Model berpose di bawah laut Alor, Nusa Tenggara Timur |
Matahari masih bersinar lembut ketika rombongan tiba di dermaga Kadelang, Kalabahi, Pulau Alor. Kepulauan Alor yang terletak di Nusa Tenggara Timur termasuk salah satu kepulauan terluar Indonesia. Alor tak hanya menyimpan keindahan alam bawah laut, namun juga keelokan berbagai tenun ikat garapan tangan-tangan penduduknya yang sederhana.
Pagi itu, permukaan air laut bagai lembaran kristal lentur yang digoyang-goyangkan ombak dengan lembut. Lengkungan pelangi muncul tipis di kejauhan. Kapal Alor Dive yang dipimpin Donovan Whitford, operator penyelaman dari Kupang, melaju perlahan menuju Selat Sebanjar dengan kecepatan 7,5 knot. Hari itu adalah hari kedua agenda pemotretan bawah laut untuk busana-busana tenun rancangan Merdi.
Pemotretan tersebut merupakan bagian dari rangkaian Swarna Festival di Pulau Alor yang diselenggarakan Direktorat Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, November 2013 lalu. Merdi punya alasan tersendiri menggelar pemotretan bawah laut untuk busana-busana rancangannya.
”Busana-busana dari tenun alor ini merepresentasikan berbagai dimensi dari Pulau Alor sendiri, terutama dari kekayaan lautnya,” ujar Merdi.
Pewarna dari teripang
Sejak lebih dari setahun sebelumnya, Merdi bekerja sama dengan sekelompok petenun di Kampung Hula, Alor Besar, yang dipimpin oleh Sariat Libana (42). Perempuan petenun asli Alor ini menemukan sumber pewarnaan alami dari teripang, hewan invertebrata timun laut (sea cucumber) yang juga kerap dikonsumsi manusia sebagai sumber pangan kaya protein.
Dari air rebusan berbagai jenis teripang tersebut, Sariat atau biasa disapa Mama Sariat memformulasikan berbagai pewarna alami, mulai dari hitam, oranye, kuning, kemerahan, sampai keunguan. ”Saya menganggapnya (Mama Sariat) profesor pencelupan warna alami,” kata Merdi.
Warna-warna dari teripang tersebut melengkapi koleksi warna temuan Mama Sariat sebelumnya, yakni ramuan warna-warna dari aneka tumbuh-tumbuhan di Alor. Pewarna alamiah itu digunakan untuk mewarnai benang-benang yang telah diikat untuk membentuk pola motif tenun yang diinginkan.
”Busana tenun ini menyimpan unsur-unsur laut. Karena itu, konsep pemotretan bawah laut ini digagas. Tak hanya aspek pewarnaan, namun juga motif,” ungkap Merdi.
Salah satu busana tenun yang dikenakan model Eva (36), misalnya, berupa atasan blus berwarna merah kecoklatan bermotif ikan di bagian dada. Karakter tenun dari benang yang dipintal sendiri memang cukup tebal dan berat. Untuk membuatnya lebih nyaman dikenakan, Merdi memberi lapisan dalam dari kain berbahan campuran katun dan viscose.
Bagi Merdi, desainer yang mendedikasikan diri pada eksplorasi kain Indonesia ini, pemotretan bawah laut tersebut bagai peragaan busana di dalam laut. Terumbu-terumbu karang yang indah, habitat dari teripang, menjadi saksinya. Tak ada entakan musik yang membahana seperti dalam peragaan busana, hanya kesunyian magis bawah laut yang khidmat. Pemotretan pun seolah bagai upacara melarung tenun di laut sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan seisinya.
”Tenun ini bicara banyak hal. Tak hanya soal keindahan alam bawah laut, namun juga pergulatan para petenunnya yang berusaha mandiri dan bersinergi dengan alam. Kembali kepada alam menjadi salah satu jalan untuk merevitalisasi tenun alor,” tutur Merdi.
Mama Sariat mengeksplorasi sumber-sumber pewarnaan alami pada awalnya sebagai upaya untuk bisa tetap menenun secara lebih mandiri dalam pengadaan bahan baku. Apalagi, para leluhur pun dahulu mengandalkan alam sebagai sumber warna untuk menenun kain.
Petenun tradisional seperti Mama Sariat menjadi lebih punya pilihan untuk tidak melulu tergantung pada pewarna kimia bikinan pabrik. Terlebih lagi, harga jual tenun dengan pewarna alam lebih tinggi di pasaran dibandingkan tenun dengan pewarna sintetis.
Bersabar bersama alam
Hari itu tak ada target jumlah busana yang harus diperagakan dua fotomodel, Eva dan Listi, dalam pemotretan. Fotografer Chris Simanjuntak (42), yang spesialis memotret di bawah laut, berserah kepada alam. Apalagi mengingat salah satu tantangan yang bisa tiba-tiba muncul adalah arus bawah laut.
Sebulan sebelum pemotretan dilakukan, Chris dan krunya menjelajah beberapa titik penyelaman yang paling cocok untuk pemotretan sekaligus tidak mengganggu ekosistem setempat. ”Lokasi pemotretan dipilih yang kondisinya selama ini cukup bisa diperkirakan, arusnya tidak keras, sehingga aman. Kalau arus horizontal relatif masih enggak apa-apa, kalau arus vertikal lebih berisiko,” ujar Chris.
Eva dan Listi adalah dua dari segelintir fotomodel spesialis untuk pemotretan bawah laut. Keduanya tentu juga penyelam bersertifikat. Dalam pemotretan itu, kedua fotomodel ini dijaga oleh tiga penyelam, Kirman (44), Fandi (40), dan Agus (31). Ketiganya bertugas mengatur segala kelengkapan pemotretan, memberi pasokan oksigen kepada para model, dan memantau kondisi di lokasi pemotretan.
Di dalam laut, setiap 10-15 detik, ketika selang oksigen dilepas, model harus menahan napas dan berpose. Dalam tempo waktu yang singkat itu, Chris menghasilkan sekitar lima foto. Proses ini berlangsung terus-menerus hingga didapat foto-foto yang diinginkan dari setiap model.
Berpose di dalam laut tentu punya kesulitan tersendiri bagi kedua model. Tak hanya harus berekspresi wajar kendati sedang menahan napas, tetapi juga berupaya membuat pakaian tidak meliuk-liuk berantakan diseret arus air. ”Makin sore arus di bawah mulai kencang dan dingin seperti es,” ujar Eva saat naik ke kapal setelah menyelam di kedalaman 12 meter.
Hari itu, dalam waktu 12 jam, termasuk perjalanan di laut, tim berhasil memotret empat busana. Rombongan kapal Alor Dive akhirnya kembali ke dermaga Kadelang menjelang senja. Semua anggota tim tampak lega. Kapal melaju santai, berteman air laut yang tenang dan langit yang sudah mulai jingga.
Sumber: Kompas.Com