Oleh Kanis Lina Bana
MAUSUI, kampung kecil di bagian selatan Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur. Kampung Maususi berhadapan langsung dengan bentangan Laut Sawu. Mentari pagi yang muncul dari balik Gunung Ine Rie-Ngada menjadi hiburan pagi hari. Sinar mentari keemasan seakan menyapa penduduk setempat yang mayoritas hidup dari beternak, melaut dan berkebun. Jam kerja pun bisa ditentukan sejauhmana tinggi matahari melewati puncak gunung itu.
Terkadang pada sore hari ada balutan awan putih di atas kerucut gunung itu. Tebal tipisnya awan di atas gunung yang dilihat dari Mausui seperti gumpalan nasi tumpeng itu menjadi tanda hujan akan tiba atau sebaliknya. Maklum suku Rongga Mausuai ada hubungan tali-temali dengan warga Ngada pinggiran pantai selatan terutama barter kebutuhan.
Beberapa warga Foa, Keli Tei dan sekitarnya sering pergi mencari gurita di Mausui. Tak jarang ada barter antar gurita hasil tangkapan dengan jagung atau ubi kayu dengan warga Rongga itu. Jika berkesempatan menginap, dilanjutkan dengan nalo atau minum dan makan bersama.
Mayoritas penduduk suku Rongga di Mausui memiliki makanan khas, yakni jawa lobho dan uta mbesi. Jawa lobho umumnya berasal dari jagung muda atau jagung tua ditumbuk untuk mengeluarkan kulit luar saja lalu direbus berjam-jam hingga matang. Jawa lobho itu terkadang dicampur dengan kacang-kacangan, umbi-umbian sehingga menjadi semacam rumpu-rampe ala Rongga. Makanan khas ini akan lengkap jika ditambah uta mbesi, wae kima atau kuah ikan sara. Terkadang juga ada lawar rumput laut, sembo, ngi-ngao daging gurita atau bahasa daerah setempat disebut kumbi. Sungguh nikmat rasanya menu makanan ini.
Uta mbesi umumnya dari pucuk sayuran hijau dan buah labu mbesi yang masih muda. Masakan sayuran itu jauh dari sentuhan bahan penyedap masakan dari toko. Murni three in one, sayur mbesi, air dan garam.
Orang Rongga di sekitar pantai Watu Lamba, Jerekota dan Mausui merasa nyaman dengan hidangan khas itu. Terkadang pula jawa lobho dicampur dengan lepa atau jewawut. Nenek saya, Elisabeth Dunga, sangat pandai meramu makanan khas itu. Meka Wara, Feliks Rie, Yoseph Lina, Ema Nika, Markus Bana, Matheus Nunu, Frans Lawi, Feliks Mbesi, Ema Izhu, Domi Nau, Meka Ingge adalah tokoh yang sangat mengagumi makanan khas itu. Bele Bedi dan Bele Jafar asal Pulau Ende yang menetap di Lekolembo-Mausui sangat suka dengan makanan itu.
Semasa saya kecil selalu ingatkan bahwa makanan khas orang Rongga di Mausui adalah jawa lobha dan uta mbesi itu. Jika tidak ada sayur uta mbesi, jawa lobho bisa ditemani lombok campur perut ikan dan wae kima. Ada jawa lobho, uta mbesi, koro tuka ika atau wae kima, membuat makanan itu sangat lezat. Tidak heran pertumbuhan fisik orang Rongga di Mausui kekar dan kulitnya hitam legam.
Selain makanan khas, orang Rongga memiliki kebiasaan no kutu, la'a ngando, ghambo dan permeti. No kutu berarti berjaga dan berburu babi landak. Ghambo berburu babi hutan atau rusa dan permeti mencari ikan dan siput di laut. Sirkulasi kegiatan itu sesuai musim yang menurut bahasa setempat disebut repha. Siklus repha memiliki keyakinan ketika permeti atau ghambo akan mendapat hasil yang memuaskan.
Itu kebiasan dan tradisi dulu. Meka Wara, Feliks Rie, Meka Ingge, Yoseph Lina, Ema Jeo Jau, Alo Jiu, Gaspar Bana, sudah meninggal dunia. Saat itu makanan khas menjadi santapan wajib dan khas. Mereka sudah meninggal, makanan khas itu pun kurun waktu dua puluhan tahun terakhir jawa lobho dan uta mbesi jarang disuguhkan. Orang Rongga Mausui lebih sering makan nasi, sayur sawi, kacang yang dibeli di pasar. Kebiasaan permeti jarang dilakukan warga. Jawa lobho dan uta mbesi sudah jarang disuguhkan.
Mudah-mudahan warga setempat mulai kembali akrab dengan makanan khas itu sehingga identitas Rongga Mausui tetap dipertahankan. (Email: lyn78_2004@yahoo.com atau linabana@telkom.net)
Pos Kupang edisi Sabtu, 10 Januari 2009 halaman 1