Jangan oh Jangan

BILA jeli membaca berita atau iklan media massa cetak, mendengar radio atau menonton televisi hari-hari ini, tuan dan puan tentu menemukan kata yang paling banyak dipakai. JANGAN. Diksi ini sedang menjadi primadona. Doyan dipilih mereka yang sedang "ada maunya" dengan rakyat. Sedang berusaha membuatmu jatuh cinta. Siapa lagi kalau bukan Anda dan beta?

Jangan pilih yang tua. Pilihlah orang muda yang energik dan visioner. Jangan pilih yang belum berpengalaman. Pilihlah yang pernah menjadi kepala wilayah satu atau dua periode. Kami jago mengelola birokrasi. Hebat, andal dan telah teruji mengurus pemerintahan dan pembangunan. Jangan pilih koruptor. Pilihlah calon pemimpin yang bermoral seperti saya. Jangan percaya isu yang menjelek-jelekkan kami. Isu itu tidak benar. Tuhan tahu apa yang kami kerjakan. Inilah sepuluh alasan jangan memilih si A. Dan baca ini baik-baik: Seratus alasan mengapa memilih beta!

Begitulah sejumlah "jangan" yang tersiar di mana-mana dan ke mana-mana via beragam cara. Dari sekadar bisik-bisik, omong-omong di warung dan terminal sampai via brosur, pamflet, kertas koran, majalah hingga siaran radio dan televisi. Sepekan terakhir kata-kata itu amat kencang menggelegar dari panggung kampanye, baik di lapangan terbuka maupun di dalam ruangan terbatas. Setiap kali bertutur "jangan pilih dia", tepuk tangan membahana. Juga suit-suitan dan yel.

Eh, jangan salah kira. Kita hidup di zaman "bisa diatur". Tepuk tangan dan yel bisa diatur-diatur. Diskenariokan sedemikian rupa agar melahirkan suasana marak- meriah dan menggairahkan sepanjang show. Mobilisasi massa yang jujur cuma di zaman Orde Baru. Sekarang mobilisasi diam-diam saja dan tak ada yang mau mengaku.Cemas dianggap buruk. Khawatir dicap kurang percaya diri. Padahal banyak orang tahu spontanitas itu langka untuk pesta-pora pemilihan umum.

Hiruk-pikuk di beranda rumah besar Flobamora sungguh menarik perhatian kita. Hiruk-pikuk berlabel Pemilihan Umum Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2008-2013 yang puncaknya jatuh pada 14 Juni 2008. Masih sembilan hari lagi masa kampanye. Kampanye dalam rupa-rupa wujud. Jual diri alias sosialisasi dengan beragam pola. Sayang seribu sayang. Yang berubah hanya soal cara. Cuma beda kemasan. Isi pesan tak beranjak jauh dari masa lalu. Masih menjual kecap nomor satu. Datar saja. Normatif cuma. Selalu yang baik mereka tampilkan. Cuma yang hebat-hebat, gagah-perkasa yang mereka perlihatkan.
Bandul demokrasi di rumah kita bergerak di tempat. Masih seperti kemarin.


Demikianlah politik. Dimengerti dan dimaklumi banyak orang. Maka dalam sisa masa kampanye, jangan sekali-kali merindukan calon yang berani berkata, kekuatan kami adalah ini dan itu. Tapi kami punya sederet kelemahan. Banyak kelemahan. Kami pernah gagal menangani masalah, misalnya membuat jalan mulus ke pelosok kampung. Cuma mulus ke kampung sendiri. Kami pernah kelewat sibuk mengurus diri sampai lupa rakyat yang memilih kami. Kami kurang berani memikul resiko, mengambil keputusan yang tidak populer. Gampang menyerah dan banyak janji kami yang belum ditepati saat berkuasa. Namun, kami belajar dari kelemahan dan kekurangan itu. Cara kami mengatasinya adalah begini.

Percayalah, tak mungkin ada kampanye semacam itu karena akan dicap bukan politisi sejati. Buta hukum kampanye pemilu yang hanya mengenal kehebatan, keperkasaan, kepiawaian dan kedigdayaan. Kampanye itu ajang menjual kebaikan semata. Ente bakal dianggap politisi kurang cerdas kalau mengakui kelemahan. Salah kaprah itu sudah warisan dan kita masih memeliharanya dengan riang gembira. Bangga. Elite kita berpandangan politik bukan sakramen!

Usai masa kampanye, kita akan masuk masa tenang. Tenang dalam kata di bibir karena sejatinya hati tetap deg-degan. Malam tidur tak lelap, pikiran membebani pagi dan siang. Tentu bagi mereka yang berkepentingan dengan Pilgub-Pilwagub. Berkepentingan dengan hasil coblos 14 Juni 2008.

Pada akhirnya, urusan kita sebagai rakyat cuma soal paku sepotong. Paku untuk menusuk foto pasangan pria berjas-berdasi. Di rumah induk dengan populasi perempuan terbanyak ini --- yang cantik dan anggun belum dilirik. Disepelekan dengan beragam argumentasi. Keterlaluan memang! Tapi Anda pun tak tahu sampai kapan diskriminasi itu berakhir meski masih tersisa 10 pilkada lagi.

Tikamlah paku dengan hatimu. Jangan...oh jangan percaya bisikan siapa-siapa. Percayalah dirimu sendiri. Yang terpilih belum tentu terbaik. Yang terbaik belum pasti memuaskan dahaga marhaenmu. Demokrasi hanyalah salah satu cara yang baik di antara banyak jalan memilih pemimpin. (email:dionbata@poskupang.co.id)

Beranda Kita Pos Kupang edisi Senin, 2 Juni 2008, halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes