Yang tidak pindah mati kekeringan...
ALKISAH hiduplah sekawanan kecebong di dalam sebuah kolam yang tak seberapa luas. Larva binatang amfibi yang hidup dalam air, bernapas dengan insang serta berekor itu tak terhitung jumlahnya. Di antara sekian banyak kecebong, ada seekor yang merasa gundah dengan kondisi lingkungan, populasi kecebong yang amat gemuk dan ancaman musim kemarau.
Ia sering meloncat-loncat ke atas air untuk melihat apakah ada tempat yang lebih besar untuk mempertahankan hidup bila musim kemarau berkepanjangan tiba. Setelah beberapa kali memantau, ia melihat ada satu kolam yang lebih luas dengan air yang lebih banyak. Dia mulai menyusun rencana untuk migrasi ke sana.
Kecebong 'cerdas' ini tidak egoistis. Dia mengajak teman-temannya untuk migrasi ke kolam yang lebih besar tadi. Tetapi mereka umumnya menolak dengan keras. "Di sini kan sudah hidup nyaman dan enak, makanan tersedia, teman banyak. Jadi, untuk apa pindah ke tempat baru yang belum tentu lebih baik?"
Kecebong itu sedih mendengar pernyataan teman-temannya yang hanya melihat kondisi sekarang. Mereka pro kemapanan, tidak mengantisipasi tantangan dan ancaman yang bakal dihadapi di masa depan. Sedangkan dia selain menikmati hidup, juga selalu peka dengan keadaaan sekitar. Saban hari ia memperhatikan kedalaman air kolam tempat mereka tinggal.
Sampai suatu hari ia melihat air kolam sudah menurun drastis. Ia pun bertekad segera meloncat ke kolam yang lebih besar. "Bila tidak mengambil risiko sekarang, tidak akan ada kesempatan lagi. Kesempatan tidak datang dua kali," begitu pikirnya. Ia sadar karena kecebong memiliki daya loncat terbatas, ia tidak akan bisa lagi melompat ke kolam sebelah bila ketinggian air tidak mencukupi.
Maka meloncatlah kecebong itu ke kolam yang lebih besar dan selamatlah hidupnya. Di sana dia berenang bebas karena air lebih dari cukup. Musim kemarau panjang akhirnya tiba, Air di kolam kecil itu semakin berkurang dan akhirnya habis. Kawanan kecebong yang tidak mau pindah mati kekeringan (The Best Chinese Life Philosophies, Leman).
Beta yakin tuan dan puan sudah pernah mendengar atau membaca kisah kecebong itu. Suatu analogi spirit Wu Chang tentang perubahan berkelanjutan dalam kondisi apa pun eksistensi kita sekarang. Wu Chang mengajak siapa pun untuk berani keluar dari zona nyaman (comfort zone) kemudian melakukan adaptasi, perubahan, dan mau belajar seumur hidup.
Spirit itu mensyaratkan keberanian. Keberanian menanggung risiko. Berani melawan arus dengan membuat kebijakan yang tidak populer sekalipun. Sayang sekali, yang pahit ini harus dikatakan. Tak banyak kita temukan di beranda Flobamora hari ini! Langka nian tokoh yang peka, peduli, antisipatif dan siap menanggung risiko seperti kecebong 'cerdas' dalam cerita di atas. Begitu banyak orang yang takut kehilangan kursi dan kuasa. Takut keluar dari zona nyaman.
Siapakah yang resah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) setiap bulan? Adakah yang gundah menyaksikan antrean panjang rakyat menunggu beras untuk masyarakat miskin (raskin)? Kita nyaman dengan situasi itu. Bangga dan senang. Menanti pujian karena menyalurkan BLT dan raskin tepat waktu. Keberanian kita sekadar menghukum 'pencuri-pencuri' kecil di kampung.
Ketergantungan pada beras dari luar Flobamora telah mencapai titik mencemaskan. Kita asyik-asyik saja mematuhi kebijakan yang salah. Tiada kritik, tiada protes. Tiada perlawanan! Tiada klarifikasi bahwa pangan itu tidak identik dengan beras. Di mana kaum cerdik pandai Flobamora? Di mana gerang akademisi di kampung besar kita? Kita terlalu kaya dengan cendekiawan yang nyawan. Nyaman dan bangga sebagai tim ahli. Tim pakar, penasehat intelektual para pembesar. Cendekiawan yang ramai-ramai menjadi caleg!
Tahun 2009 belum genap sebulan. Sebelas anak NTT telah meregang nyawa akibat penyakit diare dan gizi buruk. Siapa berani mengaku salah? Listrik mati hidup, air mengalir sekali sepekan, sampah menggunung berbau anyir, jalan-jalan berlubang hingga truk dan sepeda motor terperosok mencium tanah. Siapa yang mau mohon maaf?
Menjadi kecebong tangguh dan inovatif sungguh tidak mudah karena eksistensinya terus diuji masyarakat. Namun, kecebong unggul selalu menjadi harapan publik. Dialah agen perubahan.
Dalam tahun tikus yang baru berlalu, Flobamora berjingkrak dengan 12 pesta pilkada langsung. Pesta demokrasi sepanjang tahun. Meriah sekaligus melelahkan. Habiskan dana ratusan miliar. Telah lahir para pemimpin baru lewat pilkada.
Sesaat lagi akan muncul deretan pemimpin legislatif. Jumlahnya ribuan orang. Semoga muncul seekor dua kecebong anti- kemapanan. Lahir pemimpin yang ada greget-nya! Agar Flobamora yang kaya ini tidak terus terkulai mati dalam gelimang anggaran triliunan rupiah. (dionbata@poskupang.co.id)
Pos Kupang edisi Senin, 19 Januari 2009 halaman 1