny mengatakan dulunya, ia berprofesi sebagai petani, sebelum mengenal penambangan. Saat tambang rakyat di Tatelu buka, ia pun ikut berkecimpung. Awalnya karena belum punya mesin, hasil yang ia peroleh diolah dengan menyewa mesin. Tapi sejak setahun silam, ia sudah punya mesin pengolahan sendiri.
Penghasilan dari menambang kata dia, cukup menjanjikan, meski enggan ia ungkap nilainya. Setidaknya ia sudah punya rumah, tanah dan tabungan dari hasil menambamg, dan tak harus pusing memikirkan biaya anaknya sekolah. (ryo)

Yanto Tewu Pernah Tertimbun


Bulir keringat membasahi tubuh Yanto Tewu dan Kiki Matialo, dua petambang emas Tatelu, Minahasa Utara, Minggu (3/3). Dua pemuda itu baru saja  keluar dari lubang tambang rakyat tempat rekan mereka Arie Ratumbanua (31) dan Brian Telew (20) terjebak reruntuhan sejak Jumat (1/3/2013).

Bermodal blower untuk asupan udara lewat pipa, Yanto dan Kiki nekat turun ke lubang yang lebar kurang dari satu meter untuk memastikan keberadaan dua korban, sekaligus memastikan kedalaman lokasi longsor. Sampai  Senin (4/3), upaya mengevakuasi Arie Ratumbanua dan Bria belum membuahkan hasil.
Usai keluar dari lubang, Yanto mengungkapkan sebuah batu besar dan tanah menutup jalan masuk lubang di kedalaman 25 meter. Tak ada celah lubang untuk udara mengalir. "Hanya mukjizat Tuhan yang bisa menyelematkan mereka," ujarnya kepada Tribun Manado.

Pemuda berusia 25 tahun ini merupakan kerabat dekat Arie. Ia pesimistis karena pernah juga merasakan terjebak longsor saat menambang emas. Itu terjadi  tiga tahun lalu, ia terjebak bersama dua rekannya Mekel dan Steve. Mereka terjebak sehari semalam. Beruntung tanah dan batu tak menimpa tubuh mereka. Yanto akhirnya bisa keluar hidup-hidup dengan bantuan petambang lainnya.

Kunci untuk bertahan hidup lebih lama, kata Yanto, adalah celah untuk aliran udara di antara reruntuhan. Ketika terjebak, ada celah sebesar 20 centimeter yang jadi saluran udara untuk mereka bernapas.

Yanto mengisahkan pengalaman saat tertimbun. Ketika itu, ia dan rekan-rekannya tengah membelah bongkahan batu tempat serpihan emas bernaung menggunakan palu. Tanda-tanda longsor sebenarnya sudah terpantau, batu dan tanah perlahan  berjatuhan. Beberapa waktu kemudian longsoran menutup jalan keluar,  mereka tak sempat keluar dan terjebak. Kata Yanto, udara langsung terasa panas, bulir keringat membasahi tubuh. Napas sesak,  tubuh jadi lemas tak berdaya.

Ketika terjebak, rasa takut memenuhi pikiran. Ingatan pun menerawang kepada keluarga di rumah. Ia pasrah, memohon doa ke Sang Khalik "Saya berpikir, kenapa saya kerja seperti ini. Kerja berisiko nyawa taruhan," ungkapnya. Tanpa makan dan minum, Yanto tetap bertahan. Ia tak banyak bergerak. Tubuhnya ia sandarkan ke dinding bongkahan batu. Tak banyak berbicara, ia hanya fokus meminimalisir aktivitas, sampai bantuan datang "Waktu itu saya bernapas satu-satu, susah sekali dada terasa sesak," katanya. Setelah sehari semalam, petambang Tatelu berhasil mengeluarkan Yanto dari lubang. Yanto mengaku, tubuhnya lemas tak bisa digerakkan, sakit terasa di seluruh tubuh. Ia harus berisitirahat sebulan lamanya.
Meski tertimpa musibah, tak mengurungkan niat Yanto kembali menambang emas.

"Kerja seperti ini, di antara hidup dan mati. Risikonya tinggi, salah-salah nyawa melayang," ungkapnya. Menurut dia, memang ada pekerjaan lain yang bisa ia lakoni, namun ia lebih suka menambang emas. Sejak usia 15 tahun ia telah mempertaruhkan nyawa di lubang-lubang tambang. Kejadian tiga tahun silam pun menjadi pelajaran berharga agar lebih waspada. Kini, perasaan tak enak di hatinya saja sudah cukup menjadi alasan untuk keluar dari lubang.

Kiki Matialo, petambang lain pun pernah merasakan hal serupa. Kejadiannya sudah lama, saat menambang di Toraut Bolmong. Ia selamat karena sempat di tolong rekannya sesama petambang. Namun seorang sehabatnya tak tertolong.

Kisah itu pun membentuk solidaritasnya sesama petambang. Bila ada yang tertimpa musibah, Kiki pun tak segan memberi bantuan, termasuk masuk ke lubang tambang berupaya menyelamatkan. Kiki menungkapkan, ia sebenarnya sudah berupaya turun langsung menyelamatkan Arie dan Brian. Namun, kondisi lubang tambang begitu rentan longsor. Sejak hari pertama, ia sudah masuk menggali kembali longsoran yang menutup jalan masuk. Dibantu rekan-rekan lainnya, hasil galian ditampung dengan karung dan ditarik ke permukaan. Cara ini sudah lazim digunakan petambang untuk menyelamatkan rekan mereka. Namun kali ini, setiap ia menggali, longsoran susulan terus terjadi. Salah sedikit bisa-bisa dia ikut tertimbun.

Kiki bahkan sudah berupaya membuat penyanggah kayu menahan dinding lubang agar tak longsor, namun tetap saja usaha itu gagal. Kayu peyanggah tak mampu menahan tekanan tanah. Padahal menurut Kiki,  tinggal 5 meter lagi akan sampai di posisi Arie dan Brian terjebak. Meski bersiko, Kiki sudah mencoba cara ini dua hari lamanya, sampai pemilik lubang memutuskan menggunakan alat berat untuk menyelamatkan dua korban.Kiki pun menyadari risiko pekerjaannya, tapi tak ada niatnya untuk mundur dari pekerjaannya sebagai petambang. (ryo)
 

Sumber: Tribun Manado 5 Maret 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes