Meneer Minder


ilustrasi doang
UNTUK penggemar tim Oranye Belanda, beta menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas tangisan dan air mata duka. Untuk yang kalah taruhan    menurut kabar burung yang beta dengar banyak yang kalah daripada yang menang    beta cuma bisa mengatakan,  ya itulah aneh dan indahnya sepakbola. Sepakbola senantiasa menawarkan humor tingkat tinggi. Candanya bisa membuat Anda tersenyum, tapi bisa juga sedih hati dalam sekejap.

    Beta ingin mengulangi lagi bahwa dalam jagat sepakbola, batas antara kesuksesan dan kenestapaan begitu tipis. Ada saat untung, ada waktu buntung. Dan Belanda, seolah olah dikhianati nasib baik sebagai tuan rumah serta aroma total football-nya yang sempat  meraih lagi cinta para pemuja bola di seluruh dunia.

        Terus terang, sejak lama beta memang penggemar Oranye, tetapi tidak fanatik. Tatkala tahu bahwa Oranye akan menghadapi Italia di semifinal, beta memegang erat data bahwa Italia unggul dalam hal rekor pertemuan kedua tim.  Rupanya data itu tidak banyak dilirik terutama oleh para penggemar Belanda. Juga peringatan Pelatih Frank Rijkaard 48 jam sebelum laga di Amsterdam,   agar pengagum Belanda jangan terlalu senang dengan keyakinan Belanda akan maju ke final.  Tapi itulah rumitnya psikologi idola yang memegang teguh prinsip tahi kucing pun terasa coklat!

         Sekali Anda jatuh cinta, Anda tak tega menerima hal hal yang buruk dari orang yang Anda kasihi. Anda cuma mau menerima sisi  sisi baiknya saja. Tetapi hari ini sepotong puisi Ebiet G. Ade lewat Camelia II terngiang riuh dalam realitas: Kata orang, cinta mesti berkorban! Anda telah berkorban demi cinta Anda kepada Oranye yang berjalan mulus dalam empat pertandingan Euro 2000, termasuk yang paling menggetarkan hati saat membantai Yugoslavia 6 1. Anda kalah taruhan, Anda meringis atau tak sanggup tidur sampai fajar menyingsing, hingga kokok ayam bersahut sahutan mengawali hari baru dengan sangat mengantuk.

         Adalah wajar bila Anda sulit menerima, mengapa pemain sekaliber Frank de Boer dan Patrick Kluivert gagal mengeksekusi penalti bahkan sampai dua kali, suatu peristiwa langka dalam persepakbolaan dunia. Si "mutiara hitam" dari Brasilia, Pele, yang hadir di Stadion Arena berkali kali menggelengkan kepala seolah tidak percaya. Demikian pula legenda hidup lainnya seperti Johan Cruyff, Eusebio serta Franz Beckenbauer.

         Lantas mengapa Belanda sampai kalah dengan cara menyakitkan demikian? Beta tidak paham seratus persen teknik sepakbola, tetapi yakin bukan masalah teknik musabab keruntuhan tahta Oranye di hadapan ayah, ibu, istri, anak serta orang orang tercintanya sendiri. Omong teknik, Belanda 2000 tidak lebih buruk dari Squadra Azzurra racikan Dino Zoff. Malah bisa disebut satu kelas lebih baik jika indikatornya para pemain internasional yang merumput di semua liga profesional terbaik Eropa. Tim Rijkaard merupakan gabungan pemain dari Liga Italia, Spanyol, Inggris, Skotlandia serta liga domestik Belanda. Mereka juga adalah bintang serta pemain kunci di klubnya masing masing. Suatu kenyataan yang berbeda jauh dengan Italia yang semua pemainnya 'cuma' produk lokal.

         Tim Belanda sangat menyerang, juga beruntung bermain di stadion sendiri. Dalam 2x45 menit, mereka mendapat dua kali penalti. Memegang bola lebih lama. Dalam laga 120 menit itu, 80 persen ball possession ada di kaki dan kepala pemain Oranye. Mereka mengurung Azzurri hingga sesak napas, memiliki 7 kali sepak pojok, sedang Italia hanya 3 kali. Bahkan Italia bermain hanya dengan sepuluh orang sejak menit ke 33.  Apa lagi kekurangan berkat dari sang dewi fortuna? Mengapa kekuasaan dan superioritas selama 87 menit itu sia sia belaka?

          Kalau mau dilitanikan, jawabannya banyak. Sulit termuat penuh dalam ruangan yang terbatas ini. Cuma ada catatanku, boleh percaya boleh juga tidak. Pertama, Belanda kalah karena minder! Pasukan Meneer Rijkaard minder karena rekornya selalu buruk menghadapi Azzurra. Dalam 13 pertemuan sejak 13 Mei 1920 hingga 9 September 1992, Belanda cuma menang 2 kali, seri 5 dan kalah 6 kali. Itulah yang membuat Paolo Maldini optimis. Itulah yang membuat nyali para "Santo" begitu membara, meski bermain di bawah tekanan mental dan teknik lawan yang amat perkasa. Tidak cuma tekanan 11 pemain, tapi lebih dari setengah penonton  yang memadati Arena dan puluhan juta pemirsa yang mengidolakan Belanda.

         Kedua, Belanda keok karena eforia. Psikologi masyarakat Belanda saat ini mirip negeri yang pernah dijajahnya, Nederland Hindie atau Hindia Belanda alias Indonesia, tanahku tercinta. Eforia reformasi Indonesia menuntut terlampau tinggi kepada Gus Dur dan Megawati tersayang. Seolah olah mereka bisa menyulap keterpurukan negeri dalam seluruh dimensi kehidupan dalam sesaat. Eforia reformasi membuat kita kurang sabar, kurang bijak.

        Konteksnya sedikit beda di negeri kincir angin sana. Di Belanda ada eforia kebangkitan kembali sepakbola. Merindukan lahirnya Cruyff muda,  Gullit, Van Basten dan Rijkaard muda. Sampai sampai sapi pun diberi kostum Oranye, dipakaikan kaca mata mirip Edgar Davids. Seorang rekan yang hampir sepuluh tahun cari makan di Amsterdam, pekan lalu menelepon beta. "Eja, seluruh Belanda ini cuma ada satu warna, warna bunga tulip, Oranye. Rumah dan halaman dicat Oranye, pagar, atap Oranye. Bibir dan muka pun Oranye. Mungkin juga (maaf) celana dalam pun Oranye". Begitu kata rekan ini.

         Eforia selalu berwajah ganda. Positif negatif. Positifnya bisa melahirkan kreativitas. Tapi kegembiraan yang meluap luap bisa kebablasan yang membuat orang tidak awas, kurang tanggap, tidak peka lagi terhadap kondisi lingkungannya. Eforia rakyat Belanda yang terlalu yakin kembalinya masa emas sepakbola, akhirnya patah di tengah jalan. Ia menjadi beban mental yang terlalu berat dipikul Frank de Boer dan Kluivert saat menendang bola dari jarak cuma 12 meter. Tuntutan publik Oranye cuma satu: Harus menang dan saat itu keperkasaan de Boer Kluivert sirna.

         Tapi sudahlah. Lupakan semua kekecewaan dan kesedihan hati Anda. Bukankah Belanda sudah memperlihatkan sepakbola indah? Dari zaman nenek moyangnya, Belanda punya watak dasar ini: Selalu bermain indah, urusan menang kalah nomor belakang. Oranye 2000 telah sangat menghibur, telah memanjakan pemuja bola. Oranye 2000 sekali lagi menunjukkan jati dirinya sebagai juara tanpa mahkota, merebut piala tanpa anggur, tetapi ia akan selalu dan selalu...bersemayam anggun di hati penonton! *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 1 Juli 2000. Artikel ini dibuat ketika Belanda gagal maju ke babak final Piala Eropa 2000.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes